BEDAH BUKU SENYUM NOLINA

BEDAH BUKU SENYUM NOLINA
KUMPULAN CERPEN "SENYUM NOLINA" karya Dedi Saeful Anwar ini sudah bisa dipesan. Harga Rp38.000 (belum ongkir). [Info pemesanan dan penerbitan di FAM Publishing hubungi Call Centre 0812 5982 1511, atau via email forumaktifmenulis@yahoo.com, dan kunjungi web kami di www.famindonesia.com]

Minggu, 29 Desember 2013

SAMPAH



Sampah. Satu kata saja, tapi bisa menimbulkan beribu masalah. Kenapa bisa? Tengok saja, sehari-hari kita membuat dan membuang sampah. Entah sampah plastik, kertas atau jenis sampaj lainnya. Bukan begitu? Namun seberapa sadarkah kita peduli dengan sampah ini. Masih teringat saat meletusnya gunung sampah di daerah Leuwigajah, Kota Cimahi-Jabar beberapa tahun yang lalu.

Loh, memang ada gunung sampah? Ya jelas ada, inilah negeri aneh. Gunung itu biasanya identik dengan pepohonan hijau (ada juga gunung yang gundul alias terkena penebangan liar). Tapi bukan gunung sampah yang akan dibahas, ini lebih ke cara dan perilaku kita dalam sehari-hari berinteraksi denga sampah. Mari kita ikuti percakapan pada suatu pagi di gang sempit berpenduduk padat di sekitar tempat tinggalku.

“Teteh mau kemana?” tanyaku basa-basi menyapa seorang perempuan setengah baya yang lewat di depan rumah. Padahal aku sering melihatnya melakukan hal itu.

“Ini Pak, mau buang sampah,” jawabnya singkat sambil berlalu. Tangan kanannya menjinjing sebuah ember bekas cat tembok seukuran 25 kg. Dia terbisa membuang sampah ke bibir sungai yang tak jauh dari rumah. Aku cuma menghela napas. Pernah satu waktu kutanya dia, alasannya suka membuang sampah ke kali itu. Namun bukan sebuah jawaban yang kuterima. Dia malah balik bertanya, bahwa siapa yang melarang buang sampah ke sungai itu. Tak hanya wanita itu, hampir kebanyakan warga di kampung tempat tinggalku terbiasa membuang sampah ke sungai itu. Sudah tradisi! Begitu kira-kira bila meminjam jargon sebuah iklan di televisi

Sekali waktu aku melihat sungai itu di pagi hari sebelum berangkat kerja. Sembari menikmati udara pagi ditemani putriku yang masih TK. Saat itu bermunculan orang-orang dari empat juru arah mata angin. Mereka semua dengan watados (wajah tanpa dosa) melemparkan jinjingan yang mereka bawa. Ada yang melempar dua kantung keresek (plastik hitam), ada yang satu keresek dengan ukuran bersar. Kuperhatikan tangannya terampil sekali melempar benda-benda busuk itu. Mereka tumpahkan semuanya di sana. Di sungai yang sudah menjerit sempit. Bahkan ada yang langsung menenteng tong-tong sampah mereka. Mulut sungai dalam sekejap nampak sudah bertumpuk puluhan kantung plastik berisi sampah.

Aku hanya bisa menjerit dalam dada. Padahal tak jauh dari daerah tempat tinggal kami ada penampungan sampah. Di mulut gang yang berjarak hanya beberapa puluh meter terdapat sebuah bak sampah yang secara rutin di angkut oleh Dinas Kebersihan. Namun warga di sini merasa enggan untuk sekadar berjalan atau naik motor mereka sendiri untuk pergi ke tempat penampungan sampah itu.

Bukan tiada penyuluhan. Bukannya tiada peringatan. Bukannya tiada larangan membuang sampah sembarangan dari aparat berwenang. Tapi yang jelas TIADANYA KESADARAN TINGGI DARI WARGA SETEMPAT UNTUK MENJAGA LINGKUNGANNYA.

#miris! 

[30/12/2013]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar