Sampah. Satu
kata saja, tapi bisa menimbulkan beribu masalah. Kenapa bisa? Tengok saja, sehari-hari
kita membuat dan membuang sampah. Entah sampah plastik, kertas atau jenis sampaj
lainnya. Bukan begitu? Namun seberapa sadarkah kita peduli dengan sampah ini. Masih
teringat saat meletusnya gunung sampah di daerah Leuwigajah, Kota Cimahi-Jabar
beberapa tahun yang lalu.
Loh,
memang ada gunung sampah? Ya jelas ada, inilah negeri aneh. Gunung itu biasanya
identik dengan pepohonan hijau (ada juga gunung yang gundul alias terkena
penebangan liar). Tapi bukan gunung sampah yang akan dibahas, ini lebih ke cara
dan perilaku kita dalam sehari-hari berinteraksi denga sampah. Mari kita ikuti
percakapan pada suatu pagi di gang sempit berpenduduk padat di sekitar tempat
tinggalku.
“Teteh
mau kemana?” tanyaku basa-basi menyapa seorang perempuan setengah baya yang
lewat di depan rumah. Padahal aku sering melihatnya melakukan hal itu.
“Ini
Pak, mau buang sampah,” jawabnya singkat sambil berlalu. Tangan kanannya menjinjing
sebuah ember bekas cat tembok seukuran 25 kg. Dia terbisa membuang sampah ke
bibir sungai yang tak jauh dari rumah. Aku cuma menghela napas. Pernah satu
waktu kutanya dia, alasannya suka membuang sampah ke kali itu. Namun bukan sebuah
jawaban yang kuterima. Dia malah balik bertanya, bahwa siapa yang melarang buang
sampah ke sungai itu. Tak hanya wanita itu, hampir kebanyakan warga di kampung
tempat tinggalku terbiasa membuang sampah ke sungai itu. Sudah tradisi! Begitu kira-kira
bila meminjam jargon sebuah iklan di televisi
Sekali
waktu aku melihat sungai itu di pagi hari sebelum berangkat kerja. Sembari
menikmati udara pagi ditemani putriku yang masih TK. Saat itu bermunculan orang-orang
dari empat juru arah mata angin. Mereka semua dengan watados (wajah tanpa dosa)
melemparkan jinjingan yang mereka bawa. Ada yang melempar dua kantung keresek (plastik
hitam), ada yang satu keresek dengan ukuran bersar. Kuperhatikan tangannya
terampil sekali melempar benda-benda busuk itu. Mereka tumpahkan semuanya di
sana. Di sungai yang sudah menjerit sempit. Bahkan ada yang langsung menenteng
tong-tong sampah mereka. Mulut sungai dalam sekejap nampak sudah bertumpuk
puluhan kantung plastik berisi sampah.
Aku
hanya bisa menjerit dalam dada. Padahal tak jauh dari daerah tempat tinggal
kami ada penampungan sampah. Di mulut gang yang berjarak hanya beberapa puluh meter
terdapat sebuah bak sampah yang secara rutin di angkut oleh Dinas Kebersihan. Namun
warga di sini merasa enggan untuk sekadar berjalan atau naik motor mereka sendiri
untuk pergi ke tempat penampungan sampah itu.
Bukan
tiada penyuluhan. Bukannya tiada peringatan. Bukannya tiada larangan membuang
sampah sembarangan dari aparat berwenang. Tapi yang jelas TIADANYA KESADARAN TINGGI
DARI WARGA SETEMPAT UNTUK MENJAGA LINGKUNGANNYA.
#miris!
[30/12/2013]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar