MENEROKA
HARAPAN
: Sebuah Kesimpulan dan Refleksi
Pemikiran Ki Hadjar Dewantara
Oleh:
Dedi Saeful Anwar
(SD Islam Kreatif
Muhammadiyah-Cianjur)
Selama ini pendidikan
formal telah menjadi sebuah harapan untuk menjadi jembatan meraih impian dan
masa depan. Masa depan yang gemilang dan penuh harapan cerah. Meski pada
kenyataannya tidak setiap diri yang selesai dan menuntaskan pendidikan formal
lantas segalanya sesuai harapan. Tak sedikit pula yang tanpa pendidikan formal
mengenyam pula kesuksesan.
Lantas apa yang
penyebabnya? Pertanyaan besar ini tentu memerlukan jawaban yang bijak. Tidak
dapat dilihat dari satu sudut pandang. Jika dilihat pada perkembangan saat ini,
semua lapisan masyarakat sudah memandang bahwa pendidikan itu sangat penting.
Cara pandang atau mindsets masyarakat bahkan kini sudah lebih konkret.
Jika melihat ke masa
dahulu, sekolah negeri selalu menjadi incaran para orangtua untuk menyekolahkan
anak-anaknya, tetapi kini tidak demikian. Bermunculannya sekolah swasta yang
menawarkan layanan pendidikan lebih baik semakin banyak dilirik. Hal ini bukan
sesuatu yang perlu dikhawatirkan, tetapi justru untuk menjadi ajang sebuah
pembuktian bahwa pendidikan formal memang mampu menjadi harapan dan cita-cita
meraih masa depan.
KENYATAAN SEBAGAI KODRAT DIRI, ZAMAN DAN
ALAM
Jika melihat
sehari-hari pembelajaran di kelas selama ini, peserta didik selalu antusias
untuk mendapat haknya dalam mendapatkan ilmu. Dengan dukungan lingkungan
sekitar, baik orangtua maupun masyarakat, juga pemerintah ---yang menyediakan fasilitas negara demi
mencerdaskan bangsa, maka telah terbentuk kesadaran masal bahwa pendidikan itu
sangatlah penting dan berguna.
Lingkungan sekolah yang
terbentuk dari warga yang ada di sekitarnya (murid, guru, pimpinan, lembaga,
orangtua, masyarakat, dan pihak-pihak terkait) membentuk sebuah atmosfir yang
saling berkaitan. Pemerintah yang menyediakan kurikulum sebagai rel untuk
lajunya gerbong pendidikan diharapkan menjadi kendaraan untuk meraih tujuan
yang sama, yaitu cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa.
Tetapi ada kegelihan
dalam hati. Negeri ini adalah negeri yang besar dan luas. Negeri yang memiliki
perjalanan panjang dalam meraih kebebasan (baca: merdeka). Tentunya kenyang
dengan segala bentuk pemaksaan dan penindasan. Sudah saatnya bangsa ini dapat
mengekspresikan segala bentuk kemerdekaannya. Pertanyaannya, sudahkah bangsa
ini bebas dan merdeka secara seutuhnya? Tentunya jawaban ini perlu perenungan
mendalam dan kejujuran hati nurani.
Begitu pula dengan
dunia pendidikan. Khususnya dalam Pembelajaran di kelas dan sekolah-sekolah
pada umumnya. Selama ini kemerdekaan belajar itu belumlah terwujud sepenuhnya
dengan nyata. Selama ini---tentu saja dengan kurikulum yang disesuaikan,
pelayanan kepada para murid/pesdik dilakukan sama. Baik cara penyampaian materi
pelajaran, Konsep belajar, metode, penugasan dan pengevaluasian. Hal ini jelas
bertentangan dengan kodrat, sifat, atau karakter diri setiap anak.
Seringkali sejumlah
anak dalam satu kelas diberikan formula yang sama padahal jelas dan nyata
mereka semua berbeda. Inilah bentuk ketidakmerdekaan yang selama ini terjadi di
kelas dan lingkungan sekolah. Bahkan sebuah kesalahan anak bisa jadi dosa dan
mendatangkan hukuman bagi pelakunya. Mungkin saja si pembuat pelanggaran sedang
melakukan pembelaan haknya.
Zaman dan keadaan pun
membuat segalanya bisa berubah. Kemajuan dan modernisasi mau tidak mau tentu
akan menggese zaman. Sistem Pembelajaran pun disesuaikan dengan zamannya.
Dahulu kapur tulis dan pan tulis hiram/blackboard selalu ada, kini sebagai
bersar beralih pada spidol dan papan tulis putih/whiteboard. Dulu ujian tulis
berbasis kertas dan pensil, sekarang berbasis komputer. Hal ini tentunya
memerlukan sikap dan penyesuaian yang bijaksana oleh setiap pelaku yang
terlibat.
Selain
Itu kodrat alam Negeri Khatulistiwa yang subur makmur ini menjadikan rakyatnya
terlena. Segalanya mudah didapat tanpa banyak mengolah, hingga penjajah
menjarah sekaligus menistakan. Setiap
musing hasil bumi melimpah tanpa banyak sudah payah, kapan pun dapat dinikmati.
Darat dan lainnya begitu banyak menyimpan kekayaan.
Hal ini berbeda jauh
dengan negeri yang berganti 4 musim. Mereka harus berjuang agar kehidupan
bertahan dalam pergantian musim. Muncullah karakter Kreatif dan disiplin.
Kodrat alam membentuk penghuninya. Sementara bangsa kita yang hanya dua musim,
membentuk karakter santai cenderung tidak kreatif. Kodrat alam subur makmur ini
membentuk jiwa santai dan kurang kreatif karena dimanjakan oleh kekayaan alam
melimpah.
PEMIKIRAN DAN PERILAKU BARU
Berdasarkan kodrat alam
dan zaman tentu bukan suatu penyesalan yang diusung. Bahkan sebaliknya, hal ini
harus menjadikan sebuah titik balik bahkan senjata untuk berpikir dan
bertindak/berperilaku yang baru dan mau berubah. Sikap diam dan selalu berada
di titik zona aman, akan tergerus olah yang berpikiran selalu baru dan mau
berubah. Berubah ke arah lebih baik dan memiliki kompetensi unggul. Kita
tinggal memilh mana yang akan membawa ke arah gemilang dan lebih cerah.
Seiring dengan Konsep
Filosofis Pemikiran Ki Hadjar Dewantara (KHD) yang mengusung TRI-KON (3Kon).
Konvergen, Konsentris, dan Kontinyu. Kovergen, terbuka pengetahuan meski hal
itu berasal dari luar namun bermanfaat dan berguna jika diterapkan. Konsentris artinya tetap beregang kuat pada
akar budaya kita, terlebih dengan menyadari sebagai bangsa yang ber-Bhineka
Tunggal Ika. Sementara itu Kontinyu, menggabungkan konvergen dan kensentris
secara terus menerus/kontinyu. Jangan pernah bosan atau bahkan berhenti.
Selanjutnya, Trilogy
Pemikiran KHD. Pertama, Ing ngarso sung tulodho, yang memiliki pengertian bahwa
pendidik/guru/pamong adalah sebagai contoh bagi anak-anak, dapat menjadi
teladan/role model. Kedua, Ing madyo
mangun karso memiliki pengertian guru sebagai penggerak di tengah-tengah atau bersama
dalam meraih tujuan belajar. Ketiga,
Tut wuri jandayani, guru memberi
dukungan/dorongan secara penuh keikhlasan dan keteguhan hati.
Lalu, sikap menyadari
kodrat anak, kodrat alam hingga kodrat zaman. Hal ini akan semakin membuka hati
dan pikiran sehingga jiwa-jiwa merdeka akan semakin dapat mengepakkan sayap
dalam melintas udara kebebasan. Bebas dalam menentukan dan menemukan jati diri.
Selain Itu dengan mengimplentasikan TRI-KON dan trilogy KHD maka pemikiran dan
hal baru akan semakin terbuka lebar dan hadir dalam jiwa setiap pendidik
CITA-CITA DAN HARAPAN ATAS PEMIKIRAN KHD
Setelah mengetahui dan
memahami Konsep dan Pemikiran KHD tentunya hal ini menjadi butiran embun yang
hadir dalam diri. Menjadi cahaya yang akan menyinari ruang kegelapan dalam
benak selama ini. Sebab, selama ini diri merasa anteng dan benar, bahwa sudah
melakukan yang terbaik saat di depan kelas. Selama ini merasa sudah melayani
anak/murid/peserta didik sesuai tuntutan kurikulum tanpa melihat segala kodrat
yang ada.
Pembelajaran di kelas
yang biasanya berpusat kepada guru, harus segera berputar arah. Hal ini berarti
pembelajaran berpusat kepada anak. Lalu, sadari pula bahwa setiap diri adalah
unik maka harus mau mengubah pola pikir.
Lalu, Konsep Tri-kon
dan trilogy KHD harus benar-benar menjadi nyawa setiap sekolah dan kelas-kelas
sehingga merdeka belajar akan mewujudkan cita-cita bangsa dengan melahirkan
manusia berbudi pekerti dan berjiwa Pancasila.
Cianjur, 27 April 2021
Sumber foto:
https://www.google.com/url?sa=i&url=https%3A%2F%2Fwww.kalderanews.com%2F2020%2F04%2Fbegini-7-fakta-ki-hajar-dewantara-ternyata-pernah-jadi-santri-dan-menteri%2F&psig=AOvVaw2ctMACiUyw2V4cyA5YCZug&ust=1619629614110000&source=images&cd=vfe&ved=0CAIQjRxqFwoTCKjs59j0nvACFQAAAAAdAAAAABAK
Tidak ada komentar:
Posting Komentar