PAPAJAR
Oleh: Dedi Saeful Anwar
Setiap menjelang
bulan suci Ramadan tentu akan menghadirkan sesuatu yang berbeda. Magnit bulan yang
penuh berkah dan ampunan itu begitu kuat, tidak hanya untuk ummat muslim, namun
bagi semua makhluk di bumi ini. Semua bersiap dan bersuka cita menyambutnya.
Betapa tidak, bulan
yang di dalamnya diturunkan Al Qur’an ini, semua aktivitas akan terfokus.
Kegiatan ibadah, sosial, dan perekonomian akan serta merta bergerak meningkat.
Semua berlomba. Ada yang berlomba meningkatkan aktivitas ibadahnya tapi tak sedikit
pula yang hanya mengambil keuntungan materi belaka dengan hadirnya bulan penuh
rahmat dan ampunan ini. Tinggal kita memilih, mau mengikuti kelompok yang mana.
Berbicara
persiapan dalam menghadapi “Bulan Seribu Bulan” ini, hampir setiap daerah di
negeri yang mayoritas muslim ini, memiliki adat dan kebiasaan yang berbeda. Ada
yang setuju dengan kebiasaan itu, tentu ada pula yang tidak. Ada yang melakukan
kebiasaan itu, ada pula yang tidak, atau bahkan ‘tak acuh. Semua tergantung
pada keyakinan dan cara hidup masing-masing.
Seperti
di sini, di daerah yang memiliki makanan khas Tauco, Kabupaten Cianjur. Dalam
menghadapi bulan Ramadan, masyarakat di daerah yang terkenal dengan beras
Pandanwangi ini memiliki sebuah tradisi yang unik, yaitu “Papajar”.
Saya sebagai
pendatang baru di daerah ini, sekitar petengahan tahun 1997 tentu pada
awal-awalnya merasa heran dan asing dengan istilah papajar ini. Namun yang
jelas ini adalah tradisi yang dilakukan oleh banyak orang di Cianjur. Walaupun
tidak wajib dan tidak semua melakukannya -karena tentu saja ada juga yang tidak
suka dan bahkan melarang melakukannya- itu merupakan hal wajar. Perbedaan
selalu saja ada. Namun yang saya bahas di sini bukan perbedaannya pendapatnya, tetapi lebih tertuju pada pengenalan istilah “Papajar” itu sendiri.
Saya pernah bertanya beberapa
kali kepada beberapa orang yang saya kenal di daerah ini, tetapi hampir semua
jawaban itu tidak membuat saya menghentikan rasa penasaran ini. Pertanyaan yang
selalu menghinggapi benak saya adalah mengapa istilahnya terkenal dengan sebutan “Papajar”? Lalu, siapa yang pertama kali mengadakan tradisi itu kemudian
menyebarkannya?
Seiring dengan
perjalan waktu dan beberapa kali saya mengikuti kegiatan yang disebut dengan
istilah Papajar ini, kemudian saya pun memerhatikannya, maka didapatlah sebuah
kesimpulan. Bahwa Papajar itu identik dengan kegiatan sekelompok/sekumpulan
orang yang berpergian ke suatu tempat wisata. Di sana mereka membuka bekal makanan,
terutama nasi dan lauk pauk yang sudah disiapkan dari rumahnya masing-masing.
Jadi, hal ini bisa dipastikan memang sesuatu yang sudah diniatkan untuk pergi
ke suatu tempat, berkumpul dan menyantap hidangan dengan penuh suka cita dalam
ikatan kebersamaan dan kekeluargaan sambil menikmati keindahan alam di tempat
itu.
Bila sesuatu yang berhubungan
dengan suatu kebiasaan (baca: adat) tentu banyak orang yang asal ikut-ikutan.
Entah hal itu akan mendatangkan kebaikan atau hal yang mudarat. Orang yang asal
ngikut ini, tentu ‘tak mau ambil pusing. Sebenarnya hal itu juga tidak menjadi
masalah apalagi terlalu dipermasalahkan, semua kembali pada keyakinannya
masing-masing tadi.
Rasa penasaran dengan
tradisi “Papajar” ini, akhirnya sedikit demi sedikit terkuak dari segi
pengertiannya. Saat itu (sekitar awal tahun 2000-an) saya mengikuti salat Jumat
di masjid Komplek Departemen Agama, Kab. Cianjur. Kebetulan ketika itu
menjelang bulan suci Ramadan.
Dalam isi khutbah
Jumatnya, khotib tersebut membahas sedikit tentang Papajar. Menurut keterangan
beliau bahwa kata “Papajar” itu merupakan akronim yang berasal dari kalimat “Mapag
Pajar Ramadan” (Sunda) yang berarti kurang lebih “menyambut fajar Ramadan”.
Bahwa setiap bulan
suci Ramadan tiba, ummat Islam yang benar-benar ingin mendapat limpahan pahala
seyogianya menyambutnya dengan penuh suka cita. Kemudian, sebagai bentuk
kebahagiaan dan suka cita itulah sebagai hal yang mengawali orang-orang yang
memiliki kekerabatan atau ikatan keluarga melakukan acara makan bersama sebelum
bulan puasa wajib tiba.
Lebih lanjut lagi,
bahwa jika sebuah keluarga besar berkumpul hampir dipastikan akan memerlukan
tempat lebih luas lagi tentunya. Apalagi dengan menyantap hidangan yang bermacan-macam.
Keriaan pun tentu saja dengan serta merta akan hadir bila banyak orang berkumpul
dalam satu momen dan satu tempat. Dari hal itulah kemudian muncul kebiasaan baru. Yakni acara makan bersama dan berkumpul.
Lalu, agar lebih nyaman dan menyenangkan kemudian dilakukan di tempat yang lebih luas serta nyaman.
Akhirnya, tanpa disadari hal itu telah menjadi sebuah kebiasaan hingga saat ini
dalam menghadapi bulan suci. Bahkan bisa dikatakan sudah menjadi sebuah
tradisi, bahwa bila Ramadan tiba orang-orang di daerah Cianjur banyak yang
melakukan “PAPAJAR.
Wallahu a’lam bishawab.
Cianjur, 20 Juni 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar