BEDAH BUKU SENYUM NOLINA

BEDAH BUKU SENYUM NOLINA
KUMPULAN CERPEN "SENYUM NOLINA" karya Dedi Saeful Anwar ini sudah bisa dipesan. Harga Rp38.000 (belum ongkir). [Info pemesanan dan penerbitan di FAM Publishing hubungi Call Centre 0812 5982 1511, atau via email forumaktifmenulis@yahoo.com, dan kunjungi web kami di www.famindonesia.com]

Rabu, 25 Desember 2013

[Untukmu Ibu] Sebuah Surat: Percakapan Terakhir



Rumah Pilu, 22 Desember 2013
Kepada Yang Terkasih
Ibunda
Di Rumah-Nya

Ibu, kuharap sekarang Ibu sedang menikmati indahnya surga-Nya. Kuharap Ibu sekarang tengah menikmati taman-taman indah dan menakjubkan milik-Nya. Kini rinai di sudut kedua mataku  meskipun telah mengering namun rasa pilu masih menyesaki relung sanubariku sejak kepergianmu dua bulan yang lalu. Belum genap seratus hari kepergianmu, tentu sampai hari ini membuatku masih menyisakan rasa bahwa engkau masih hadir di tengah-tengah kami. Setiap kumasuk ke kamarmu masih tercium ada wangi rambutmu yang selalu diusap dengan minyak urang-aring. Masih berdiri lemari coklat pakaianmu yang berisi baju-baju daster favoritmu yang selalu membuat nyaman di kala gerah melanda tubuh ringkihmu-- di sudut kamar dekat jendela yang menghadap ke arah timur. Di dalamnya juga masih berjejer kebaya, kain batik serta kerudung yang selalu menghiasi tubuhmu yang penuh kasih sayang. Masih tergelar tikar dan sajadah yang selalu kau gunakan bermunajat serta mengirimkan beribu doa dan pinta kepada Yang Maha Kuasa. Kau selalu mendoakan anakmu, namun aku --anak yang kau kirim doa-- terkadang lupa bahwa engkau selalu menantikan kedatanganku. Anakmu ini selalu sibuk dengan hal lain. Berdalih sibuk dengan pekerjaan, inilah, itulah dan hal lainnya.
Ibu, seandainya waktu bisa kuputar ulang ingin bahwa aku ‘tak akan menggagalkan pertemuan itu. Aku akan pergi dengan cucumu untuk menemuimu yang sedang terbaring lemah melawan rasa sakitmu itu. Seandainya ‘tak kukatakan kalau cucumu juga sedang sakit mungkin engkau tak akan menghalangi aku untuk menyegerakan pergi untuk menemui dan menengokmu. Cintamu teramat besar kepada kami, anak dan cucumu. Ternyata percakapan terakhir denganmu lewat telepon di Jumat pagi itu, adalah terakhir kalinya aku mendapat kesempatan untuk mendengar suaramu yang halus dan bijak.
“Nak, sudahlah jangan dulu datang ke Bandung, biarkan putrimu sehat dulu. Kasian cucuku yang cantik itu berpergian jauh dalam keadaan tidak sehat. Sabar ya Nak, jaga cucuku. Ibu di sini sudah agak baikkan. Peluk cium dari Ibu untuk putri kecilmu itu,” ucapan terakhir Ibu di ujung telepon membuatku tertegun.
Saat menutup telepon ‘tak terasa rinai muncul di sudut-sudut mataku. Hangat membasahi kedua pipiku. Ibu, engkau terlalu pandai menyimpan rindumu di ruang yang semakin sempit. Sementara aku....? ah, Ibu maafkan aku yang tidak mengetahui firasat itu.
Ibu, dalam surat ini, izinkan anakmu mengurai beberapa rencana indah yang awalnya kuharap bisa dilalui bersamamu di akhir tahun ini. Aku sudah merencanakan dengan menantu dan cucumu, putri kecilku yang sudah memasuki sekolah TK di usianya yang baru menginjak 2,5 tahun itu.  Kami berencana memotong hewan kurban bersama saat perayaan Idul Adha kemarin. Kemudian istriku pun sudah menyiapkan sebuah sajadah baru dari kain beludru yang tebal berwarna coklat. Aku harap engkau akan nyaman saat mengikuti salat sunnat Idul Adha, atau di saat bersimpuh dalam sujud dan dudukmu sembari memanjatkan doa dan beribu pintamu pada Sang Khalik.
Bahkan saat liburan sekolah di akhir tahun ini aku dan anak-istriku merencanakan akan mengunjungimu. Seperti tradisi di tahun-tahun sebelumnya saat kita mengisi akhir tahun dengan berkumpul dan bermuhasabah. Diselingi canda dan tawa sekadar pengusir hawa malam yang dingin sambil menikmati hidangan teh rempah yang hangat. Kita berbagi cerita juga kisah. Ditemani bunga euphorbia, melati dan wijaya kusuma juga kemuning dalam pot. Serta disaksikan berjuta kerlip bintang yang nampak berseri serta senyum rembulan merekah yang sering muncul di selasar dahan dan ranting pohon jambu di beranda rumah.
Ibu, engkau biasanya mengurai banyak kisah yang akan menghapus tumpukan rindu dalam kalbumu yang syahdu. Engkau bagikan kisah-kisahmu yang selalu menghadirkan beribu hikmah yang menjadi suri teladan. Dan, engkau akan menebar senyum melihat tingkah cucumu yang beranjak besar. Walau tanganmu dalam sakit namun engkau selalu berusaha ingin menggendong cucumu dengan binar-binar cintamu.
Demi mengikuti saranmu, maka kuurungkan pergi Jumat itu. Aku berusaha sabar dengan mengganti rencanakau hingga dua hari ke depan yaitu hari Minggu. Dan pertimbangan lainnya semoga Ibu akan semakin baik kesehatannya. Lagi pula pada hari Minggu itu bertepatan dengan Hari Ulang Tahun putriku pada 6 Oktober. Kuharap perayaan sederhana hari jadi putriku akan mampu menjadi pelipur rasa rindu Ibu.
Manusia boleh membuat rencana sematang mungkin. Manusia boleh memiliki keinginan banyak, ini dan itu. Namun jika Allah SWT berkehendak lain tentu semua insan tiada yang bisa menolak-Nya. Tuhan teramat sayang pada Ibu. Tuhan memanggilmu di saat semua rencana sudah kususun dengan matang. Barang-barang sudah kusiapkan untuk pergi menuju rumah Ibu. Namun ibu lebih dahulu di panggil oleh-Nya.
Ibu, pantas saja anggrek di rumah sudah enggan lagi berbunga. Bunga kesukaanmu itu lama tidak memunculkan kuncup-kuncup indahnya. Bahkan kelopaknya yang biasanya menerbitkan warna ungu kemerahan itu tak mau lagi hadir di jambangan. Andai saja aku mengerti bahasanya, aku akan tahu bahwa dia sedang berduka mendengar penderitaanmu melawan penyakit. Jika aku paham akan ucapannya mungkin saja aku akan tahu bahwa harus segera menemui Ibu. Bunga itu tidak menampakkan ceria sama sekali. Bahkan beberapa bulan sebelumnya dedaunnya selalu layu walau selalu kujaga dan kusiram. Dia sepertinya sudah memberikan tanda padaku jika Ibu akan pergi. Ibu, kini anggrek itu pun telah kering seiring kepergianmu menghadap-Nya.
Ibu, semenjak kepergianmu awan selalu memayung mendung. Langit selalu membawa kaki-kaki hujan. Hari-hari yang kujalani terasa sepi. Semangatku seakan menguap. Hanya doa-doa yang mampu membuatku tegar. Perlahan aku mulai menata perasaan piluku walau dada masih terasa sesak menahan rasa yang ‘tak menentu. Semua itu karena aku masih merasa engkau hadir di sisiku, di sini bersama kami—aku dan anak istriku. Sebenarnya, aku ingin Ibu menyaksikan putriku tumbuh menjadi dewasa. Juga, ingin aku menyaksikan putriku merapikan rambutmu yang sudah berubah abu-abu juga memutih. Atau bercengkrama denganmu dan memanggil nenek. Ah, Ibu. Semua ini kini hanya menjadi kenangan yang tidak mungkin akan terwujud.
Ibu, sebelum ananda menutup surat sederhana ini, izinkan aku mengatakan yang ada dalam hati ini bahwa hari ini, hari di mana semua orang mengucapkan “Selamat Hari Ibu” kemana lagi aku harus menumpahkan selaksa rindu ini. Tiada lagi yang mampu mengusap air mata rindu ini. Kini hanya tanah merah dan basah dengan rinai yang ada dihadapanku. Kemboja di samping nisanmu hanya mampu membisu. Mawar merah muda pun terdiam tak banyak kata. Aku hanya bisa memanjatkan doa pada-Nya. Kutumpahkan doa-doaku agar engkau mendapat tempat yang terbaik di sisi-Nya. Kutitipkan buncah rinduku pada kemboja dan mawar itu.
Ibu, airmataku sudah menyatu dengan hujan meresap di tanah merah itu. Semoga engkau tahu bahwa aku merindukanmu. Sungguh.
Ibu, I love you so much. I do.

Peluk hangat,
dari Ananda
Dedi Saeful Anwar

Catatan:
Postingan ini bisa juga dilihat di: www.kompasiana.com/Ds-Anwar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar