MENGARUNGI LABIRIN KEHIDUPAN*)
Judul Buku :
Laki-Laki yang Tidak
Memakai Batu Cincin
Kategori :
Kumpulan Cerpen
Penulis :
Badaruddin Amir
Penerbit :
FAM Publishing
ISBN :
978-602-335-023-0
Tahun Terbit :
Cetakan
Pertama, Maret 2015
Tebal : 176 Halaman; 14x20 cm
Buku
yang berisi tujuh belas cerpen ini begitu memukau dan sarat perenungan. Di
setiap kisahnya Badaruddin Amir---penulis
kumcer ini, begitu lihai meracik kata per kata menjadi untaian kalimat yang bertabur
makna.
Di setiap paragraf
pembaca akan disuguhi kalimat-kalimat lezat yang bertabur deskripsi indah.
Pembaca seolah berada di dalam gelombang teka-teki dan lautan pertanyaan. Ke
mana kisah ini berujung, mengapa hal itu bisa terjadi serta pertanyaan-pertanyaan
yang sebenarnya pembaca sendiri bisa menjawab dan menyimpulkannya.
Setiap pembaca akan diajak
tersenyum manis namun tak lama kemudian garis bibir akan segera berubah miris, lalu
tertawa, merinding, hingga menangis. Kita akan melihat dan merasakan berbagai kelucuan
dan keluguan, lalu dibawanya kepada
hal-hal absurd bahkan sedikit berbau erotis. Hemmm...buku yang benar-benar
lengkap dan membuat pembaca tak akan rela bila ketinggalan lembaran-lembaran
berikutnya hingga lembar terakhir.
Di halaman pertama
pembaca akan mulai diajak berkelana dalam sebuah kisah dengan judul yang cukup
panjang, “Menghitung Batu-batu yang lepas dari
Aspal Jalanan”. Di dalamnya mengisahkan sebuah daerah tertinggal yang
memiliki jalur transportasi buruk, tetapi sumber daya alamnya terus dikeruk
tanpa memikirkan ceruk-ceruk becana alam yang mengintai kapanpun juga siapapun.
Untaian kisah berlanjut pada “Kemiri (1)” dan “Kemiri (2)” yang bercerita kesederhanaan hidup di sebuah kampung
yang menghasilkan kemiri dengan deskripsi indah. Pesan kuat di dalamnya adalah
jangan pernah menganggap rendah orang lain dan jangan berprasangka buruk kepada
orang lain yang ternyata malah orang yang kita nilai buruk ternyata berhati mulia.
Daya
pikat untaian kalimat kembali berlanjut pada “Sahabat Penting Kami dari Masa Kanak”. Sebuah kisah yang menuturkan sikap lupa diri seorang manusia yang silau dengan
kemilau dunia. Pendidikan tinggi tidak serta merta menjadikan manusia memiliki akhlak
mulia. Sebuah kisah lain dari hiruk pikuk dunia politik yang mengantarkan
seorang anak manusia ke balik jeruji.
Kisah-kisah anak
manusia dengan berbagai konflik kehidupan dan pernak-pernik dunia kembali hadir
dan mencengangkan dihadirkan dalam runtutan cerpen berikutnya. Fenomena batu akik yang mengubah tatanan
kehidupan masyarakat kita akhir-akhir ini disindir dengan cerdas dalam “Laki-laki yang Tidak Memakai Batu Cincin”. Kemudian,
kisah yang sedikit menerbitkan bulu kuduk dapat disimak dalam“Emilia” yang hadir begitu apik dengan
ending yang benar-benar manis merinding.
Impitan berbagai
persoalan kehidupan muncul dengan kental adalam “Dia Berenang Terus”. Mengarungi kehidupan ibarat kita berenang di
tengah badai serta airlaut, dalam gelap keadaan malam mencekam.
“....ia memang harus berhati-hati karena kesalahpahaman
bisa terjadi. Dan alangkah banyaknya korban salah paham, salah tangkap dan
belakangan salah tembak ....” demikian sebuah penggalan dalam kisah “Dia
Memanjat Terus”, menyindir sikap aparat negeri ini yang seringkali membuat
geram dunia hukum.
Bahwa masyarakat kita
ini adalah masyarakat yang lemah, yang seringkali mudah terhasud oleh pemberitaan
yang belum tentu jelas benar kejadiannya. Kita teramat sering dimakan isu
murahan dan kacangan. Sentilan ini hadir dalam cerpen “Kucing”. Sedangkan dalam “Mercon
Ramadan” dan “Tlit...Tit di Akhir Ramadan” mengajak kita untuk merenungkan berbagai
hal yang kerap hadir di bulan yang penuh berkah.
Kisah berbeda muncul
dalam “Ayahku Seorang Lelaki Malam”. Teka-teki
siapa sebenarnya Ayah si tokoh utama dalam kisah tersebut membuat pembaca
sedikit mengernyitkan dahi. “...Siapa ayah kami memang selalu menjadi pertanyaan
tak terjawab hingga adikku menjadi kanak-kanak. Apakah ayah adikku juga adalah
ayahku? Semuanya menjadi misteri....”
Selanjutnya
kelucuan akan muncul dalam “Kandang Ayam”
dan “Iseng”. Hal-hal sederhana bisa menjadi unik dan menarik. Penulis
berhasil mengulik kisah-kisah menggelitik membawa pembacanya benar-benar
tersenyum.
Rasa satra yang kental
lalu hadir dalam “Matahari Dimakan Rayap pada Suatu Senja” seperti dalam kalimat di halaman 146 berikut ini ....” usai
ritualisasi itu, rayap rayap raksasa itu kemudian ramai ramai memakan matahari
dengan rakusnya. Matahari pun luka dan berdarah. Ceceran darahnya menetes ke
laut hingga membuat laut jadi merah”. Sebuah keindahan merangkai kata yang
memukau.
“Tak Ada Euphimisme untuk Tahi” sebuah kisah tentang hal yang sering luput dari perhatian
kita. Dengan tidak bermaksud jorok ataupun menghadirkan rasa jijik terhadap
kotoran. Sementara itu kisah yang menghadirkan sebuah proses membangun usaha
dan meningkatkan kepercayaan diri hadir dalam “Senyum dan Tawa”.
Secara keseluruhan dalam dalam buku kumpulan
cerpen ini penikmat akan disuguhi berbagai ending yang mengejutkan ibarat
mengarungi labirin kehidupan. Teka-teki selalu merajai kalimat demi kalimat.
Dari awal kisah ini penulis membangun simpati dan empati namun tetap diselimuti
misteri. Membaca buku ini
menerbitkan perenungan mendalam terhadap hal yang sering dianggap sepele. Tak
jarang sesekali diberi ending yang membuat tersenyum kisah-kisah di dalam
beberapa cerpen. Sehingga tidak menumbuhkan rasa bosan untuk terus melahap buku
ini hingga di halaman terakhir. Keliaran imajinasi penulis yang telah banyak
menerima penghargaan juga merupakan seorang guru ini tampak mendobrak batas-batas
kemustahilan. []
Cianjur, 13 Oktober 2015
*) Dimuat di Harian Singgalang, Padang, Sumatera Barat.
Minggu, 25 Oktober 2015
*) Dimuat di Harian Singgalang, Padang, Sumatera Barat.
Minggu, 25 Oktober 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar