BEDAH BUKU SENYUM NOLINA

BEDAH BUKU SENYUM NOLINA
KUMPULAN CERPEN "SENYUM NOLINA" karya Dedi Saeful Anwar ini sudah bisa dipesan. Harga Rp38.000 (belum ongkir). [Info pemesanan dan penerbitan di FAM Publishing hubungi Call Centre 0812 5982 1511, atau via email forumaktifmenulis@yahoo.com, dan kunjungi web kami di www.famindonesia.com]

Sabtu, 24 Oktober 2015

[RESENSI] MENGARUNGI LABIRIN KEHIDUPAN





MENGARUNGI LABIRIN KEHIDUPAN*)

Judul Buku                : Laki-Laki yang Tidak Memakai Batu Cincin
Kategori                     : Kumpulan Cerpen
Penulis                        : Badaruddin Amir
Penerbit                      : FAM Publishing
ISBN                           : 978-602-335-023-0
Tahun Terbit             : Cetakan Pertama, Maret 2015
Tebal                         : 176 Halaman; 14x20 cm


Buku yang berisi tujuh belas cerpen ini begitu memukau dan sarat perenungan. Di setiap kisahnya Badaruddin Amir---penulis kumcer ini, begitu lihai meracik kata per kata menjadi untaian kalimat yang bertabur makna.
Di setiap paragraf pembaca akan disuguhi kalimat-kalimat lezat yang bertabur deskripsi indah. Pembaca seolah berada di dalam gelombang teka-teki dan lautan pertanyaan. Ke mana kisah ini berujung, mengapa hal itu bisa terjadi serta pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya pembaca sendiri bisa menjawab dan menyimpulkannya.
Setiap pembaca akan diajak tersenyum manis namun tak lama kemudian garis bibir akan segera berubah miris, lalu tertawa, merinding, hingga menangis. Kita akan melihat dan merasakan berbagai kelucuan dan keluguan, lalu  dibawanya kepada hal-hal absurd bahkan sedikit berbau erotis. Hemmm...buku yang benar-benar lengkap dan membuat pembaca tak akan rela bila ketinggalan lembaran-lembaran berikutnya hingga lembar terakhir.
Di halaman pertama pembaca akan mulai diajak berkelana dalam sebuah kisah dengan judul yang cukup panjang, “Menghitung Batu-batu yang lepas dari Aspal Jalanan”. Di dalamnya mengisahkan sebuah daerah tertinggal yang memiliki jalur transportasi buruk, tetapi sumber daya alamnya terus dikeruk tanpa memikirkan ceruk-ceruk becana alam yang mengintai kapanpun juga siapapun. Untaian kisah berlanjut pada  “Kemiri (1)” dan  “Kemiri (2)” yang bercerita kesederhanaan hidup di sebuah kampung yang menghasilkan kemiri dengan deskripsi indah. Pesan kuat di dalamnya adalah jangan pernah menganggap rendah orang lain dan jangan berprasangka buruk kepada orang lain yang ternyata malah orang yang kita nilai buruk ternyata berhati mulia.
Daya pikat untaian kalimat kembali berlanjut pada “Sahabat Penting Kami dari Masa Kanak”. Sebuah kisah yang menuturkan sikap lupa diri seorang manusia yang silau dengan kemilau dunia. Pendidikan tinggi tidak serta merta menjadikan manusia memiliki akhlak mulia. Sebuah kisah lain dari hiruk pikuk dunia politik yang mengantarkan seorang anak manusia ke balik jeruji.
Kisah-kisah anak manusia dengan berbagai konflik kehidupan dan pernak-pernik dunia kembali hadir dan mencengangkan dihadirkan dalam runtutan cerpen berikutnya. Fenomena batu akik yang mengubah tatanan kehidupan masyarakat kita akhir-akhir ini disindir dengan cerdas dalam “Laki-laki yang Tidak Memakai Batu Cincin”. Kemudian, kisah yang sedikit menerbitkan bulu kuduk dapat disimak dalam“Emilia” yang hadir begitu apik dengan ending yang benar-benar manis merinding.
Impitan berbagai persoalan kehidupan muncul dengan kental adalam “Dia Berenang Terus”. Mengarungi kehidupan ibarat kita berenang di tengah badai serta airlaut, dalam gelap keadaan malam mencekam.
“....ia memang harus berhati-hati karena kesalahpahaman bisa terjadi. Dan alangkah banyaknya korban salah paham, salah tangkap dan belakangan salah tembak ....” demikian sebuah penggalan dalam  kisah “Dia Memanjat Terus”, menyindir sikap aparat negeri ini yang seringkali membuat geram dunia hukum.

Bahwa masyarakat kita ini adalah masyarakat yang lemah, yang seringkali mudah terhasud oleh pemberitaan yang belum tentu jelas benar kejadiannya. Kita teramat sering dimakan isu murahan dan kacangan. Sentilan ini hadir dalam cerpen “Kucing”. Sedangkan dalam  “Mercon Ramadan” dan “Tlit...Tit di Akhir Ramadan” mengajak kita untuk merenungkan berbagai hal yang kerap hadir di bulan yang penuh berkah.
Kisah berbeda muncul dalam “Ayahku Seorang Lelaki Malam”. Teka-teki siapa sebenarnya Ayah si tokoh utama dalam kisah tersebut membuat pembaca sedikit mengernyitkan dahi. “...Siapa  ayah kami memang selalu menjadi pertanyaan tak terjawab hingga adikku menjadi kanak-kanak. Apakah ayah adikku juga adalah ayahku? Semuanya menjadi misteri....”
            Selanjutnya kelucuan akan muncul dalam “Kandang Ayam” dan “Iseng”. Hal-hal sederhana bisa menjadi unik dan menarik. Penulis berhasil mengulik kisah-kisah menggelitik membawa pembacanya benar-benar tersenyum.
Rasa satra yang kental lalu hadir dalam “Matahari Dimakan Rayap pada Suatu Senja” seperti dalam kalimat di halaman 146 berikut ini ....” usai ritualisasi itu, rayap rayap raksasa itu kemudian ramai ramai memakan matahari dengan rakusnya. Matahari pun luka dan berdarah. Ceceran darahnya menetes ke laut hingga membuat laut jadi merah”. Sebuah keindahan merangkai kata yang memukau.
“Tak Ada Euphimisme untuk Tahi” sebuah kisah tentang hal yang sering luput dari perhatian kita. Dengan tidak bermaksud jorok ataupun menghadirkan rasa jijik terhadap kotoran. Sementara itu kisah yang menghadirkan sebuah proses membangun usaha dan meningkatkan kepercayaan diri hadir dalam Senyum dan Tawa”.
Secara keseluruhan dalam dalam buku kumpulan cerpen ini penikmat akan disuguhi berbagai ending yang mengejutkan ibarat mengarungi labirin kehidupan. Teka-teki selalu merajai kalimat demi kalimat. Dari awal kisah ini penulis membangun simpati dan empati namun tetap diselimuti misteri. Membaca buku ini menerbitkan perenungan mendalam terhadap hal yang sering dianggap sepele. Tak jarang sesekali diberi ending yang membuat tersenyum kisah-kisah di dalam beberapa cerpen. Sehingga tidak menumbuhkan rasa bosan untuk terus melahap buku ini hingga di halaman terakhir. Keliaran imajinasi penulis yang telah banyak menerima penghargaan juga merupakan seorang guru ini tampak mendobrak batas-batas kemustahilan. []

Cianjur, 13 Oktober  2015

*) Dimuat di Harian Singgalang, Padang, Sumatera Barat.
     Minggu, 25 Oktober 2015


Tidak ada komentar:

Posting Komentar