BEDAH BUKU SENYUM NOLINA

BEDAH BUKU SENYUM NOLINA
KUMPULAN CERPEN "SENYUM NOLINA" karya Dedi Saeful Anwar ini sudah bisa dipesan. Harga Rp38.000 (belum ongkir). [Info pemesanan dan penerbitan di FAM Publishing hubungi Call Centre 0812 5982 1511, atau via email forumaktifmenulis@yahoo.com, dan kunjungi web kami di www.famindonesia.com]

Rabu, 20 Mei 2015

[ARTIKEL] ACARA-AN

ACARA-AN

Oleh: Dedi Saeful Anwar

Kalau kita simak dan telah judul di atas tentu terasa rancu. Tetapi bila mendengar kata makanan, minuman, mingguan dll, tentu bukan hal aneh atau rancu. Namun saat mendengar atau mengucapkan kata “acaraan” tentu akan mengernyitkan dahi bagi siapa pun yang mendengar maupun mengucapkannya.
Pun begitu dengan saya. Hari ini, Sabtu, 8 Mei 2015 saya mendengar istilah tersebut. Bila kita membuka tata bahasa Indonesia pembentukan kata benda dari kata kerja dengan menambahkan imbuhan –an, seperti makan menjadi makanan dan minum menjadi minuman tentu mudah dan memang begitu secara teori tata bahasa. Kata kerja di beri imbuhan –an, menjadi bentukan kata yang baru yaitu menjadi kata benda.
Tetapi kalau acara (kata benda” ditambah dengan imbuhan “-an” tentu tidak sesuai dengan kaidah Bahasa Indonesia yang baik dan benar (baca: EYD). Lantas siapa yang mengucapkan kata “acara-an” tersebut. Dan kenapa ada yang menggunakan istilah atau kata “acara-an” itu?
Tentu kata itu bukan sebuah kata yang baku, bahkan pengertiannya juga akan meleset bagi orang yang tidak tahu. Bila mendengar kata “bentrokan” atau “tawuran” “duel” atau “sparing” tentu tidak asing kan? Nah, acara-an tersebut adalah istilah lain untuk keempat kata tadi.
Ada kemungkinan kata “acara-an” itu muncul atau digunakan oleh seseorang demi menyamarkan kata-kata tadi. Seperti yang terjadi di dua kecamatan di Kabupaten Cianjur pada dua hari sebelum UN 2015 berlangung. Tepatnya Sabtu, 2 Mei 2015. Bahkan hari itu bertepatan dengan peringatan Hari Pendidikan Nasional yang sering kita sebut Hardiknas!
Pelaku yang merayaan “acara-an itu adalah pelajar dari 4 sekolah (3 MTs dan 1 SMP Negeri). Keempat sekolah itu berasal dari dua kecamatan yang berada di radius 7-10 km dari pusat kota. Mereka melakukan “acara-an“di tengah sawah yang tidak sedang ditanami (baru selesai di panen).
Yang lebih membuat terhenyak, mereka tidak keroyokan, tetapi duel alias satu melawan satu. Ada pula wasitnya  dan seorang yang mengabadikan dengan kamera dari telepon seluler serta ada aturan mainnya (juklak dan juknis yang tidak tertulis namun dipahami dan diketahui para pelaku).
Tentu saja, “acara-an” yang dilakukan oleh siswa dari empat sekolah yang masih mengenakan seragam sekolah tersebut, sempat membuat geger warga, para guru dan orang tua mereka. Hingga kejadian ini tercium oleh kepolisian (polsek setempat) untuk turun tangan dan menyelesaikannya.
Yang sangat memprihatinkan lagi, kejadian itu terjadi 2 hari menjelang UN tingkat SMP/MTs itu. Pelakunya terdiri dari beberapa siswa kelas 9/sembilan yang hendak melaksanakan UN dan adik kelasnya yaitu kelas 8/delapan.
Hal ini tentu semakin menambah panjang peristiwa dan tindakan kriminal di kalangan pelajar yang tentu saja kian memprihatinkan pada wajah pendidikan di negeri ini. Kejadian ini, tentu saja membuat kelabakan banyak pihak: guru, orang tua, masyarakat dan aparat terkait.
Ada beberapa pertanyaan yang mengusik benak saya. Siapa orang yang menjadi wasit dalan “acara-an” tersebut? Berdasarkan pengakuan para pelaku, mereka semua tidak tahu (atau sengaja menyembunyikan identitas si “wasit” tersebut. Bahkan sampai tulisan ini diturunkan, pihak berwajib dalam hal ini polisi, masih mencari “wasit” tersebut.
Saya jadi teringat percakapan saya beberapa waktu lalu dengan seorang guru yang mengajar di dua sekolah yang sering terlibat tawuran. Kebetulan dia mengajar di kedua sekolah tersebut (satu sekolah negeri, satu lagi sekolah swasta). Dia pernah mengatakan bahwa di kedua sekolah tersebut para siswa yang sering terlibat tawuran itu sering mengadakan semacam “audisi” bagi para juniornya untuk melanjutkan tradisi tawuran itu.
Apakah “acara-an” ini merupakan salah satu bentuk “audisi” tersebut? Apakah “wasit” dalam “acara-an” itu merupakan oknum pencarian generasi penerusnya? Jika benar demikian ini merupakan “PR” besar bagi semua pihak. Haruskah kita semua menutup mata dan telinga dengan hal ini.
Sampai kapan dunia pendidikan ini berkubang dalam kenistaan?



Cianjur, 9 Mei 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar