Menulis itu asyik. Media yang nyaman untuk berdialog antara hati dan pikiran, hingga melahirkan karya indah yang bermanfaat
BEDAH BUKU SENYUM NOLINA
Selasa, 03 November 2015
pasanggarahan.com: ‘Senyum Nolina’ Dibedah Guru dan Pelajar Al Mizan ...
pasanggarahan.com: ‘Senyum Nolina’ Dibedah Guru dan Pelajar Al Mizan ...: Cianjur, (Pasanggarahan.com) - Apa arti sebuah senyuman? Kegembiraan dan kebahagiaan. Itulah suasana yang tergambar di MTs Mizan Cianj...
Senin, 02 November 2015
[ARTIKEL] ONCE UPON A TIME WITH "SENYUM NOLINA"
ONCE UPON A TIME WITH "SENYUM NOLINA"
CATATAN RINGAN DARI KEGIATAN BEDAH BUKU
CATATAN RINGAN DARI KEGIATAN BEDAH BUKU
Oleh: DEDI SAEFUL ANWAR
dc
....Hidup
bukan untuk
ditangisi,
tetapi dijalani dengan
senyum terurai...
- DS Anwar
cd
Sabtu pagi (31/10), sebuah gedung sekolah yang letaknya
sekitar tujuh kilometer dari pusat pemerintahan tepatnya di jalan Peusar, Desa
Rahong Kec. Cilaku Kabupaten Cianjur, sudah padat dengan para siswa dan guru serta
tamu undangan. Semua tampak antusias dengan atas sebuah gelaran acara sangat
langka dan baru pertama kalinya diadakan di sekolah tersebut.
Setelah melalui jalan berbatu dan penuh lubang serta genangan
air---karena sehari sebelumnya hujan yang lama dirindukan tiba-tiba hadir
dengan derasnya mengguyur Cianjur---akhirnya kami tiba di lokasi tempat
berlangsungnya Acara Bedah Buku “Senyum Nolina”.
Disambut dengan lantunan shalawat dari grup marawis IDSENSA
(Ikatan Dakwah dan Seni MTs. Al Mizan) yang merupakan salah satu kegiatan
ekskul sekolah tersebut, suasana terasa hangat dan menimbulkan semangat bagi
para pengisi dan peserta acara.
Rangkaian acara pun berlanjut satu persatu. Mulai dari
pembukaan, doa dan shalawat yang dipimpin oleh Ustaz Muhidin, lantunan ayat
suci Al Quran (Sukron, 9-A) dan saritilawah (Neng Yuyun, 9-A), serta beberapa
sambutan.
Dalam menyampaikan sambutannya Ketua Komite, Bapak Nurdin Iraz mengatakan bahwa kegiatan ini
sangat positif bagi perkembangan sekolah dan tentunya menambah wawasan
khususnya dalam dunia kepenulisan bagi kalangan pelajar serta para pendidik
dalam hal ini para guru. Beliau juga menyampaikan rasa terima kasihnya kepada
penyelenggara yang telah mengadakan sebuah acara yang sifatnya membangun dan
memotivasi.
Sambutan selanjutnya dari Kepala Madrasah, Bapak Cucu Supyana,
S.Pd.I, sekaligus mewakili Yayasan. Beliau menukil sebuah ayat dalam kitab suci
Al-Quran. Surat Ibrahim-Ayat 1, yang artinya: Alif, laam raa.
(Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia
dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka,
(yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji. (QS: 14: 1).
Beliau juga mengatakan bahwa kegiatan Bedah Buku yang
berlangsung pada bulan Muharram ini diharapkan menjadi tonggak Hijrahnya
Madrasah yang dipimpinnya menjadi sebuah madrasah yang semakin aktif dan giat
dalam mengembangkan prestasi, baik akademis maupun non akademis. Beliau
berharap juga semoga di madrasahnya kelak bisa diadakan kegiatan literasi yang
mampu mewadahi minat dan bakat para peserta didiknya dalam mengembangkan dunia
tulis-menulis. Baik berbentuk ekstakurikuler maupun dalam bentuk lainnya.
Sementara itu sambutan dari Dewan Guru yang diwakili oleh
Bapak Asep Taman, S.Pd. Beliau berkali-kali mengucapkan beribu terima kasih
atas terselenggaranya kegiatan positif yang sifatnya membangun dan mengajak
para peserta didik ke dalam dunia literasi.
Sebelum memasuki acara pokok, penampilan grup marawis IDSENSA
kembali menghangatkan suasana dengan beberapa lantunan shalawat. Setelah itu barulah pembawa acara Meli Siti Homsah
(9-B) dan Yeni Maspupah (9-A) menyerahkan acara dengan sepenuhnya kepada
Moderator (De Minnie).
Penampilan gadis berhijab yang saat ini menjabat sebagai
Bendahara FAM Wilayah Jabar, Santi Sumiati (De Minnie) didaulat menjadi
Moderator. Dengan gaya khasnya yang energik dan ramah, Gadis mungil dan masih
singel ini berhasil menambah semangat para peserta dan tamu undangan.
Sang Moderator berhasil menenangkan peserta yang sebagian
besar adalah peserta didik (siswa) dan berjumlah tidak kurang dari 200 orang.
Mereka mulai resah dalam suhu ruangan yang mulai gerah dan panas. Namun berkat
kepiawannya merangkai kata menjadi kalimat-kalimat indah dan puitis. Gadis
dengan balutan gaun panjang syar’i ini berhasil memancing senyum dan tawa para
hadirin dengan celetukan khasnya yang renyah dan lembut.
“Bagi yang menjawab
salam dengan ikhlas semoga masuk surga---amin. Dan bagi yang menjawab salam
namun tidak ikhlas mudah-mudahan masuk angin,” demikian salah satu
celetukannya yang berhasil membuat ruangan menjadi riuh dan serta merta para
peserta menjawab salam dengan kompak.
Setelah beberapa menit sang moderator menyampaikan pembukaan
dan berkomunikasi dengan lancar di hadapan semua peserta, kemudian Moderator
meminta beberapa siswa yang telah memiliki dan membaca buku tesebut untuk maju
ke podium dan menyampaikan kesan-kesannya.
Risma Siti Patonah
(9-A) mengatakan bahwa dia sangat terkesan dengan cerpen “Piagam untuk Emak”. Menurutnya cerpen
tersebut sangat memotivasi dirinya dalam meraih prestasi. Sementara Aviyah yang
sudah membaca beberapa judul mengatakan bahwa cerpen-cerpen di dalam Kumcer
“Senyum Nolina” sangat menarik. Membuatnya terharu dengan perjuangan para
tokohnya dan sangat menginspirasi.
Setelah memberikan kesempatan kepada dua pembaca buku
tersbut, Sang Moderator lalu memberikan kesempatan kepada Penulis Buku Kumcer Senyum Nolina” untuk memaparkan Proses
Kreatifnya dari awal penyusunan naskah hingga buku tersebut terbit. Di
tengah-tengah pemaparannya dia meminta seorang siswa (Ilma Faridah, Kelas 8-B) untuk membacakan sebuah puisi berjudul “Langkah” karya Iyan Sopian.
Penulis mengatakan bahwa selama proses menulis, editing,
pengambilan dan penentuan judul buku, hingga terbitnya buku tersebut semua
mengalir begitu saja seperti dalam salah satu larik puisi di atas,
.......air mengalir ke ujung entah ....
Namun dalam proses lahirnya buku terbut bukan tanpa hambatan.
Justru karena mengalir begitu saja, akhirnya semua hambatan yang datang dengan bertubi-tubi
justru mampu dilalui dan sepertinya tokoh Nolina
itu berhasil memaknai semua perjalanan dan proses tersebut. Maka diambillah
judul “Senyum Nolina”.
Di tengah-tengah pemaparannya, sang penulis kembali memberi
kesempatan kepada seorang siswa (Siti
Patimah, Kelas 8-A) untuk membacakan sebuah puisi berjudul “Kita akan Sampai pada Langit” karya Moh.
Wan Anwar.
Penulis berharap semoga semua peserta buku ini mampu meraih
segala cita dan harapan seperti larik-larik enerjik dalam puisi tersebut yang
mengajak para pendengarnya memanfaatkan waktu yang dimiliki dengan maksimal. Seperti
dalam sebuah baitnya,
.............
kita akan selalu menuju waktu
walau segala gegas dilambatkan
kita akan menghitung setiap kelokan
menanam benih-benih keabadian
dan sibuk mencari satu pegangan
.....
Sebelum dilanjutkan
kepada sesi tanya jawab, peserta dalam ruangan mendapat sajian indah berupa
lantunan merdu dari dua peserta didik---Tuti
Siti Fadilah (8-B) dan Santi Yunita (8-B)--- yang menembangkan Tembang Sunda
“Tauco Cianjur”.
***
“Mengapa Bapak mau jadi penulis dan bagaimana awal mulanya
hinga menjadi penulis seperti sekarang ini?” demikian sebuah pertanyan yang
membuat Penulis membuka memorinya.
Penulis menjawab bahwa dia tidak pernah bercita-cita ingin
menjadi penulis. Bahkan ketika masa kecilnya, dia malah memiliki tiga cita-cita.
Selain ingin menjadi dokter dan ingin menjadi TNI AL, yang unik adalah dia ingin
menjadi penjual koran. Profesi penulis belum dia kenal sama sekali. Tetapi dari
dulu dia suka membaca. Mulai dari potongan kertas koran bekas pembungkus
terasi, buku-buku di perpustakaan sekolah dan perpustakan umum hingga buku-buku
cerita anak karangan HC. Andersen yang paling digemarinya.” Hingga beranjak
dewasa pun---lanjutnya lagi--- kebiasaan membacanya tidak hilang. Pernah dia
hanya memiliki uang lima ribu rupiah dalam saku. Ketika lapar dia bukannya
membeli nasi, malah membeli 3 eksemplar koran, yang pada saat itu harganya
berkisah Rp1.500,-an, lalu dia lahap membaca koran tersebut dan tidak
memerdulikan perutnya yang melilit.
“Apakah selama Bapak menulis kisah-kisah dalam buku tersebut
pernah meneteskan air mata?” Bapak Ketua Komite Madrasah antusias memberikan
pertanyaan tersebut.
Penulis tiba-tiba menarik napas panjang, lalu matanya
menerawang sejenak. Dan meluncurlah jawaban atas pertanyaan tersebut yang
menyatakan bahwa dia pernah meneteskan air matanya saat menulis beberapa kisah
dalam buku tersebut. Seperti dalam cerpen “Donat
Kentang”, saat adegan seorang anak yang berhasil meyakinkan ibunya ketika
harus mengambil sebuah keputusan berat, namun anaknya begitu tegar dan yakin
bahwa semua itu atas kehendak Allah SWT. Kemudian dalam “Impian Azizah” saat seorang perempuan yang menjadi tenaga kerja di
Timur Tengah. Tapi, ketika tiba kepulangannya ke tanah air, bukan disambut oleh
mekar dan harumnya bunga melati atau mawar di pekarangan, namun oleh aroma yang
menusuk hidung dari potongan daun pandan yang melingkari jasad putranya yang
masih balita.
Dalam sesi tanya jawab ini moderator pun memberikan beberapa
pertanyaan yang berhubungan dengan profil penulis mulai dari tanggal lahir dan
beberapa hal yang berhubungan dengan isi dalam buku Senyum Nolina. Semua penanya dan yang menjawab pertanyaan dari
moderator dan penulis mendapatkan kenang-keangan berupa pin dan buku.
Sebelum kegiatan berakhir Penulis menyerahkan sebuah
kenang-kenangan berupa Buku “Senyum Nolina” kepada Kepala Madrasah. Kegiatan
pun berakhir pada pukul 13.30 WIB dengan
ditutup doa yang dipimpin oleh ustaz Wandi Setiabudi, S.Pd.I. []
Kamis, 29 Oktober 2015
[ARTIKEL] ANTARA KESIBUKAN DAN MINDSET
ANTARA KESIBUKAN DAN MINDSET
Oleh: Dedi Saeful
Anwar
Minggu ini ada
beberapa yang hal harus dikerjakan. Selain kegiatan rutin mengajar di dua
sekolah (MTS dan SD), kegiatan temporal dan kegiatan menulis ---sebetulnya
masih malas-malasan alias belum menjadi pilhan utama selain kegiatan mengajar--
yang membutuhkan konsentrasi.
Bagiku menulis
sebenarnya menjadi satu kegiatan yang memiliki passion tesendiri, namun begitu
sulit membagi waktunya. Bila pulang tugas mengajar sore hari, tentu menguras
energi baik tenaga maupun pikiran. Bila saat tugas di sekolah lancar mungkin
saat datang ke rumah tidak terlalu menguras energi. Lain soal bila di sekolah
menemukan beberapa hal atau masalah. Semisal siswa berkali-kali tidak mengerjakan
PR atau tugas. Siswa bermasalah dengan siswa lain atau dengan orang tuanya
sehingga sekolah (guru) harus turun tangan. Tentu hal ini akan menambah beban
jika tidak pandai mengatur emosi dan menjaga kondisi. Salah menempatkan
bisa-bisa masalah di sekolah terbawa ke rumah.
Sesampainya di
rumah, tentu pekerjaan lain pun sudah menunggu. Anak ada PR. Menjaga kondisi
rumah dengan istri agar tidak berantakan karena kami belum mempunyai pembantu/asisten
RT. Sementara anak-anak belum paham atau disiplin dalam kebersihan dan kerapian
rumah. Salah-salah hal kecil pun bisa menimbulkan konflik baik dengan istri
maupun anak.
Belum lagi
jika ada anak yang sakit atau selalu melanggar aturan keluarga. Hal-hal itu
tentu akan mengurangi mood untuk
menulis. Ketika anak-anak sudah tidur seringkali ada niat untuk menyalakan
komputer/PC lalu menulis ide yang ditangkap dari pagi hiongga siang/sore hari.
Hal itu tidak serta-merta lancar dan mudah untuk dituangkan. Selain ide tersebut
keburu hilang dan menguap, terkadang rasa kantuk yang berat menyerang mata karena
kelelahan. Tak jarang malah tidur karena memang mata sulit dibuka.
Kembali pada
soal kegiatan. Dengan banyaknya kegiatan tentu akan menguras daya pikir dan
konsentrasi. Nah, dalam minggu ini tiga hari berturut-turut melakukan pekerjaan
dengan hasil yang dirasakan kurang maksimal yang diakibatkan telat tidur. Mata
bisa terpejam lewat jam dua dini hari. Sementara esok hari sebelum jam 7 harus
sudah memulai lagi aktivitas hingga menjelang senja pulang. Bahkan dua hari
tesebut sejak pagi harinya sudah melakukan kesalahan dan kekeliruan.
Beruntuk pada
hari ke-empat ada jeda libur Peringatan Hari Santri Nasional yang jatuh pada
tanggal 22 Oktober. Namun walau ada kesempatan untuk istirahat (colongan) tetap
saja ada kegiatan yang harus diselesaikan. Dengan demikian istirahat untuk
memulihkan kondisi badan yang kelelahan urung dilaksanakan. Malamnya pun tidur
kembali telat.
Tetapi aneh
bin heran. Di hari ke-lima akivitas mengajar malah dirasakan nyaman dan enjoy.
Walau pun badan masih tetap dirasakan kurang fit dan mata masih diarasakan
sepet karena kurang tidur berhari-hari.
Saat mengajar di
kelas 4—kebetulan hari Jumat saya mendaat jadwal mengajar Bahasa Inggris di
sekolah dasar. Setelah menyapa dengan sapaan “Good morning, students” seperti biasa murid-murid menyapa antusis
dengan jawaban “Good morming, Mr.”
Lalu
kulanjutkan dengan How are you today?” mereka apun mejawab’ “I’m fine thank you. And you?”
“I’m verry well. Thank you.” Jawabku.
Setelah berdoa
dan mengabsen aku berinisiatif mengajak peserta didik untuk bernyanyi lagu yang
seminggu sebelumnya disampaikan “Are you
sleeping?”. Walau ada beberapa peserta didik yang tidak disiplin dan tidak
memerhatikan namun tidak mengganggu sebagian besar speserta didik yang duduk
rapi di bangkunya masing-masing.
Hampir semua
semangat dengan suara lantang mereka bernyanyi. Akhirnya yang tidak duduk rapi
itu mengikuti kegiatan teman-temannya yang menyanyi kompak.
Setelah
diraskan cukup menghangatkan susana, kau belum menyuruh peserta didik
mengeluarkan alat tulis. Tiba-tiba saja energi pun muncul dengan meluap-luap.
Aku lupa dengan mata yang perih dan tenggorokan agak gatal dan kering--- sepertinya
pilek gegara angin malam mulai menyerang.
Aku mengajak
peserta didik untuk melakukan gerakan tepuk tangan. Saat aku mengatakan “tepuk
sekali” peserta didik bertepuk tangan sekali. Berturut-turu kuperintahkan,
hingga kuucapkan kalimat “tepuk lima kali”. Anak-anak pun bertepuk lima kali
tepukan.
Setelah itu,
kegiatan belum selesai. Aku perintahkan mereka berhadapan dengan teman sebangkunya
masing-masing. Lalu menepukkan tangannya sendiri setelah itu menepukkan ke telapak
tangan teman yang berada dihadapannya (temen sebangku) kalau menepukkan tangan
sediri sekali, lalu menepukkan ke telapak tangan temannya pun sekali saja.
Begitu terus hingga tepuk tangannya lima kali. Kegiatan itu dilakukan 2 kali
berturu-turut.
Dan setelah dirasa semua anak antusias dan daya
konsentrasinya terpancing, artinya tidak ada yang ke luar bangku, tidak ada
yang jail pada temen di belakang, di hadapan dan di samping, barulah aku
menyuruh mereka mengeluarkan buku catatan.
Kegiatan 2x35
menit pun berjalan sukses tanpa hambatan. Semua siswa antusias hingga
pembelajaran ditutup dengan bernyanyi dan bertepuk tangan kembali.
Dengan demikian,
selelah dan sepenat apapun dirasakan oleh tubuh dan pikikiran kita, jika pola
pikir kita positif dan enjoy, insyaAllah segalanya akan mudah dan lancar. Dan
tentu saja ada nilai plus yang tidak bisa ditukar dengan hal apa pun, yaitu
keikhlasan dan selalu bersyukur.
Wallahua’lam bishawab.
Cianjur, 23 Oktober 2015
Sabtu, 24 Oktober 2015
[RESENSI] MENGARUNGI LABIRIN KEHIDUPAN
MENGARUNGI LABIRIN KEHIDUPAN*)
Judul Buku :
Laki-Laki yang Tidak
Memakai Batu Cincin
Kategori :
Kumpulan Cerpen
Penulis :
Badaruddin Amir
Penerbit :
FAM Publishing
ISBN :
978-602-335-023-0
Tahun Terbit :
Cetakan
Pertama, Maret 2015
Tebal : 176 Halaman; 14x20 cm
Buku
yang berisi tujuh belas cerpen ini begitu memukau dan sarat perenungan. Di
setiap kisahnya Badaruddin Amir---penulis
kumcer ini, begitu lihai meracik kata per kata menjadi untaian kalimat yang bertabur
makna.
Di setiap paragraf
pembaca akan disuguhi kalimat-kalimat lezat yang bertabur deskripsi indah.
Pembaca seolah berada di dalam gelombang teka-teki dan lautan pertanyaan. Ke
mana kisah ini berujung, mengapa hal itu bisa terjadi serta pertanyaan-pertanyaan
yang sebenarnya pembaca sendiri bisa menjawab dan menyimpulkannya.
Setiap pembaca akan diajak
tersenyum manis namun tak lama kemudian garis bibir akan segera berubah miris, lalu
tertawa, merinding, hingga menangis. Kita akan melihat dan merasakan berbagai kelucuan
dan keluguan, lalu dibawanya kepada
hal-hal absurd bahkan sedikit berbau erotis. Hemmm...buku yang benar-benar
lengkap dan membuat pembaca tak akan rela bila ketinggalan lembaran-lembaran
berikutnya hingga lembar terakhir.
Di halaman pertama
pembaca akan mulai diajak berkelana dalam sebuah kisah dengan judul yang cukup
panjang, “Menghitung Batu-batu yang lepas dari
Aspal Jalanan”. Di dalamnya mengisahkan sebuah daerah tertinggal yang
memiliki jalur transportasi buruk, tetapi sumber daya alamnya terus dikeruk
tanpa memikirkan ceruk-ceruk becana alam yang mengintai kapanpun juga siapapun.
Untaian kisah berlanjut pada “Kemiri (1)” dan “Kemiri (2)” yang bercerita kesederhanaan hidup di sebuah kampung
yang menghasilkan kemiri dengan deskripsi indah. Pesan kuat di dalamnya adalah
jangan pernah menganggap rendah orang lain dan jangan berprasangka buruk kepada
orang lain yang ternyata malah orang yang kita nilai buruk ternyata berhati mulia.
Daya
pikat untaian kalimat kembali berlanjut pada “Sahabat Penting Kami dari Masa Kanak”. Sebuah kisah yang menuturkan sikap lupa diri seorang manusia yang silau dengan
kemilau dunia. Pendidikan tinggi tidak serta merta menjadikan manusia memiliki akhlak
mulia. Sebuah kisah lain dari hiruk pikuk dunia politik yang mengantarkan
seorang anak manusia ke balik jeruji.
Kisah-kisah anak
manusia dengan berbagai konflik kehidupan dan pernak-pernik dunia kembali hadir
dan mencengangkan dihadirkan dalam runtutan cerpen berikutnya. Fenomena batu akik yang mengubah tatanan
kehidupan masyarakat kita akhir-akhir ini disindir dengan cerdas dalam “Laki-laki yang Tidak Memakai Batu Cincin”. Kemudian,
kisah yang sedikit menerbitkan bulu kuduk dapat disimak dalam“Emilia” yang hadir begitu apik dengan
ending yang benar-benar manis merinding.
Impitan berbagai
persoalan kehidupan muncul dengan kental adalam “Dia Berenang Terus”. Mengarungi kehidupan ibarat kita berenang di
tengah badai serta airlaut, dalam gelap keadaan malam mencekam.
“....ia memang harus berhati-hati karena kesalahpahaman
bisa terjadi. Dan alangkah banyaknya korban salah paham, salah tangkap dan
belakangan salah tembak ....” demikian sebuah penggalan dalam kisah “Dia
Memanjat Terus”, menyindir sikap aparat negeri ini yang seringkali membuat
geram dunia hukum.
Bahwa masyarakat kita
ini adalah masyarakat yang lemah, yang seringkali mudah terhasud oleh pemberitaan
yang belum tentu jelas benar kejadiannya. Kita teramat sering dimakan isu
murahan dan kacangan. Sentilan ini hadir dalam cerpen “Kucing”. Sedangkan dalam “Mercon
Ramadan” dan “Tlit...Tit di Akhir Ramadan” mengajak kita untuk merenungkan berbagai
hal yang kerap hadir di bulan yang penuh berkah.
Kisah berbeda muncul
dalam “Ayahku Seorang Lelaki Malam”. Teka-teki
siapa sebenarnya Ayah si tokoh utama dalam kisah tersebut membuat pembaca
sedikit mengernyitkan dahi. “...Siapa ayah kami memang selalu menjadi pertanyaan
tak terjawab hingga adikku menjadi kanak-kanak. Apakah ayah adikku juga adalah
ayahku? Semuanya menjadi misteri....”
Selanjutnya
kelucuan akan muncul dalam “Kandang Ayam”
dan “Iseng”. Hal-hal sederhana bisa menjadi unik dan menarik. Penulis
berhasil mengulik kisah-kisah menggelitik membawa pembacanya benar-benar
tersenyum.
Rasa satra yang kental
lalu hadir dalam “Matahari Dimakan Rayap pada Suatu Senja” seperti dalam kalimat di halaman 146 berikut ini ....” usai
ritualisasi itu, rayap rayap raksasa itu kemudian ramai ramai memakan matahari
dengan rakusnya. Matahari pun luka dan berdarah. Ceceran darahnya menetes ke
laut hingga membuat laut jadi merah”. Sebuah keindahan merangkai kata yang
memukau.
“Tak Ada Euphimisme untuk Tahi” sebuah kisah tentang hal yang sering luput dari perhatian
kita. Dengan tidak bermaksud jorok ataupun menghadirkan rasa jijik terhadap
kotoran. Sementara itu kisah yang menghadirkan sebuah proses membangun usaha
dan meningkatkan kepercayaan diri hadir dalam “Senyum dan Tawa”.
Secara keseluruhan dalam dalam buku kumpulan
cerpen ini penikmat akan disuguhi berbagai ending yang mengejutkan ibarat
mengarungi labirin kehidupan. Teka-teki selalu merajai kalimat demi kalimat.
Dari awal kisah ini penulis membangun simpati dan empati namun tetap diselimuti
misteri. Membaca buku ini
menerbitkan perenungan mendalam terhadap hal yang sering dianggap sepele. Tak
jarang sesekali diberi ending yang membuat tersenyum kisah-kisah di dalam
beberapa cerpen. Sehingga tidak menumbuhkan rasa bosan untuk terus melahap buku
ini hingga di halaman terakhir. Keliaran imajinasi penulis yang telah banyak
menerima penghargaan juga merupakan seorang guru ini tampak mendobrak batas-batas
kemustahilan. []
Cianjur, 13 Oktober 2015
*) Dimuat di Harian Singgalang, Padang, Sumatera Barat.
Minggu, 25 Oktober 2015
*) Dimuat di Harian Singgalang, Padang, Sumatera Barat.
Minggu, 25 Oktober 2015
Rabu, 21 Oktober 2015
[BERITA] Pemenang Lomba Resensi Buku terbitan FAM Publishing 2015
Nama-nama Pemenang Lomba Resensi Buku terbitan FAM Publishing (Divisi Penerbitan FAM Indonesia).
JUARA 1
Dedi Saeful Anwar (Bandung)
Judul Resensi: “Metamorfosa Seorang Gadis Desa”
JUARA 2
Ken Hanggara (Surabaya)
Judul Resensi: “Kisah Panjang Pencarian Jati Diri”
JUARA 3
Intan Puspita Dewi (Jakarta)
Judul Resensi: “Hidup, Cinta dan Perjuangan”
Sebagai tanda apresiasi, FAM Indonesia memberikan Hadiah sebagai berikut:
JUARA 1
- Uang Tunai Rp500.000,-
- Paket Buku terbitan FAM Publishing
- Piagam Penghargaan
JUARA 2
- Uang Tunai Rp300.000,-
- Paket Buku terbitan FAM Publishing
- Piagam Penghargaan
JUARA 3
- Uang Tunai Rp200.000,-
- Paket Buku terbitan FAM Publishing
- Piagam Penghargaan
Sumber: http://www.kabarancak.com/2015/08/pengumuman-pemenang-lomba-resensi-buku.html
BEDAH BUKU "SENYUM NOLINA"
Dalam rangka memperingati hari Sumpah Pemuda ke-87, ikuti dan hadiri kegiatan “Bulan Bahasa Al Mizan”!
Dengan acara menarik berupa bedah buku “Senyum Nolina”
Karya: Dedi Saeful Anwar.
Acara akan dihadiri oleh:
Iwan B. Setiawan (Ketua
Komunitas NINABobo/Dewan Kesenian Cianjur),
De Minnie (Pengurus FAM Jabar)
Pelaksanaan:
Sabtu, 31 Oktober 2015
Waktu: Pukul 08.00 s.d. selesai
Tempat: MTs. Al Mizan Kec. Cilaku, Cianjur-Jabar.
Rabu, 08 Juli 2015
[ARTIKEL] NGUPAT
NGUPAT*)
Oleh: Dedi
Saeful Anwar
Lebaran sebentar
lagi
Berpuasa sekeluarga
Sehari penuh yang sudah besar
Setengah hari yang masih kecil
Alangkah asyik pergi ke mesjid
Solat tarawih bersama-sama
Berpuasa sekeluarga
Sehari penuh yang sudah besar
Setengah hari yang masih kecil
Alangkah asyik pergi ke mesjid
Solat tarawih bersama-sama
... ...
Penggalan lirik
lagu “Lebaran” dari grup musik legendaris asal Bandung, Bimbo, sudah sangat
jarang terdengar. Kini telah banyak lahir lagu-lagu reliji baru, baik dari
grup-grup band maupun grup-grup nasyid. Walau terkadang merasa aneh juga, lagu
reliji tapi personil grupnya beranting.
Namun, sekalipun
diserbu lagu-lagu baru, lagu Bimbo seperti contoh di atas selalu menghadirkan aura
lain. Selain lagu Bimbo tadi, ada hal lain yang tak bisa dipisahkan dengan
Lebaran. Yaitu, tradisi "Ngupat".
Siapa yang tak kenal, tak tahu atau tak pernah mencicipi kupat*)? Bisa dipastikan kupat bukan hal yang aneh untuk dibahas.
Kala Lebaran menyapa, hidangan kupat seolah menu wajib. Sejak kecil dulu hingga
sekarang, tanpa kupat rasanya belum
Hari Raya.
Tetapi, tentunya setiap daerah atau pun di negara lainnya,
juga memiliki makanan khas yang disajikan saat Hari Lebaran. Tidak hanya kupat. Bila berbicara tentang kupat, makanan khas ini Lebaran paling
pas jika disajikan dengan opor ayam lalu dinikmati beramai-ramai dengan seluruh
keluarga. Ibarat ponsel dengan kartunya, atau perangko dengan amplopnya. Kupat dan opor adalah sejoli paling serasi.
Untuk membuat kupat
kini tak perlu repot-repot. Penjual cangkang kupat
biasanya sudah banyak berjajar di pinggir-pinggir jalan di saat menjelang
berakhirnya Ramadan. Tinggal merogoh kocek beberapa lembar uang seribuan, dan
cangkang kupat pun siap diisi beras lalu direbus. Hidangan kupat siap disantap. Tanpa kupat
lebaran terasa belum lengkap walau berkumpul dengan keluarga.
Jika memutar jarum ke masa lalu, saat mendekati lebaran, antara
dua atau satu hari lagi, ibu sering menganyam sendiri cangkang kupat. Sambil menemani ibu menganyam,
aku sering memerhatikan tangan beliau yang lihai dan terampil menyulap tiap
helai janur menjadi berpuluh cangkang kupat nan cantik. Perpaduan warna hijau
muda kekuningan. Lalu, dari pada bengong akhirnya aku pun tertarik untuk
belajar pada ibu, membuat cangkang kupat. Hingga berhasil membuat beberapa cangkang kupat*). Walau tak seindah dan serapi buatan ibu, tapi hal itu
menghadirkan pujian lembut ibu meluncur dari mulutnya.
Membuat cangkang kupat tentu lebih sensasional. Dari
mulai membeli janur (daun kelapa muda), lalu menganyamnya. Selain menghemat
biaya dan mengasah kreativitas, juga sekalian "ngabuburit". Dan yang lebih esensi lagi adalah menjaga
tradisi, sebelum cangkang kupat dan "ngupat"*) diakui negeri lain.[]
Cianjur, 5 Juli 2015
*)Kupat (Sunda) =
ketupat
Kupat = leupeut
nu dibungkusan ku kantong janur meunang nganyam, bangunan pasagi burung.
*) Ngupat = nyieun kupat (membuat ketupat)
*)Cangkang kupat = janur nu dianyam nu jadi pamungkus eusi
kupat, sok disebut oge urung kupat.
(janur yang di anyam yang jadi pembungkus isi ketupat, sering juga disebut urung ketupat)
---
---
Minggu, 05 Juli 2015
[ARTIKEL] NGUEH
NGUEH*)
Oleh: Dedi Saeful Anwar
Jalan Ramadan
semakin menurun. Tidak lama lagi akan meninggalkan kita. Sepuluh hari di bagian
ke-dua pun akan beranjak ke sepuluh hari bagian ke-tiga.
Hajat setiap ummat tentu semakin kuat. Ada yang likat terus meningkatkan semangat ibadahnya, tak sedikit pula yang malah melipat tikar, mengejar berbagai ingar-bingar.
Hajat setiap ummat tentu semakin kuat. Ada yang likat terus meningkatkan semangat ibadahnya, tak sedikit pula yang malah melipat tikar, mengejar berbagai ingar-bingar.
Persiapan mudik,
berbelanja kebutuhan barang-barang yang serba baru (yang sebenarnya tidak terlalu
perlu) yang penting ibadahnya khusyu. Namun itulah tradisi. Ibarat benteng kokoh yang mengungkung diri,
seolah-olah hal itu musti dipenuhi.
Berbicara akhir Ramadan, tentu aroma Lebaran semakin
kental. Bila hari kemenangan kian dekat bisa dipastikan hidung yang sedang
berpuasa mengendus bermacam aroma yang ke luar dari atap-atap rumah. Biasanya para
ibu mulai disibukkkan dengan membuat beraneka kue untuk menyambut hari raya. Tradisi
inilah yang tidak bisa dilepaskan dengan Ramadan dan Lebaran. Ya, tradisi
"Ngueh".
Saat kecil dulu ada beberapa penganan yang aromanya
benar-benar menggoda keteguhan masa-masa belajar berpuasa. Namun, tentu kue-kue
zaman dahulu dengan kue saat ini sudah ada perbedaan. Saat itu aku tidak mengenal
nastar, putri salju, brownies, muffin, atau pun kue aneh lainnya. Dahulu ibu paling
banter sukanya membuat keripik ketan hitam, peuyeum ketan hitam, ranginang (rengginang), dan yang sedikit
modern (berbahan terigu) kala itu hanya kue semprit yang kukenal. Kalaupun ada
bolu, bisa dipastikan teksturnya padat, tidak empuk seperti bolu-bolu saat sekarang
ini.
Nah, dua penganan/kue yang kusebut di awal itulah yang
mengundang hidung benar-benar tak berdaya. Bagiku saat ibu mengukus tepung ketan
(untuk keripik) dan beras ketan (untuk peuyeum), godaan aroma wangi dari aseupan (pengukusan) menusuk-tusuk
rongga hidung. Membuat ngeces hingga perut melilit. Dengan bijaksana ibu
menyisihkan sedikit kedua bahan penganan itu ke piring kecil (pisin) untuk kucicipi saat berbuka.
Padahal ketika Magrib/waktu berbuka tiba aroma kedua
penganan itu sudah tak sewangi sebelumnya. Selain sudah menjadi dingin, perut
yang sudah terisi pun menjadikan penganan itu tentunya tak lagi begitu
menggoda.
Ramadan saat ini semakin di ujung, namun aroma-aroma kue
tradisional itu tak lagi mengguncang rongga hidung. Kini aroma-aroma itu telah tergantikan
dengan aroma kue-kue yang sudah keren dan moderen. Padahal rasa kangen selalu mengetuk
pintu angan. [dsa]
Cianjur, 5 Juli 2015
---
*) membuat kue (Sunda).
Sabtu, 04 Juli 2015
[ARTIKEL] CATATAN DARI KEGIATAN BEDAH BUKU DAN DISKUSI MENULIS FAM WILAYAH JABAR-BANTEN
CATATAN DARI KEGIATAN BEDAH BUKU DAN DISKUSI MENULIS FAM WILAYAH JABAR-BANTEN
Oleh: Dedi
Saeful Anwar *)
Berfoto bersama usai kegiatan.
Setiap momen
Ramadan tentu menghadirkan berbagai kisah dan cerita tersendiri bagi setiap
diri yang menjalani. Demikian pula pada Ramadan kali ini. Sebagai salah satu
upaya untuk menjadikan bulan suci sebagai bulan penuh berkah maka FAM Wil
Jabar-Banten bekerja sama dengan Taman Baca Masjid Agung (TBMA) Cianjur
mengadakan kegiatan yang bertitel “Bedah
Buku dan Diskusi Menulis”.
Kegiatan
berlangsung santai namun hangat dan penuh keakraban di beranda TBMA. Selain dihadiri
para pelajar dan pengunjung TBMA acara ini juga dihadiri tiga orang kontributor
yang karyanya berada dalam buku “Sepenggal
Kisah di bulan Suci” terbitan FAM Publishing ini. Mereka mewakili sejumlah
penulis yang tergabung dalam Antologi
FTS dan Prosa Liris yang terbit Maret 2014 silam. Di antaranya adalah De
Minnie, Azxa dan saya sendiri.
Selain itu
kegiatan semakin hangat dengan kehadiran penulis yang tulisannya banyak
menghiasi beberapa koran daerah dan nasional Irwan Sandza serta penyair dan
sastrawan kawakan dari Tatar Cianjur sekaligus Pendiri Komunitas NINABobo, Iwan
B Setiawan.
Diawali dengan
pembukaan oleh moderator--- De Minnie, kemudian kegiatan berlanjut pada sesi
pemaparan nara sumber. Pada sesi ini dipaparkan tentang proses awal pengumpulan
dan penyeleksian naskah hingga proses penerbitan buku.
Buku dengan
ketebalan 150 halaman dalam dimensi 13x20 sentimeter ini berisi tulisan-tulisan
menarik tentang muhasabah. Berisi kisah-kisah yang membawa pembacanya merenung
bahwa ternyata dari setiap peristiwa yang diberikan Allah Swt kepada ummatnya
selalu diikuti dengan hikmah. Para penulis dalam buku tersebut mengulas
peristiwa baik yang dialaminya sendiri maupun pengalaman anggota keluarga
tercinta. Hingga beberapa keharuan menghadirkan embun-embun bening di ujung
netra. Setiap jengkal kalimat yang dituturkan penulis mampu menghentak jiwa
bahwa ternyata setiap diri kita adalah makhluk lemah yang tiada daya dan upaya
selain berharap pada pertolongan dan hidayah-Nya.
De Minnie dalam
kisahnya “Tamu di Penghujung Usia” menuturkan kepedihan seorang cucu perempuan yang kehilangan
kakeknya. Kemudian Yusrina Sri, penulis dari Kab. Pesisir
Selatan, Sumbar, mengisahkan “Doa Orang yang Teraniaya”. Allah
menjanjikan bahwa doa hambaNya yang teraniaya tidak memiliki sekat dan batas
apapun dengan diriNya. Lalu, Ade Ubaidil penulis enerjik dari Cilegon, Banten menuturkan
tentang luka jahit di pelipis kirinya menjadi saksi bisu, dan teguran dari Allah
Swt di saat menjalani ibadah pada bulan Ramadan.
Selain itu yang
tak kalah mengharukan kisah detik-detik menantikan buah hati seperti yang
dituturkan Nuryaman Emil Hamzah penulis dari Ciamis yang sekarang bermukim di Pandeglang,
Banten. Bayang-bayang kematian istri
dan bayi yang berada di dalam kandungan istrinya musnah seketika saat berserah
dan pasrah kepada Allah Swt. Operasi persalinan dan besarnya biaya, semuanya
sirna. Istri dan anaknya selamat lahir tanpa operasi dan biaya tak sampai 10%
dari biaya operasi. Dalam kisah “Kemudahan
di Balik Kepasrahan”.
Selanjutnya
dalam sesi ke-dua yaitu diskusi menulis, acara berlangsung semakin hangat. Ditingkahi
embusan angin senja yang turut hadir serta daun-daun trembesi yang berjatuhan
diterpa angin, dalam sesi diskusi menulis terjadi komunikasi langsung.
Moderator memberikan kesempatan kepada audiens untuk tanya jawab. Mulai dari
proses kreatif sebuah tulisan, bagaimana cara menghadapi kebuntuan ide, lalu
cara membangkitkan semangat menulis yang mandeg hingga cara membuat sebuah
tulisan itu mampu menghadirkan daya tarik bagi pembacanya hingga pembaca
tersebut merasa puas dengan sebuah karya tulis.
Bahwa seorang
penulis itu adalah seorang yang harus mampu membaca. Bukan hanya membaca sebuah
buku atau tulisan di atas selembar kertas saja. Tetapi seorang penulis
diharapkan mampu membaca hal-hal yang terjadi di hadapannya dan membaca alam
sekitarnya. Kembali kepada “iqra”, demikian penuturan Iwan. B Setiawan.
Kemudian tips
atau trik di saat menghadapi kebuntuan ide atau semangat menulis, kita
diusahakan untuk mencari suasana baru. Bisa dengan membaca refereansi buku-buku
lain, mengunjungi tempat-tempat wisata atau tempat yang bisa mendatangkan
ketenangan sehingga pikiran menjadi segar kembali.
Ramadan adalah
bulan yang penuh dengan peristiwa yang menarik untuk disimak bahkan di dalamnya
bertebaran ide untuk menulis. Contohnya mulai dari suasana bangun dini hari
lalu menyantap hidangan sahur, baik dengan keluarga maupun di tengah-tengah
lingkungan pesantren. Kemudian saat tadarus, mengikuti kegiatan kuliah subuh,
pesantren kilat, “ngabuburit” bahkan di saat berbuka puasa atau tarawih pun
bisa menjadikan ide untuk menghasilkan sebuah tulisan.
Lalu, siapkan
alat tulis dan secarik kertas bila tidak ada buku kecil. Atau media handphone untuk mencatat ide yang tiba-tiba
hadir. Hal itu untuk menjaga
seandainya sewaktu-waktu kita lupa akan ide yang pernah terlintas. Lalau
kembangkan menjadi sebuah tulisan di kesempatan lain yang lebih memunkinkan
waktunya untuk menyelsaikan sebuah tulisan atas ide tersebut. Demikian nara
sumber menuturkan pendapatnya dalam mengangkat tema tulisan.
Menulis asdalah
proses kreatif atas apa yang didengar, dilihat, dan apa yang terjadi di sekitar
kita. Sehinga muncul kekuatan menulis berdasarkan rasa empati yang muncul dalam
diri.
Demikian paparan
hasil bedah buku dan diskusi menulis yang diselenggarakan oleh FAM Wilayah
Jabar-Banten dan TBMA-Cianjur. Semoga bermanfaat. Terima kasih kepada Ketua
Umum (Muhammad Subhan) dan Sekretaris (Aliya Nurlela) yang tak henti memberikan
semangat serta dukungan morilnya. Pengurus TBMA (Teh Defa beserta jajarannya), Sang
inspirator Ayah Iwan B. Setiawan, Irwan
Sandza, Kang Asep, juga tak lupa De Minni yang selalu menghadirkan suasana seru
dan ceria di setiap kehadirannya serta seluruh audiens yang telah berkenan hadir
dalam kegiatan tersebut.
Wallaha’lam bishawab.
Cianjur, 1 Juli 2015
Lihat juga:
http://www.famindonesia.com/2015/06/catatan-dari-bedah-buku-dan-diskusi.html
Senin, 29 Juni 2015
[ARTIKEL] SEMANGAT MENULIS DI BULAN SUCI
SEMANGAT MENULIS DI BULAN SUCI
Oleh: Dedi Saeful Anwar
Setiap ummat Islam tentunya mendapat
perintah dari Allah SWT untuk menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadan. Bulan
suci yang penuh berkah dan ampunan. Karenanya, bagi setiap ummat muslim yang
taat dan yang telah mengetahui kemuliaan bulan yang disebut pula dengan istilah
“bulan seribu bulan” ini tentu akan berlomba berbuat kebaikan dan menjalankan
ibadah dengan penuh kehusyukan.
Oleh karenanya, tentu pada setiap diri
yang menjalankan berbagai kegiatan yang berhubungan dengan ibadah pada bulan
suci ini akan menghadirkan berbagai kisah dan kejadian. Baik yang unik, seru,
menggembirakan atau mengharukan.
Tentu pula semua kejadian tersebut
akan menghadirkan bermacam gambar dan cerita menarik pada tiap-tiap lembar
kertas kenangan yang tak akan pernah terulang kembali. Kisah yang akan terus
bersemayam dalam benak hingga menjadi sebuah bahan yang bisa dijadikan cerita
menarik di masa mendatang.
Dengan demikian, semua penggalan kisah
dan kejadian selama satu bulan tentu akan menjadi inspirasi bagi setiap diri
untuk menuangkannya ke dalam karya tulis. Kita bisa menuliskan kisah-kisah
tersebut dalam berbagai bentuk karya tulis. Baik kisah nyata/fts, prosa liris,
puisi, cerpen, novel atau karya tulis dalam bentuk lainnya seperti
esai/artikel.
Menangkap Ide yang Datang Tiba-tiba
Dalam menulis setiap orang tentu
membutuhkan ide atau tema untuk ditunangkan menjadi sebuah karya tulis. Lalu
ide seperti apa yang bisa kita tulis? Terkadang di antara kita sering merasa
kesulitan untuk mendapat atau menangkap ide. Padahal apa yang kita lihat, kita
dengar, kita rasakan (di sekitar kita) dan yang kita lakukan itu semua
merupakan bahan atau ide yang bisa dijadikan sebuah atau beberapa tulisan.
Rangkaian ibadah atau bermacan
kegiatan di bulan suci tentunya sangat beragam, seperti: salat tarawih
berjamaah, tadarus, makan sahur, mengikuti kegiatan kuliah subuh, ngabuburit, saat
berbuka puasa dengan keluarga atau dengan teman sekolah/rekan kerja.
Bisa juga kejadiaan saat di mana kita
sedang berangkat ke sekolah/pengajian, sedang bermain atau bekerja bahkan saat
kita menonton acara tv, mendengarkan siaran radio atau membaca sebuah buku pun
bisa menghadirkan berbagai ide dan menjadikannya sebagai sumber atau bahan
untuk menulis. Semua itu akan menghadirkan puzle-puzle indah untuk disusun
menjadi sebuah untaian kisah indah dan memulas seulas senyum manis di saat
mengenangnya kelak.
Jadi, tidak ada alasan bagi setiap
diri (apalagi bagi yang hobi menulis) untuk kehabisan ide dalam menulis.
Menulis selain sebagai terapi bagi seseorang untuk menjaga ketajaman berfikir
tentu akan menjadi sebuah kegiatan yang menarik dan bisa dijadikan menjadi
salah satu kegiatan yang sangat positif dalam momentum Ramadan ini.
Media untuk Menulis Ide yang Datang Tiba-tiba
Kemudian,
apa yang musti kita lakukan setelah ide itu kita temukan. Jangan kita menjadi terpaku dan kebingungan.
Langsung saja kita tangkap ide tersebut dengan menuliskannya dalam bermacam
media. Jika ada buku dan pulpen jangan tunggu lama-lama, tulis saja langsung.
Bisa beberapa kata atau kalimat. Nanti pada suatu kesempatan yang lebih santai
bisa kita kembangkan ide tersebut. Mungkin ketika jam istirahat di sekolah atau
di tempat kerja. Atau di rumah saat kita ingin lebih fokus dengan ide yang
sudah hadir tersebut.
Lantas jika tidak ada buku, hanya ada
secarik kertas bekas bon penjualan, why
not/ Mengapa tidak. Saya sering menuliskan beberapa ide yang muncul saat sedang
di perjalanan---ketika berkendaraan roda
dua, saya berhenti terlebih dahulu di tempat yang aman sejenak dan langsung
menuliskannya walau hanya dalam potongan sebuah amplop atau kertas bekas.
Kemudian bagaimana jika buku atau
kertas secuil pun tidak ada? Jangan bingung-bingung. Pergunakan hp/ponsel.
Zaman serba gadget ini hampir
dipastikan setiap orang memilikinya, tak terkecuali anak es-de semua kini memakai gadget.
Semua kini serba gadget. Tukang sayur
santai mojok dengan ponselnya, sementara roda sayurannya dikerubuti oleh
ibu-ibu atau asisten rumah tangga. Petani yang sedang menggembalakan itiknya di
sawah, dia santai bercengkrama dengan seseorang lewat hape-nya di bawah pohon petai cina. Sementara itiknya sibuk mencari
makanan di tengah sawah, tak peduli kemana mereka berjalan.
Jadi, bagi yang hobi menulis, semua
media bisa dipergunakan semaksimal mungkin. Tangkap ide tersebut lalu catat
dalam telepon genggam lalu save di
dalam pesan tak terkirim atau catatan khusus.
Bahkan sekarang banyak ponsel yang
langsung terkoneksi dengan internet. Kita bisa langsung mengakses media sosial
yang kita miliki. Kita tangkap dan catat langsung berbagai ide yang hadir dalam
catatan pribadi. Suatu saat jika memungkinkan kita bisa mengembangkan berbagai
ide yang telah kita tangkap tersebut menjadi berbagai karya tulis.
Cara terakhir itulah yang sekarang
sering digunakan oleh saya. Mengapa demikian? Pernah suatu ketika saya sudah
mencatat di dalam catatan ponsel/telepon genggam. Tanpa disadari juga mungkin
sedang kalut, akhirnya catatan itu terhapus semua tanpa ampun. Hilanglah
ide-ide itu dalam sekejap. Kecewa? Tentu saja. Namun kita tentu tidak baik
berlarut-larut dalam rasa kecewa. Semua ada hikmah di balik setiap peristiwa.
Dan sejak itu, saya lebih berhati-hati lagi dalam mencatat setiap file/data
yang berhubungan dengan ide atau bahan menulis yang ditemukan atau hadir
secara-tiba-tiba.
Semoga bulan suci Ramadan ini bisa
menjadikan kita semakin terpacu lagi dalam menulis. Mari kita bersama mengukir
pena untuk mengasah ketajaman berfikir dan menjadikan tulisan sebagai media daqwah bil qolam. Tunggu apa lagi. Ayo, kita
menulis mulai sekarang! Sampai jumpa di lain kesempatan dengan tema yang
berbeda. Terima kasih.
Wallahua’lam bishawab.
Cianjur, 29 Juni 2015
Salam santun.
Catatan: Disampaikan pada Kegiatan Bedah Buku 'Sepenggal Kisah di Bulan Suci" dan Diskusi Menulis, Tema: Semangat Menulis di Bulan Suci". Tempat: Taman Bacaan Masjid Agung (TBMA) - Cianjur. Selasa, 30 Juni 2015.
Catatan: Disampaikan pada Kegiatan Bedah Buku 'Sepenggal Kisah di Bulan Suci" dan Diskusi Menulis, Tema: Semangat Menulis di Bulan Suci". Tempat: Taman Bacaan Masjid Agung (TBMA) - Cianjur. Selasa, 30 Juni 2015.
Rabu, 20 Mei 2015
[ARTIKEL] ACARA-AN
ACARA-AN
Oleh: Dedi Saeful
Anwar
Kalau kita
simak dan telah judul di atas tentu terasa rancu. Tetapi bila mendengar kata
makanan, minuman, mingguan dll, tentu bukan hal aneh atau rancu. Namun saat
mendengar atau mengucapkan kata “acaraan”
tentu akan mengernyitkan dahi bagi siapa pun yang mendengar maupun
mengucapkannya.
Pun begitu
dengan saya. Hari ini, Sabtu, 8 Mei 2015 saya mendengar istilah tersebut. Bila kita
membuka tata bahasa Indonesia pembentukan kata benda dari kata kerja dengan
menambahkan imbuhan –an, seperti makan menjadi makanan dan minum menjadi minuman tentu mudah dan memang begitu
secara teori tata bahasa. Kata kerja di beri imbuhan –an, menjadi bentukan kata yang baru yaitu menjadi kata benda.
Tetapi kalau
acara (kata benda” ditambah dengan imbuhan “-an” tentu tidak sesuai dengan
kaidah Bahasa Indonesia yang baik dan benar (baca: EYD). Lantas siapa yang mengucapkan kata “acara-an” tersebut. Dan kenapa ada yang
menggunakan istilah atau kata “acara-an”
itu?
Tentu kata itu
bukan sebuah kata yang baku, bahkan pengertiannya juga akan meleset bagi orang
yang tidak tahu. Bila mendengar kata “bentrokan”
atau “tawuran” “duel” atau “sparing” tentu
tidak asing kan? Nah, acara-an tersebut
adalah istilah lain untuk keempat kata tadi.
Ada
kemungkinan kata “acara-an” itu
muncul atau digunakan oleh seseorang demi menyamarkan kata-kata tadi. Seperti
yang terjadi di dua kecamatan di Kabupaten Cianjur pada dua hari sebelum UN
2015 berlangung. Tepatnya Sabtu, 2 Mei 2015. Bahkan hari itu bertepatan dengan
peringatan Hari Pendidikan Nasional yang sering kita sebut Hardiknas!
Pelaku yang
merayaan “acara-an itu adalah pelajar
dari 4 sekolah (3 MTs dan 1 SMP Negeri). Keempat sekolah itu berasal dari dua
kecamatan yang berada di radius 7-10 km dari pusat kota. Mereka melakukan “acara-an“di tengah sawah yang tidak sedang
ditanami (baru selesai di panen).
Yang lebih
membuat terhenyak, mereka tidak keroyokan, tetapi duel alias satu melawan satu.
Ada pula wasitnya dan seorang yang
mengabadikan dengan kamera dari telepon seluler serta ada aturan mainnya (juklak dan juknis yang tidak tertulis namun
dipahami dan diketahui para pelaku).
Tentu saja, “acara-an” yang dilakukan oleh siswa dari
empat sekolah yang masih mengenakan seragam sekolah tersebut, sempat membuat
geger warga, para guru dan orang tua mereka. Hingga kejadian ini tercium oleh kepolisian
(polsek setempat) untuk turun tangan dan menyelesaikannya.
Yang sangat
memprihatinkan lagi, kejadian itu terjadi 2 hari menjelang UN tingkat SMP/MTs
itu. Pelakunya terdiri dari beberapa siswa kelas 9/sembilan yang hendak
melaksanakan UN dan adik kelasnya yaitu kelas 8/delapan.
Hal ini tentu
semakin menambah panjang peristiwa dan tindakan kriminal di kalangan pelajar yang
tentu saja kian memprihatinkan pada wajah pendidikan di negeri ini. Kejadian
ini, tentu saja membuat kelabakan banyak pihak: guru, orang tua, masyarakat dan
aparat terkait.
Ada beberapa
pertanyaan yang mengusik benak saya. Siapa orang yang menjadi wasit dalan “acara-an” tersebut? Berdasarkan
pengakuan para pelaku, mereka semua tidak tahu (atau sengaja menyembunyikan
identitas si “wasit” tersebut. Bahkan
sampai tulisan ini diturunkan, pihak berwajib dalam hal ini polisi, masih
mencari “wasit” tersebut.
Saya jadi
teringat percakapan saya beberapa waktu lalu dengan seorang guru yang mengajar
di dua sekolah yang sering terlibat tawuran. Kebetulan dia mengajar di kedua
sekolah tersebut (satu sekolah negeri, satu lagi sekolah swasta). Dia pernah
mengatakan bahwa di kedua sekolah tersebut para siswa yang sering terlibat tawuran
itu sering mengadakan semacam “audisi”
bagi para juniornya untuk melanjutkan tradisi tawuran itu.
Apakah “acara-an” ini merupakan salah satu
bentuk “audisi” tersebut? Apakah “wasit” dalam “acara-an” itu merupakan oknum pencarian generasi penerusnya? Jika
benar demikian ini merupakan “PR” besar bagi semua pihak. Haruskah kita semua
menutup mata dan telinga dengan hal ini.
Sampai kapan
dunia pendidikan ini berkubang dalam kenistaan?
Cianjur, 9 Mei 2015
Langganan:
Postingan (Atom)