MERAJUT SENYUM DALAM GELOMBANG KEHIDUPAN
Oleh: Dedi Saeful Anwar
Judul Buku : Senyum Gadis Bell’s Palsy
Kategori :
Novel
Penulis :
Aliya Nurlela
Penerbit :
FAM Publishing
ISBN :
978-602-335-089-6
Tahun Terbit :
Cetakan
Pertama, November 2015
Tebal : 303 Halaman; 14x20 cm
Siapa yang tidak bahagia hidup lengkap
besama kedua orangtua? Hidup tentu akan menjadi lebih indah dan tidak akan
banyak menemui kesulitan. Bisa dibayangkan bahwa kita bisa bermanja dan
berkeluh kesah di pangkuan Ibu tercinta atau bercanda riang di pundak kekar
seorang ayah yang tersayang. Perjuangan hidup pun tentu seyogyanya akan menjadi
lebih ringan dan mulus.
Tetapi manakala kedua orang tua kita
sudah tiada sementara perjuangan hidup masih panjang tentu bukan perkara mudah
dan sepele. Berjuang untuk hidup tanpa kedua orang tua bila menimpa kepada anak
muda yang tidak memiliki dasar agama tentu akan menjadi lain persoalannya.
Alih-alaih mau meraih mimpi dan pelangi hidup, justru tidak menutup kemungkinan
malah akan berujung pada hal-hal yang menjerumuskan pada lubang kenistaan.
Tidak demikian dengan dua kakak-
beradik---Delima dan Fariz. Sang kakak begitu telaten menjaga adik semata
wayangnya. Dia bekerja keras demi menghidupi dirinya sendiri dan adiknya.
Hingga memasuki usia 25 tahun Faris masih belum menikah demi membiayai adik
semata wayangnya yang menimba ilmu di bangku kuliah. Secara tidak langsung sang
kakak tersebut telah menjadi ayah sekaligus ibu bagi Delima.
Live
is never flat begitu
sebuah ungkapan pupuler. Bahwa hidup itu penuh dengan ujian dan gelombang.
Demikian pula dengan kehidupan yang menimpa gadis manis yang gemar membaca ini.
Kegemarannya ini pun tak jarang sering menjadi pemicu pertengkaran kecil dengan
kekasihnya, Bagas.
Ujian demi ujian menimpa kehidupan wanita
periang ini. tiba-tiba ia mendapat ujian dengan sebuah penyakit aneh. Penyakit
yang membuatnya sulit untuk tersenyum. Sebuah penyaki aneh yang menurut dunia
pengobatan termasuk penyakit yang sulit diobati, yaitu bell’s palsy (kelumpuhan separuh syaraf
wajah).
Siapa yang
tidak akan bersedih jika ditimpa sebuah penyakit? Apalagi itu penyakit aneh dan
sulit pengobatannya. Inilah ujian terberat yang diberikan Sangmaha Kuasa pada
kehidupan Delima.
Kesedihan berikutnya saat Bagas dengan
terang-terangan memutuskan Delima di hadapan teman-teman kuliahnya. Walau
seiring berjalannya waktu gadis tersebut mampu menerima kenyataan ditinggalkan
orang yang ia cintai.
Dalam perjuangan mencari pengobatan
pun Delima mendapat rintangan dari
kakaknya ketika ia pergi ke seorang dukun atau “orang-pintar” demi
kesembuhannya. Hal itu memicu perbedaan faham dengan kakaknya yang taat dalam
menjalankan syariat agama Islam.
Dalam kegelisahan dan keputusasaan,
Delima akhirnya lebih banyak mengurung diri. Namun ia seperti mendapat tempat
untuk menyalurkan hobinya dalam menulis. Di saat-saat kesendiriannya tersebut
dia banyak menulis berbagai tulisan dan mengirimkannya ke berbagai media yang
memuat karya-karya tulisannya
Hingga dia bertemu seseorang yang
kembali menumbuhkan benih-benih cinta, Ziyad Amru. Seorang fotografer dari Ibu
Kota. Tetapi ternyata perjalanan cinta Delima kembali tidak berjalan mulus.
Dalam ketidakberdayaan cinta mereka tidak mampu terungkapkan secara lisan dan
sempat terjadi konflik yang memisahkan keduanya. Hingga di saat keduanya
mengetahui bahwa di antara mereka saling menyintai. Ziyad harus berpulang
menghadap Yang Maha Kuasa akibat sebuah kecelakaan.
Akankah Delima menemukan kembali
senyumnya yang hilang? Akankah tabir kehidupan yang selalu berselimut kabut
penderitaan segera tersingkap? Akankah Delima kembali dapat merajut
senyum dalam setiap riak dan gelombang kehidupannya? Membaca novel ke-dua karya Aliya Nurlela ini benar-benar
menguras emosi dan mengaduk perasaan setiap yang membaca.
Novel dengan disain kover yang menarik
ini pantas dan layak diapresiasi setelah kesuksesan novel yang pertama “Lukisan Cahaya di Batas Kota Galuh (LCBKG)”.
Buku ini kembali mampu membuka pikiran dan mata hati para pembaca setia dari karya-karyanya
akan setiap peristiwa hidup dan kehidupan. Sekalipun ini bukan kisah nyata,
namun karena penyakit Bell’s Palsy
yang pernah menyerang penulis asal kota Galuh, Ciamis ini mampu menghadirkan
setiap plot dan alur di dalamnya benar-benar hidup dan mengajak pembaca larut
ke setiap lembar kisahnya.
Sebuah perenungan yang dalam atas musibah
(penyakit) yang ditimpakan oleh Allah
SWT. Rangkaian kisahnya berhasil membuka mata dan pikiran penikmat karya
sastra. Buku ini mengajak kita untuk selalu bermuhasabah dalam setiap
ujian-Nya. Di balik musibah tentu ada hikmah. []
Cianjur, 2 November 2015
Hadirrrr
BalasHapus