BEDAH BUKU SENYUM NOLINA

BEDAH BUKU SENYUM NOLINA
KUMPULAN CERPEN "SENYUM NOLINA" karya Dedi Saeful Anwar ini sudah bisa dipesan. Harga Rp38.000 (belum ongkir). [Info pemesanan dan penerbitan di FAM Publishing hubungi Call Centre 0812 5982 1511, atau via email forumaktifmenulis@yahoo.com, dan kunjungi web kami di www.famindonesia.com]

Minggu, 05 Juli 2015

[ARTIKEL] NGUEH

NGUEH*)

Oleh: Dedi Saeful Anwar


sumber gambar: google

Jalan Ramadan semakin menurun. Tidak lama lagi akan meninggalkan kita. Sepuluh hari di bagian ke-dua pun akan beranjak ke sepuluh hari bagian ke-tiga.
Hajat setiap ummat tentu semakin kuat. Ada yang likat terus meningkatkan semangat ibadahnya, tak sedikit pula yang malah melipat tikar, mengejar berbagai ingar-bingar. 
Persiapan mudik, berbelanja kebutuhan barang-barang yang serba baru (yang sebenarnya tidak terlalu perlu) yang penting ibadahnya khusyu. Namun itulah tradisi. Ibarat benteng kokoh yang mengungkung diri, seolah-olah hal itu musti dipenuhi.
Berbicara akhir Ramadan, tentu aroma Lebaran semakin kental. Bila hari kemenangan kian dekat bisa dipastikan hidung yang sedang berpuasa mengendus bermacam aroma yang ke luar dari atap-atap rumah. Biasanya para ibu mulai disibukkkan dengan membuat beraneka kue untuk menyambut hari raya. Tradisi inilah yang tidak bisa dilepaskan dengan Ramadan dan Lebaran. Ya, tradisi "Ngueh". 
Saat kecil dulu ada beberapa penganan yang aromanya benar-benar menggoda keteguhan masa-masa belajar berpuasa. Namun, tentu kue-kue zaman dahulu dengan kue saat ini sudah ada perbedaan. Saat itu aku tidak mengenal nastar, putri salju, brownies, muffin, atau pun kue aneh lainnya. Dahulu ibu paling banter sukanya membuat keripik ketan hitam, peuyeum ketan hitam, ranginang (rengginang), dan yang sedikit modern (berbahan terigu) kala itu hanya kue semprit yang kukenal. Kalaupun ada bolu, bisa dipastikan teksturnya padat, tidak empuk seperti bolu-bolu saat sekarang ini.
Nah, dua penganan/kue yang kusebut di awal itulah yang mengundang hidung benar-benar tak berdaya. Bagiku saat ibu mengukus tepung ketan (untuk keripik) dan beras ketan (untuk peuyeum), godaan aroma wangi dari aseupan (pengukusan) menusuk-tusuk rongga hidung. Membuat ngeces hingga perut melilit. Dengan bijaksana ibu menyisihkan sedikit kedua bahan penganan itu ke piring kecil (pisin) untuk kucicipi saat berbuka.
Padahal ketika Magrib/waktu berbuka tiba aroma kedua penganan itu sudah tak sewangi sebelumnya. Selain sudah menjadi dingin, perut yang sudah terisi pun menjadikan penganan itu tentunya tak lagi begitu menggoda. 
Ramadan saat ini semakin di ujung, namun aroma-aroma kue tradisional itu tak lagi mengguncang rongga hidung. Kini aroma-aroma itu telah tergantikan dengan aroma kue-kue yang sudah keren dan moderen. Padahal rasa kangen selalu mengetuk pintu angan. [dsa]


Cianjur, 5 Juli 2015

---
*) membuat kue (Sunda).
*) nyieun kueh (Kamus Bahasa Sunda, R.A. DANADIBRATA hal. 369. Kiblat, Desember 2009)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar