RENDEZVOUS JANUARI
Aku masih mencium harum
cemara itu. Saat diterpa angin sore di sebuah lembah yang menebarkan rindu
pekat. Saat kutuju sebuah taman, disambut rerumput. Mereka seolah ingin
mengatakan sesuatu agar usah menyimpan beribu tanya. Tapi memang kuat rasa yang
ada. Mereka membawaku menemukan senyuman paling indah. Walau itu tertutupi
tembok tebal. Aku melihat rasa itu, meskipun terhalang gelap pandangan. Kini,
ribuan tanya itu terjawab sudah. Bahwa senyum itu kini berbunga.
Disambut riuh cemara
berjingrak dengan angin menarikan sensual samba. Bougainville terbahak lepas memunculkan jingga merah dan violetnya.
Aku kian lepas diterpa angin membumbung bersama tarian mereka. Hingga terdampar
pada hamparan rumput yang menyambutku. Kini aku menikmati senyuman indah itu
hingga lelap.
"Aku kini sangat
rindu," bisikku pada cemara itu. Aku ditampar cemburu mawar dan melati
melirik iri.
Awal Januari ini menjadi
masa paling indah. Mimpiku untuk memiliki senyum paling indah itu kini merekah
di bilik hati. Lelaki gagah penuh pesona yang telah membuatku gundah selama dua
belas purnama, kini membawakan segara asmara.
Dinding-dinding kusam
di kamarku telah berupah menjadi merah muda. Bunga-bunga di pelataran semua
bersemi. Mereka menerbitkan kuncup-kuncup indah yang siap mekar setiap hari.
Embun yang diam kini berjingkrak setiap pagi, mencandai dedaun, reranting dan
ilalang. Selendang jingga kini tak pernah lepas di punggung senja. Mengundang
nyanyian juga tarian kepinis. Semua indah. Semua merekah.
Aku menuruni jalan beraspal.
Sepanjang bibir jalan penuh cemara yang tak hentinya bercanda dengan angin
senja. Semburat jingga menebar di cakrawala. Desau binal menerpa rambut
sebahuku. Beruntung, bando marun menjaga mahkota di kepalaku hingga aman tak
tergoda sang desau yang sering iseng.
Di pelataran taman yang
cukup luas, terbentang permadani hijau pekat. Kudekati sebuah kursi besi bercat
putih menghadap kolam. Batu berbentuk wajan besar bertingkat tiga menambah
kesejukan sore itu. Air bening menyembur, hadirkan uap sejuk di sekitar kolam.
Ikan koi merah dan putih saling mengejar. Sebagian lagi bergerombol di cucuran
air yang terjatuh dari batu air mancur.
Sejenak adegan masa
laluku mengambang di kolam bening itu. Saat pertemuan pertamaku dengan Mas Pras
di ruang kelas pada semester ganjil tahun keempat perkuliahanku. Seorang pria
tinggi berambut kelimis tiba-tiba masuk ruang kelas. Suara gaduh dari semua
mahasiswa tiba-tiba hening.
“Selamat pagi! Sapa
dosen muda itu memecah hening. Kami membalas sapaannya serentak dengan tatapan
semua mengarah pada sosok yang memesonakan mata setiap mahasiswa wanita.
“Baik, perkenalkan saya
Prasetya. Saya seharusnya tidak masuk dan mengajar di kelas ini. Namun karena
dosen senior saya yang seharusnya hadir sekarang di ruang ini, tidak bisa
karena bentrok jadwal. Jadi beliau meminta saya untuk menukarnya dengan jadwal
beliau,” jelasannya cukup memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang
berkumpul di benak beberapa mahasiswa. Semua masih hening.
Aku yang duduk di
barisan kursi paling depan, tak jauh dari pintu masuk, memerhatikan semua
gerak-gerik dosen itu. Lelaki tinggi itu berkemeja biru muda bermotif garis putih
horisontal. Sebuah dasi biru tua berpadu merah marun menggantung rapi di
lehernya. Semua kurekam dari ujung rambut hingga sepatu hitamnya yang mengilat.
Aku menikmati pandangan pertama yang membuat degupan aneh di jantungku itu
hingga jam perkuliahan usai.
Sejak pertemuan pertama
itu aku semakin bersemangat untuk masuk kuliah. Apalagi ketika jadwal
matakuliah Manajemen Keuangan, yang disampaikan oleh Pak Prasetya, semangatku
tambah pol. Rasanya dua jam matakuliah dia sangat pendek hanya terasa dua menit
saja. Entah mengapa sejak melihat penampilan dosen itu, pikiranku selalu bertaut
padanya. Diam-diam aku menjadi pemuja rahasia lelaki itu
***
Enam bulan berlalu, dan
hasil Ujian Akhir Semester sudah di tangan. Aku mendapat nilai sempurna.
Termasuk nilai matakuliah yang disampaikan Pak Prasetya. Saat keluar dari
gedung Fakultas, mataku tiba-tiba dikejutkan dengan pemandangan yang membuatku
terasa sesak untuk bernapas. Kusaksikan Pak Prasetya memasuki mobil sedannya
dengan seorang wanita muda dengan mesra.
Mobil itu melaju hingga
tenggelam dari pandanganku. Tak terasa kedua bola mataku berembun.
“Ternyata aku bukan
sesiapa Pak Pras,” batinku sembari menyusuri jalan. Sesampainya di kosan aku
menumpahkan rinai dari kedua mataku pada bantal. Kutuangkan semua obsesiku
tentang Pak Prasetya dalam diary.
“Kusam”
Sore itu tidak memperlihatkan kesegaran senja. Namun waktu tidak bisa
diajak konspirasi.
Tidak bisa kusampaikan pesan pada siapa pun padahal ingin ku bercengkrama
lebih dalam dengan semua rangkaian senyummu.
‘Tak bisa lagi mengais ukiran kata-kata indah dari samudra rayuanmu
Kudengar bisikan angin, “Benci saja pada dia!”
Semakin tersayat dan aku ‘tak setuju.
Kemboja yang lama tidak berbunga pun lantang, “Sudah kukatakan, itu hanya
akan merusak otak-mu saja!”
Aku menatap marah:
Kepergian senja sudah kurelakan. Namun warna kusam belum mau hilang.
Kepenatan mulai bercengkrama dengan riuhnya pertanyaan. Saling menyalahkan.
Tersudut dan terpuruk
Jauh ke dalam penyesalan
Untuk apa membuka jendela jika jingga senja jauh ditelan malam
Untuk apa aku mencari kertas yang menyimpan puisi-puisi dia
Bila hanya memancing caci maki:
Untuk apa
Melati ikut tersenyum
Kemboja ikut menari
Dan mereka mengajak anak-anaknya menyanyikan roman-roman busuk itu
Untuk apa
Puas kau tersenyum
Mengunciku di ujung
Rapuh!
***
“Nindy, kamu dipanggil Pak Pras tuh! Tiba-tiba Tantri masuk ruang kelas
dan duduk di sampingku.
“Hah! Pak Pras memanggilku. Ada apa
ya?” jantungku tetiba berdegup kencang. Tangan kakiku mulai dingin. Aku paling
tidak bisa menghadapi situasi seperti itu. Sebuah ketegangan menggandeng rasa
kaget.
“Udah,
ke sana aja, mau ditraktir mungkin,”
oceh Tantri sekenanya.
“Hush,
kamu asal ucap aja.” Aku berlalu menuju Ruang Dosen sambil menjewer telinga
Tantri.
“Aduh, sakit tahu!” rengek Tantri
manja. Kutinggalkan gadis paling centil di kelasku itu. Kurasakan berbagai
gejolak. Antara kaget, gugup dan senang berkecamuk dalam dada. Kaget karena
tiba-tiba ada panggilan, gugup karena yang memanggil adalah orang yang selalu
hadir dalam tiap obsesiku, senang karena ada kesempatan untuk sekadar memandang
pesonanya.
“Gila aku!” desisku
Sesampainya di ruang dosen aku
menunggu di sebuah kursi cokelat. Ruang yang penuh meja dengan tumpukan kertas
juga buku di atasnya. Kulirik Pak Prasetya sedang berbincang di mejanya dengan
dua orang mahasiswa bimbingannya yang sedang menyelesaikan tugas akhir.
Setelah menghabiskan sepuluh menit,
aku baru bisa berhadapan dengan Pak Prasetya. “Nindy, nanti tugas makalah
dikumpulkan ya di meja Bapak. Saya mau berangkat ke Jakarta siang ini. Bapak juga
tidak bisa ke kelas hari ini, tolong sampaikan tugas ini kepada teman-temanmu.”
Pak Prasetya panjang lebar menjelaskan sembari menyodorkan sebuah buku.
Ada rasa kaget dalam hatiku saat
mendengar Pak Pras akan pergi. Dia ingin bertanya, namun niatnya diurungkan.
“Nindy, kok melamun?”
“Ooh,...eee....iya, iya baik, baik Pak!”
jawabku gugup.
“Kamu sakit?”
”Enggak, eee....enggak Pak. Baik
nanti kusampaikan pada teman-teman di kelas!” Mukaku kian pucat. Tak mau
menambah rasa kikuk segera saja aku pamitan. Pak Pras memerhatikan kepergianku
dengan tarikan napas panjang.
Malam itu aku kembali menuangkan
keluh kesah pada lembaran diary
sahabat setiaku satu-satunya.
“Kutitip Rinduku pada Selasar Adenium"
Rembulan merah. Kau datang dan aku sempat terpana lagi. Lagi dan lagi,
karena pesonamu itu. Sungguh daya pikat magis yang kuat, ‘tak kuasa aku
menolakmu. Aku tiada daya. Biasanya aku permisif, kali ini tidak.
Tiba-tiba saja kau hadir di hadapanku. Indah, manis, memesona dan sungguh
menggairahkan. mendidih gelora sendi tubuhku. Kau dekatiku, menggeleparlah aku!
Kau mengusap lembut pipiku dengan sayap-sayapmu yang hangat.
Saat kupejamkan mata, kau bisikan nada-nada indah, semua rayuanmu mulai
mengalir lagi, terdengar syahdu. Sekejap saja kau sudah menghipnotisku. Aku
lelap dan memang aku tergoda lagi.
Sejenak aku menolak kehadiran mu. Tentu saja! Karena aku sangsi. Bukankah
kau sudah menggoreskan luka yang teramat sakit? Coba lihat. Betapa aku limbung
saat kau pergi. Gelapnya malam saat itu masih bisa ‘ku melihat ilalang bergerak
karena tiupan angin. Tapi ketika kau tiada, sungguh gulita semua pandangan itu.
Rembulan merah. Sebenarnya aku ingin memeluk mu. Jauh di lubuk hatiku, kupendam
rindu yang kuat. Tapi, keraguan itu semakin dalam. Saat kau hadir.
Biar kutitipkan saja kerinduan ini
Pada selasar adenium.
***
Tiba-tiba bahuku ada yang menepuk
lembut. Aroma wangi di hidungku meletupkan bola-bola lamunanku yang menari di
atas air kolam. Wajahku menoleh ke samping kanan. Hatiku luluh dan merebah
seketika. Sebuah senyum indah kini telah hadir memenuhi ruang hati, membentuk lengkungan
warna-warni pelangi.
Prasetya, kini duduk di sebelah
kiriku dengan rangkulan mesra di pundakku. Dia mengecup keningku seraya
mengusap lembut jemarinya di rambut legamku. Aku merebahkan kepala di bahunya
yang hangat. Lelaki indah itu kini telah mengisi ruang hatiku semenjak prosesi
wisuda. Dia ungkapkan bahwa dia menyimpan perasaannya sukanya terhadapku semenjak
pertemuan pertama di kelas.
Sedangkan perempuan yang dulu sering terlihat berdua mesra
dengannya adalah tunangan Prasetya yang telah meninggalkannya. Dia studi ke Negeri
Kanguru dan terpikat oleh teman kulianya di sana.
Kini kami bedua menatap pelangi senja. Semua menjadi
indah, seindah Rendezvous Januari-ku.
[] selesai []
Cianjur, 27 Februari 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar