NGUEH*)
Oleh: Dedi Saeful Anwar
Jalan Ramadan
semakin menurun. Tidak lama lagi akan meninggalkan kita. Sepuluh hari di bagian
ke-dua pun akan beranjak ke sepuluh hari bagian ke-tiga.
Hajat setiap ummat tentu semakin kuat. Ada yang likat terus meningkatkan semangat ibadahnya, tak sedikit pula yang malah melipat tikar, mengejar berbagai ingar-bingar.
Hajat setiap ummat tentu semakin kuat. Ada yang likat terus meningkatkan semangat ibadahnya, tak sedikit pula yang malah melipat tikar, mengejar berbagai ingar-bingar.
Persiapan mudik,
berbelanja kebutuhan barang-barang yang serba baru (yang sebenarnya tidak terlalu
perlu) yang penting ibadahnya khusyu. Namun itulah tradisi. Ibarat benteng kokoh yang mengungkung diri,
seolah-olah hal itu musti dipenuhi.
Berbicara akhir Ramadan, tentu aroma Lebaran semakin
kental. Bila hari kemenangan kian dekat bisa dipastikan hidung yang sedang
berpuasa mengendus bermacam aroma yang ke luar dari atap-atap rumah. Biasanya para
ibu mulai disibukkkan dengan membuat beraneka kue untuk menyambut hari raya. Tradisi
inilah yang tidak bisa dilepaskan dengan Ramadan dan Lebaran. Ya, tradisi
"Ngueh".
Saat kecil dulu ada beberapa penganan yang aromanya
benar-benar menggoda keteguhan masa-masa belajar berpuasa. Namun, tentu kue-kue
zaman dahulu dengan kue saat ini sudah ada perbedaan. Saat itu aku tidak mengenal
nastar, putri salju, brownies, muffin, atau pun kue aneh lainnya. Dahulu ibu paling
banter sukanya membuat keripik ketan hitam, peuyeum ketan hitam, ranginang (rengginang), dan yang sedikit
modern (berbahan terigu) kala itu hanya kue semprit yang kukenal. Kalaupun ada
bolu, bisa dipastikan teksturnya padat, tidak empuk seperti bolu-bolu saat sekarang
ini.
Nah, dua penganan/kue yang kusebut di awal itulah yang
mengundang hidung benar-benar tak berdaya. Bagiku saat ibu mengukus tepung ketan
(untuk keripik) dan beras ketan (untuk peuyeum), godaan aroma wangi dari aseupan (pengukusan) menusuk-tusuk
rongga hidung. Membuat ngeces hingga perut melilit. Dengan bijaksana ibu
menyisihkan sedikit kedua bahan penganan itu ke piring kecil (pisin) untuk kucicipi saat berbuka.
Padahal ketika Magrib/waktu berbuka tiba aroma kedua
penganan itu sudah tak sewangi sebelumnya. Selain sudah menjadi dingin, perut
yang sudah terisi pun menjadikan penganan itu tentunya tak lagi begitu
menggoda.
Ramadan saat ini semakin di ujung, namun aroma-aroma kue
tradisional itu tak lagi mengguncang rongga hidung. Kini aroma-aroma itu telah tergantikan
dengan aroma kue-kue yang sudah keren dan moderen. Padahal rasa kangen selalu mengetuk
pintu angan. [dsa]
Cianjur, 5 Juli 2015
---
*) membuat kue (Sunda).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar