IMPUN
Dahulu,
saat kecil tentu setiap orang punya masa lalu yang sangat berkesan. Begitu pun aku,
salah satunya yaitu ngala impun
(menangkap ikan-ikan kecil). Kadang tempatnya di susukan (sungai kecil sekitar rumah) atau di balong (empang/kolam)
milik tetangga.
Impun
termasuk ikan liar, jadi sekalipun hidupnya di kolam milik orang lain karena tidak
ditanam pemilik kolam pun tidak merasa terganggu. Dan saat yang paling suka
untuk menangkapnya adalah dengan cara diuseup (dipancing) di sore hari sepulang
salat Asar berjamaah di surau.
Alat
yang digunakan teramat sederhana. Sebatang nyere
(sapu lidi) dengan selembar serat dari pelepah batang pohon pisang. Seratnya tipis
dan halus mirip benang kain. Ujung satunya di ikatkan ke ujung nyere, sementara ujung benang lainnya
lagi untuk mengikat cacing kecil yang dijadikan umpan.
Aku
duduk bersandar pada sebatang pohon pisang di pinggir kolam. Ditemani babadotan
(tanaman liar yang daunnya bisa digunakan untuk menyembuhkan luka gores) dan rerumputan
liar di sekitar tempat duduk.
Bila
hujan turun aku pun segera memotong daun pisang yang cukup lebar untuk sekadar
menutupi kepala dan sebagian badanku yang kurus. Setiap kail-ku masuk ke
permukaan air kolam, ikan-ikan kecil lincah itu mengerubuti dan menyantap umpan
lezat--cacing merah segar. Sebuah kaleng bekas cat telah kusiapkan dengan
sedikit air. Tidak memerlukan waktu lama, kaleng itu langsung penuh berisi
tangkapanku.
Saat
senja turun, kaleng berisi impun siap dibawa pulang. Aku bergegas mandi untuk
pergi mengaji dengan teman sepermainan. Selepas Isya kunimati impun yang sudah
digoreng garing berbumbu kunyit nan wangi oleh ibu.
Sekarang
sudah sangat jarang kunikmati impun. Selain sudah tak pernah lagi menangkapnya
mencari di pasar pun jarang ada yang menjualnya. Sekalipun jenis ikan banyak
namun impun selalu menjadi makanan lezat yang istimewa.
Catata: impun=kamras=cecere=gendot=gendol.
~Cianjur, 29-4-2014~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar