BEDAH BUKU SENYUM NOLINA

BEDAH BUKU SENYUM NOLINA
KUMPULAN CERPEN "SENYUM NOLINA" karya Dedi Saeful Anwar ini sudah bisa dipesan. Harga Rp38.000 (belum ongkir). [Info pemesanan dan penerbitan di FAM Publishing hubungi Call Centre 0812 5982 1511, atau via email forumaktifmenulis@yahoo.com, dan kunjungi web kami di www.famindonesia.com]

Kamis, 19 Juni 2014

[artikel] PAPAJAR








PAPAJAR
Oleh: Dedi Saeful Anwar

Setiap menjelang bulan suci Ramadan tentu akan menghadirkan sesuatu yang berbeda. Magnit bulan yang penuh berkah dan ampunan itu begitu kuat, tidak hanya untuk ummat muslim, namun bagi semua makhluk di bumi ini. Semua bersiap dan bersuka cita menyambutnya.
Betapa tidak, bulan yang di dalamnya diturunkan Al Qur’an ini, semua aktivitas akan terfokus. Kegiatan ibadah, sosial, dan perekonomian akan serta merta bergerak meningkat. Semua berlomba. Ada yang berlomba meningkatkan aktivitas ibadahnya tapi tak sedikit pula yang hanya mengambil keuntungan materi belaka dengan hadirnya bulan penuh rahmat dan ampunan ini. Tinggal kita memilih, mau mengikuti kelompok yang mana.
Berbicara persiapan dalam menghadapi “Bulan Seribu Bulan” ini, hampir setiap daerah di negeri yang mayoritas muslim ini, memiliki adat dan kebiasaan yang berbeda. Ada yang setuju dengan kebiasaan itu, tentu ada pula yang tidak. Ada yang melakukan kebiasaan itu, ada pula yang tidak, atau bahkan ‘tak acuh. Semua tergantung pada keyakinan dan cara hidup masing-masing.
Seperti di sini, di daerah yang memiliki makanan khas Tauco, Kabupaten Cianjur. Dalam menghadapi bulan Ramadan, masyarakat di daerah yang terkenal dengan beras Pandanwangi ini memiliki sebuah tradisi yang unik, yaitu “Papajar”.
Saya sebagai pendatang baru di daerah ini, sekitar petengahan tahun 1997 tentu pada awal-awalnya merasa heran dan asing dengan istilah papajar ini. Namun yang jelas ini adalah tradisi yang dilakukan oleh banyak orang di Cianjur. Walaupun tidak wajib dan tidak semua melakukannya -karena tentu saja ada juga yang tidak suka dan bahkan melarang melakukannya- itu merupakan hal wajar. Perbedaan selalu saja ada. Namun yang saya bahas di sini bukan perbedaannya pendapatnya, tetapi lebih tertuju pada pengenalan istilah “Papajar” itu sendiri.
Saya pernah bertanya beberapa kali kepada beberapa orang yang saya kenal di daerah ini, tetapi hampir semua jawaban itu tidak membuat saya menghentikan rasa penasaran ini. Pertanyaan yang selalu menghinggapi benak saya adalah mengapa istilahnya  terkenal dengan sebutan “Papajar”? Lalu, siapa yang pertama kali mengadakan tradisi itu kemudian menyebarkannya?
Seiring dengan perjalan waktu dan beberapa kali saya mengikuti kegiatan yang disebut dengan istilah Papajar ini, kemudian saya pun memerhatikannya, maka didapatlah sebuah kesimpulan. Bahwa Papajar itu identik dengan kegiatan sekelompok/sekumpulan orang yang berpergian ke suatu tempat wisata. Di sana mereka membuka bekal makanan, terutama nasi dan lauk pauk yang sudah disiapkan dari rumahnya masing-masing. Jadi, hal ini bisa dipastikan memang sesuatu yang sudah diniatkan untuk pergi ke suatu tempat, berkumpul dan menyantap hidangan dengan penuh suka cita dalam ikatan kebersamaan dan kekeluargaan sambil menikmati keindahan alam di tempat itu.
Bila sesuatu yang berhubungan dengan suatu kebiasaan (baca: adat) tentu banyak orang yang asal ikut-ikutan. Entah hal itu akan mendatangkan kebaikan atau hal yang mudarat. Orang yang asal ngikut ini, tentu ‘tak mau ambil pusing. Sebenarnya hal itu juga tidak menjadi masalah apalagi terlalu dipermasalahkan, semua kembali pada keyakinannya masing-masing tadi.
Rasa penasaran dengan tradisi “Papajar” ini, akhirnya sedikit demi sedikit terkuak dari segi pengertiannya. Saat itu (sekitar awal tahun 2000-an) saya mengikuti salat Jumat di masjid Komplek Departemen Agama, Kab. Cianjur. Kebetulan ketika itu menjelang bulan suci Ramadan.
Dalam isi khutbah Jumatnya, khotib tersebut membahas sedikit tentang Papajar. Menurut keterangan beliau bahwa kata “Papajar” itu merupakan akronim yang berasal dari kalimat “Mapag Pajar Ramadan” (Sunda) yang berarti kurang lebih “menyambut fajar Ramadan”.
Bahwa setiap bulan suci Ramadan tiba, ummat Islam yang benar-benar ingin mendapat limpahan pahala seyogianya menyambutnya dengan penuh suka cita. Kemudian, sebagai bentuk kebahagiaan dan suka cita itulah sebagai hal yang mengawali orang-orang yang memiliki kekerabatan atau ikatan keluarga melakukan acara makan bersama sebelum bulan puasa wajib tiba.
Lebih lanjut lagi, bahwa jika sebuah keluarga besar berkumpul hampir dipastikan akan memerlukan tempat lebih luas lagi tentunya. Apalagi dengan menyantap hidangan yang bermacan-macam. Keriaan pun tentu saja dengan serta merta akan hadir bila banyak orang berkumpul dalam satu momen dan satu tempat. Dari hal itulah kemudian muncul kebiasaan baru. Yakni acara makan bersama dan berkumpul. Lalu, agar lebih nyaman dan menyenangkan kemudian dilakukan  di tempat yang lebih luas serta nyaman. Akhirnya, tanpa disadari hal itu telah menjadi sebuah kebiasaan hingga saat ini dalam menghadapi bulan suci. Bahkan bisa dikatakan sudah menjadi sebuah tradisi, bahwa bila Ramadan tiba orang-orang di daerah Cianjur banyak yang melakukan “PAPAJAR.
Wallahu a’lam bishawab.

Cianjur, 20 Juni 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar