BATIK
Oleh
Dedi Saeful Anwar
Sebelum
resmi dijadikan sebagai warisan budaya oleh UNESCO, aku sedari dulu sudah sangat suka
dengan batik. Aku mengenal kain batik sejak kecil, karena kebetulan ayah adalah
seorang penjahit. Jadi sangat sering melihat kain batik para pelanggan ayah-ku.
Tidak jarang pula aku sering dibuatkan beberapa baju dari kain batik olehnya.
Bahkan
saat kecil dulu ayah-ku pernah membuatkan anak-anaknya kemeja batik dari bahan
lebih (sisa kain yang tidak terpakai), setelah dia mendapat proyek seragam
batik Korpri. Saat itu, aku tidak
tahun kalau kain itu adalah batik pegawai negeri. Aku, dua adik dan dua
kakak-ku berfoto bersama mengenakan baju batik itu. Namun sayang dokumennya kini
sudah raib.
Jika
berbicara soal batik aku sangat besemangat. Betapa tidak, andaipun kain batik
tidak dijadikan warisan budaya negara kita secara resmi oleh badan dunia-UNESCO,
rasanya aku memang sudah kadung jatuh cinta dengan kain ini. Entah apa
alasannya. Suka saja.
Karena
suka, maka saat menginjak remaja pun aku sering memakai baju batik. Saat les di
sekolah, atau pergi ke acara kondangan saudara. Aku selalu mengenakan baju batik.
Padahal saat itu ada kesan kalau mengenakan baju batik kesannya “kolot” bahkan tidak gaul. Aku cuek saja
yang penting suka.
Setelah
memasuki dunia kerja, aku semakin berekspresi dengan batik. Namun sayang, ketika
aku mampu membeli kain batik dengan uang dari hasil keringat sendiri, aku tidak
bisa meminta dijahitkan oleh ayah, karena beliau sudah tiada ‘tak lama setelah
aku lulus sekolah tingkat SLTA.
Jadi
aku menggunakan jasa tukang jahit lain atau membeli baju batik langsung. Sedikit
beruntung, ada seorang paman dan kakak laki-laki-ku yang meneruskan usaha menjahit. Tapi karena berbeda kota
tempat tinggal jadi sering pula meminta jasa menjahit pada tukang jahit lainnya.
Jauh
sebelum resmi dijadikan pakaian nasional, sangat jarang baju batik di jual di
toko-toko, terkecuali di butik khusus. Harganya pun relatif mahal. Mana ada
remaja (baca:ABG) saat itu menjadikan
batik sebagai koleksi pakaian modisnya seperti sekarang ini. Sangat jarang pula
para artis dan petinggi negeri ini yang terlihat memakai baju berbahan batik dalam
pemberitaannya di media.
Karena
dulu kain dan pakaian batik sangat jarang ditemukan, secara otomatis harga pun
sangat fantastis. Aku pernah membeli baju batik dari sebuah butik batik yang
cukup ternama di sebuah mall di kota Kembang. Toko khusus yang memang hanya menjual
kain dan pakaian batik merek tertentu. Aku sengaja membeli eksklusif demi
resepsi pernikahan seorang adik perempuan-ku.
Saat
itu harganya hampir setengah dari uang gaji-ku sebulan. Aku rela merogoh uang
sebesar itu. Kubeli saja karena selain memang gila batik, warnanya bagus dan
yang lebih penting demi hari indah sebuah pesta pernikahan adik tercinta.
Baju
itu kujadikan baju paling spesial. Namun nahas, belum juga berusia setengah
tahun, baju itu rusak digerogoti seekor
hamster. Ketika itu seorang adik laki-laki-ku sedang senang memelihara seekor
hamster pemberian teman kuliahnya, lalu binatang lucu itu kabur dari
saranganya. Saat ditemukan-binatang kecil yang sukanya lari-lari dalam kincir
itu, sedang nyaman membuat sarang dalam lemari pakaian. Baju batik spesial-ku
dijadikan salah satu korbannya dan menjadi santapan giginya yang jahil. Hee..
Kini
koleksi baju batik menjadi penghuni paling banyak di lemari pakaian-ku. Bukan
pamer, memang begitu adanya. Dan yang jelas baju-baju itu hanya 3 buah saja
yang di beli dari toko, itu pun istri yang membelikan. Sisanya adalah hadiah
dari orang lain. Ada dari orang tua murid, ada dari sekolah sebagai seragam
sekolah, dan ada juga dari saudara atau teman sebagai sebuah hadian.
Bahkan
ada satu pemberian seorang pejabat, katanya seragam batik khas Cianjur.
Entahlah, namun sayang sekali karena baju yang satu itu kurang aku suka. Selain
warna dan coraknya tidak menarik, ada rasa ‘gak
pe-de saja saat memakainya.
Dan
kini, aku semakin bangga dengan batik. Apalagi setelah dijadikannya batik
sebagai pakaian nasional dan resmi menjadi warisan budaya oleh salah satu badan
dunia (PBB)-UNESCO. Mataku kini teramat dimanjakan dengan warna-warni dan corak
batik di pelosok negeri. Di berbagai media. Mulai dari kalangan bawah hingga
selebritas negeri, dari buruh hingga pejabat teras, semua berbatik. Bahkan
banyak remaja gaul yang menjadikan batik sebagai salah satu pakaian modisnya.
Para
perancang negeri ini pun berlomba dengan batik dalam hasil karyanya. Terlebih
saat mendengar dan melihat Nelson Mandela,
Presiden Afrika yang kini sudah wafat, sangat gemar dan sering terlihat
mengenakan batik di berbagai acara resmi di negaranya. Kalau orang luar saja
mengakui keindahan dan eksotisme batik, mengapa kita masih cuek? Mari kita
ber-batik.
Aku
bangga dengan warisan budaya ini. I love
batik!
Cianjur, 2 Juni
2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar