Rumah Pilu, 22 Desember 2013
Kepada Yang Terkasih
Ibunda
Di Rumah-Nya
Ibu, kuharap sekarang
Ibu sedang menikmati indahnya surga-Nya. Kuharap Ibu sekarang tengah menikmati
taman-taman indah dan menakjubkan milik-Nya. Kini rinai di sudut kedua mataku meskipun telah mengering namun rasa pilu masih
menyesaki relung sanubariku sejak kepergianmu dua bulan yang lalu. Belum genap
seratus hari kepergianmu, tentu sampai hari ini membuatku masih menyisakan rasa
bahwa engkau masih hadir di tengah-tengah kami. Setiap kumasuk ke kamarmu masih
tercium ada wangi rambutmu yang selalu diusap dengan minyak urang-aring. Masih
berdiri lemari coklat pakaianmu yang berisi baju-baju daster favoritmu yang
selalu membuat nyaman di kala gerah melanda tubuh ringkihmu-- di sudut kamar
dekat jendela yang menghadap ke arah timur. Di dalamnya juga masih berjejer
kebaya, kain batik serta kerudung yang selalu menghiasi tubuhmu yang penuh
kasih sayang. Masih tergelar tikar dan sajadah yang selalu kau gunakan
bermunajat serta mengirimkan beribu doa dan pinta kepada Yang Maha Kuasa. Kau
selalu mendoakan anakmu, namun aku --anak yang kau kirim doa-- terkadang lupa
bahwa engkau selalu menantikan kedatanganku. Anakmu ini selalu sibuk dengan hal
lain. Berdalih sibuk dengan pekerjaan, inilah, itulah dan hal lainnya.
Ibu, seandainya waktu
bisa kuputar ulang ingin bahwa aku ‘tak akan menggagalkan pertemuan itu. Aku
akan pergi dengan cucumu untuk menemuimu yang sedang terbaring lemah melawan
rasa sakitmu itu. Seandainya ‘tak kukatakan kalau cucumu juga sedang sakit
mungkin engkau tak akan menghalangi aku untuk menyegerakan pergi untuk menemui
dan menengokmu. Cintamu teramat besar kepada kami, anak dan cucumu. Ternyata
percakapan terakhir denganmu lewat telepon di Jumat pagi itu, adalah terakhir
kalinya aku mendapat kesempatan untuk mendengar suaramu yang halus dan bijak.
“Nak, sudahlah jangan
dulu datang ke Bandung, biarkan putrimu sehat dulu. Kasian cucuku yang cantik
itu berpergian jauh dalam keadaan tidak sehat. Sabar ya Nak, jaga cucuku. Ibu
di sini sudah agak baikkan. Peluk cium dari Ibu untuk putri kecilmu itu,”
ucapan terakhir Ibu di ujung telepon membuatku tertegun.
Saat menutup telepon ‘tak
terasa rinai muncul di sudut-sudut mataku. Hangat membasahi kedua pipiku. Ibu,
engkau terlalu pandai menyimpan rindumu di ruang yang semakin sempit. Sementara
aku....? ah, Ibu maafkan aku yang tidak mengetahui firasat itu.
Ibu, dalam surat ini, izinkan
anakmu mengurai beberapa rencana indah yang awalnya kuharap bisa dilalui bersamamu
di akhir tahun ini. Aku sudah merencanakan dengan menantu dan cucumu, putri
kecilku yang sudah memasuki sekolah TK di usianya yang baru menginjak 2,5 tahun
itu. Kami berencana memotong hewan
kurban bersama saat perayaan Idul Adha kemarin. Kemudian istriku pun sudah
menyiapkan sebuah sajadah baru dari kain beludru yang tebal berwarna coklat. Aku
harap engkau akan nyaman saat mengikuti salat sunnat Idul Adha, atau di saat bersimpuh
dalam sujud dan dudukmu sembari memanjatkan doa dan beribu pintamu pada Sang
Khalik.
Bahkan saat liburan
sekolah di akhir tahun ini aku dan anak-istriku merencanakan akan
mengunjungimu. Seperti tradisi di tahun-tahun sebelumnya saat kita mengisi
akhir tahun dengan berkumpul dan bermuhasabah. Diselingi canda dan tawa sekadar
pengusir hawa malam yang dingin sambil menikmati hidangan teh rempah yang
hangat. Kita berbagi cerita juga kisah. Ditemani bunga euphorbia, melati dan
wijaya kusuma juga kemuning dalam pot. Serta disaksikan berjuta kerlip bintang
yang nampak berseri serta senyum rembulan merekah yang sering muncul di selasar
dahan dan ranting pohon jambu di beranda rumah.
Ibu, engkau biasanya mengurai
banyak kisah yang akan menghapus tumpukan rindu dalam kalbumu yang syahdu. Engkau
bagikan kisah-kisahmu yang selalu menghadirkan beribu hikmah yang menjadi suri
teladan. Dan, engkau akan menebar senyum melihat tingkah cucumu yang beranjak
besar. Walau tanganmu dalam sakit namun engkau selalu berusaha ingin
menggendong cucumu dengan binar-binar cintamu.
Demi mengikuti saranmu,
maka kuurungkan pergi Jumat itu. Aku berusaha sabar dengan mengganti rencanakau
hingga dua hari ke depan yaitu hari Minggu. Dan pertimbangan lainnya semoga Ibu
akan semakin baik kesehatannya. Lagi pula pada hari Minggu itu bertepatan
dengan Hari Ulang Tahun putriku pada 6 Oktober. Kuharap perayaan sederhana hari
jadi putriku akan mampu menjadi pelipur rasa rindu Ibu.
Manusia boleh membuat
rencana sematang mungkin. Manusia boleh memiliki keinginan banyak, ini dan itu.
Namun jika Allah SWT berkehendak lain tentu semua insan tiada yang bisa
menolak-Nya. Tuhan teramat sayang pada Ibu. Tuhan memanggilmu di saat semua
rencana sudah kususun dengan matang. Barang-barang sudah kusiapkan untuk pergi
menuju rumah Ibu. Namun ibu lebih dahulu di panggil oleh-Nya.
Ibu, pantas saja
anggrek di rumah sudah enggan lagi berbunga. Bunga kesukaanmu itu lama tidak
memunculkan kuncup-kuncup indahnya. Bahkan kelopaknya yang biasanya menerbitkan
warna ungu kemerahan itu tak mau lagi hadir di jambangan. Andai saja aku
mengerti bahasanya, aku akan tahu bahwa dia sedang berduka mendengar
penderitaanmu melawan penyakit. Jika aku paham akan ucapannya mungkin saja aku akan
tahu bahwa harus segera menemui Ibu. Bunga itu tidak menampakkan ceria sama
sekali. Bahkan beberapa bulan sebelumnya dedaunnya selalu layu walau selalu
kujaga dan kusiram. Dia sepertinya sudah memberikan tanda padaku jika Ibu akan
pergi. Ibu, kini anggrek itu pun telah kering seiring kepergianmu
menghadap-Nya.
Ibu, semenjak
kepergianmu awan selalu memayung mendung. Langit selalu membawa kaki-kaki
hujan. Hari-hari yang kujalani terasa sepi. Semangatku seakan menguap. Hanya
doa-doa yang mampu membuatku tegar. Perlahan aku mulai menata perasaan piluku
walau dada masih terasa sesak menahan rasa yang ‘tak menentu. Semua itu karena
aku masih merasa engkau hadir di sisiku, di sini bersama kami—aku dan anak
istriku. Sebenarnya, aku ingin Ibu menyaksikan putriku tumbuh menjadi dewasa.
Juga, ingin aku menyaksikan putriku merapikan rambutmu yang sudah berubah
abu-abu juga memutih. Atau bercengkrama denganmu dan memanggil nenek. Ah, Ibu.
Semua ini kini hanya menjadi kenangan yang tidak mungkin akan terwujud.
Ibu, sebelum ananda
menutup surat sederhana ini, izinkan aku mengatakan yang ada dalam hati ini
bahwa hari ini, hari di mana semua orang mengucapkan “Selamat Hari Ibu” kemana
lagi aku harus menumpahkan selaksa rindu ini. Tiada lagi yang mampu mengusap
air mata rindu ini. Kini hanya tanah merah dan basah dengan rinai yang ada
dihadapanku. Kemboja di samping nisanmu hanya mampu membisu. Mawar merah muda
pun terdiam tak banyak kata. Aku hanya bisa memanjatkan doa pada-Nya.
Kutumpahkan doa-doaku agar engkau mendapat tempat yang terbaik di sisi-Nya.
Kutitipkan buncah rinduku pada kemboja dan mawar itu.
Ibu, airmataku sudah
menyatu dengan hujan meresap di tanah merah itu. Semoga engkau tahu bahwa aku
merindukanmu. Sungguh.
Ibu, I love you so much. I do.
Peluk hangat,
dari Ananda
Dedi Saeful Anwar
Catatan:
Postingan ini bisa juga dilihat di: www.kompasiana.com/Ds-Anwar
Catatan:
Postingan ini bisa juga dilihat di: www.kompasiana.com/Ds-Anwar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar