OBOR TANPA BAHAN BAKAR
Oleh: Dedi Saeful Anwar
Istilah pe-ha-pe bagi kalangan a-be-ge (baca: remaja) mungkin sudah
tidak asing lagi. Sebuah Jargon yang pantas diberikan kepada seseorang yang
suka memberikan harapan yang tidak pasti. Seperti itu pulalah istilah yang tepat untuk Kemenag Kabupaten
Cianjur saat ini.
Betapa tidak, lembaga
pemerintah yang menaungi madrasah ini sampai berita ini diturunkan belum juga
mau menurunkan dana tunjangan sertifikasi bagi setiap guru Non PNS er di bawah
naungannya selama 8/delapan bulan, yaitu terhitung sejak September 2014 hingga April
2015.
Jumlah
tunjangan yang perbulannya kurang dari satu juta lima ratus ribu rupiah
(setelah dipotong ini dan itu). Jumlah angka yang tentu saja tidak mencukupi
keperluan hidup seorang guru yang sudah memiliki tanggungan keluarga dalam satu
bulan. Namun demikian, bagaimana pun juga para penerimanya tentu saja patut bersyukur.
Karena menjadi guru sudah menjadi pilihan dan jalan hidup. Mendidik anak-anak
Bumi Pertiwi ibarat memantik pelita dalam gelap.
Lantas bagaimana
para pemantik pelita itu jika tidak diberi pasokan bahan bakar. Apakah sebuah
obor akan menyala bila tidak diberi bahan bakar? Apakah sebuah tungku akan
mengeluarkan api bila tidak diberi suluh? Apakah sebuah masakan akan matang di
atas perapian bila kayu bakar yang menghasilkan api itu telat? Karena itu,
peran bahan bakar atau suluh yang akan menghasilkan api tersebut sangat penting
untuk keberlangsungan hidup manusia.
Demikian pula
dengan tunjangan prosfesi seorang guru. Bagi seorang PNS bila tunjangan
sertifiaksi itu telat mungkin masih ada cadangan untuk menopang kebutuhan
sehari-harinya dari gaji bulanan. Lantas bagaimana dengan guru Non PNS er yang
mengandalkan biaya hidup hariannya hanya megnandalkan dari tunjangan profesi (sertifikasi)?
Sementara tunjangan itu tak kunjung diturunkan/disalurkan—bahkan hingga
berbulan-bulan?
Masih mending
bagi yang mengabdi di bawah sebuah yayasan yang sehat manajemen keuangannya.
Artinya gaji bulanan dari yayasan itu lancar---walaupun jumlah angkanya tetap
tak seberapa alias tak mencukupi.
Lalu,
bagaimana kalau yayasan tersebut juga kehidupan organisasinya mengandalkan dari
sang TUAN BOS? Sementara dana itu
juga selalu macet dan tersendat. Ibarat setali tiga uang. Jangankan untuk biaya
kesehatan, biaya rekreasi, membeli pakaian atau kebutuhan tambahan serta hal
lainnya. Sekadar untuk memenuhi kebutuhan pokok pun, para guru Non PNS er yang
berada di bawah sebuah yayasan bukan makan nasi dan lauk-pauk. Namun kenyataan
pahit yang ada. Mereka makan angin tiap hari, tiap minggu bahkan hingga berbulan-bulan.
Para pembuat
kebijakan dalam hal tunjangan profesi guru Non PNS di bawah naungan Kemenag Kabupaten Cianjur ini
seperti tidak punya rasa empati. Mereka bukan hanya tidak sayang pada para guru
Non PNS dan keluarganya yang menantikan
jumlah angka yang tidak seberapa itu. Tapi dengan jelas dan terang-terangan
mereka tidak mendukung keberlangsungan ilmu pada peserta didik. Mengapa
demikian? Kita simak beberapa kisah
berikut.
Pak Soleh
(nama samaran) berkali-kali tidak masuk beberapa kali untuk mengajar di sebuah madrasah
swasta. Padahal dia adalah seorang guru profesional! Profesional? Apa iya
profesional? Dian memang guru profesional karena sudah bersertifikat. Dia sudah
mengikuti PLPG (Pendidikan dan Latihan Profesi Guru). Jelas dong dia seorang guru profesional. Hah?! Kalau profesional itu ‘gak mungkin meninggalkan kelas tanpa
sebab dan seenaknya. Profesional itu idealnya menggunakan alat bantu
pembelajaran yang memadai dan metode mengajarnya menarik saat di hadapan
peserta didik. Masak iya seorang profesional bolos? Memangnya ke mana dia? Ternyata
selidik punya selidik dia pergi ke sawah menjadi buruh tani. Dia mencangkul sawah
Pak Haji yang baru saja dipanen dan pada musim hujan ini akan ditanami lagi.
Karena dia berpikir bahwa upahnya lumayan untuk sedikit membeli beras. Sisanya
untuk biaya jajan dua anaknya yang masih balita. Jadi dari pada mengajar di
kelas yang sudah berbulan-bulan tanpa dibayar, lebih baik cari kerja yang
uangnya langsung keterima.
Pak Zulkifli
(juga nama samaran) sering mengeluhkan soal motornya. Motor tuanya belum
diganti oli dan servis bulanan. Dua ban motornya sering kempes karena ban
luarnya sudah gundul. Setiap hari dia berangkat menuju madrasah selalu melalui
jalan berlubang dan berbatu. Batu-batu sebesar kepalan tangan di sana-sini.
Belum lagi batu-batu kerikil yang berserakan juga. Hingga membuat ban motor
tuanya bocor hingga robek. Dia sudah berkali-kali meminjam uang tabungan ke
bendahara tabungan siswa untuk sekadar membeli satu hingga dua liter bensin
yang sejak akhir 2014 terus mengalami kenaikan harga. Kenaikan bahan bakar
tentu memicu kenaikan harga barang kebutuhan lainnya pula. Semakin tercekiklah
Pak Zulkifli yang kini hutangnya sudah menumpuk. Sementara penghasilan tiap
bulan sudah tak pernah diterima lagi. Kabar terakhir terdengar dia juga sering
tidak memberikan bahan pelajaran di kelas. Kini dia berjualan. Dia juga (katanya) guru profesional!
Pak Anto, Pak
Somad, Pak Junaedi dan bapak-bapak guru madrasah lainnya kini sudah semakin
jarang terlihat batang hidungnya di dalam kelas. Semua mencari penghasilan
tambahan demi memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Sementara Kemenag Kabupaten
Cianjur sudah berubah status menjadi lembaga pemberi pe-ha-pe. Uang tunjangan sertifikasi tak kunjung mengalir ke
pipa-pipa rekening yang sudah kehilangan rasa simpati.
Benarkah Kemenag
Kabupaten Cianjur sudah ikhlas dalam beramal seperti jelas terpampang dalam
motto? Beramal melayani hak para guru Non PNS yang (katanya)
sudah bersertifikat dan disebut profesional? Apakah Kemenag Cianjur amanah
dalam menunaikan tugasnya?
Pantaskah guru
Non PNS yang sudah bersertifikasi
disebut guru profesional kalau tidak hadir di kelas. Ingat, mereka tidak hadir karena
tak bersuluh. Karena mereka sudah berubah wujud. Mereka adalah obor yang tak
diberi bahan bakar. Mereka adalah perapian yang tak diberi kayu bakar. []
Cianjur, 20 Mei 2015
Memperingati hari Kebangkitan Nasional
Berita terkait:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar