SAMEN
Dahulu di tatar Sunda setiap
akhir tahun ajaran sekolah sering diadakan samen. Arti samen sendiri tidak saya
temukan secara pasti, hanya yang jelas samen adalah pesta akhir tahun yang
diselenggarakan pada tiap kenaikan kelas atau kelulusan sekolah SD, SMP dan
SMA.
Sekarang ini mungkin masih ada
yang masih menggunakan istilah “samen” itu mungkin juga ada yang aneh atau
asing dengan istilah samen. Terlebih generasi “gaul” jaman kiwari, mereka lebih
ngena dengan istilah “prosesi wisuda”.
Saat ini tahun ajaran di
sekolah tidak lama lagi akan berakhir berganti dengan tahun ajaran baru.
Kesibukan di sekolah-sekolah mulai terlihat dan hangat. Warga sekolah bersiap
menghadapi ujian dan kegiatan akhir tahun. Bagi beberapa sekolah di daerah
sudah dipastikan samen tetap berlangsung, bahkan ada yang menjadikannya samen
itu menjadi sebuah pesta rakyat. Pesta yang menjadi hiburan paling di tunggu
setiap tahunnya dengan menyuguhkan kreasi seni peserta didik. Selain jadi ajang
hiburan rakyat, tentu hal itu bisa
menjadi tolok ukur sejauh mana sekolah yang dalam hal ini menjadi lembaga
pendidikan mampu mencetak generasi enerjik penuh talenta. Terlepas dari
kepolosan anak-anak dan kesederhanaan tampilannya. Orang tua di desa bangga
akan hal ini. Entah bagi orang tua di perkotaan.
Namun fenomena ini akan
(mungkin sudah) mengalami sedikit pergeseran. Jika dahulu setiap akhir tahun
hampir dipastikan selalu ada samen, dan itu selalu pasti dilaksanakan di pelataran
sekolah. Tapi beberapa tahun belakangan kegiatan akhir tahun bergeser tradisinya.
Entah mulai tahun berapa atau sekolah mana dan di kota apa yang memulainya.
Kegiatan
akhir tahun ajaran di sekolah-sekolah kini tidak lagi diselenggarakan di
pelataran sekolah, namun sudah merambah ke gedung-gedung penyewaan yang biasa
digunakan untuk perhelatan hajat/pesta pernikahan. Bahkan sudah ada pula yang
mengadakan pesta akhir tahun ajaran sekolah di sebuah hotel berbintang. Wow!
Kalau sudah begini sopo sing repot? Tiada lain dan bukan,
pasti orang tua. Biaya samen tentunya melambung tinggi demi menutupi sewa
gedung yang tidak murah tentunya. Belum sewa pakaian dan bedak untuk ke salon.
Bagi kalangan the have, borjuis, bersaku tebal atau apalah istilah lainnya, biaya samen segitu bisa dikatakan kecil.
Tapi harap dicatat, samen itu milik
semua. Samen bukan hanya milik kalangan berduit. Masih ada golongan marjinal
yang jumlahnya tak sedikit dan bisa dipastikan selalu ada di setiap sekolah
dengan profesi hanya sebagai kuli tani, pedagang asongan, bahkan masih ada yang
nasibnya hari ini bisa makan besok belum tentu. Jangankan untuk bayar biaya
samen dengan kisaran biaya ratusan ribu, utang biaya baju batik, biaya pakaian
muslim dan biaya buku LKS--yang katanya tidak boleh dijual di sekolah, masih
belum lunas. Miris!
Selain itu, pesta akhir tahun
ajaran di sekolah kini tidak lagi hanya sekadar samen. Beberapa sekolah kini
ada yang melaksanakannya dengan sebuah wisata. Salah? Tidak juga. Sah-sah saja
karena itu bisa jadi merupakan program sekolah yang bersangkutan. Dan yang
penting lagi, hal itu sudah mendapat persetujuan dari para orang tua dalam hal
ini komite sekolah.
Tapi mbok ya apa ndak bisa, kalo samen diselenggarakan di sekolah aja?
Guru-gurunya ngajarin kreasi seni. Kreasi seni asli anak sekolahan. Untuk anak
Sekolah Dasar ‘gak usah lama-lama durasinya. Kalau tarian cukup 5-7 menit. Bila
biaya sewa pakaian ke salon mahal, bisa menggunakan bahan-bahan seadanya. Daur
ulang atau hasil alam yang ada di sekitarnya sebagai asesoris tambahan akan
menjadi daya tarik tersendiri. Jenis seni pun bisa beragam. Ada membaca puisi,
pidato/ biantara (sunda)/ da’i cilik, drama, vokal grup, tarian pop dan daerah
yang jelas-jelas ada dalam KBM ( kegiatan belajar mengajar) selama setahun
pembelajaran. Tinggal mematangkan saja di akhir tahun.
Untuk pembukaan bisa dengan
upacara adat sederhana, syukur-syukur kalau punya alat musik tradisional,
tambah mantap pastinya. Kemudian bisa ditampilkan pula pembacaan ayat suci Al
Quran di awal-awal acara. Yang terpenting semua dari siswa untuk siswa dan oleh
siswa. Jangan sampai acara samen sekolah, tapi
upacara adat di datangkan dengan menyewa dari sanggar seni. Qori
(pembaca ayat suci Al Quran) oleh orang dewasa (profesional) yang di sewa.
Kreasi seni siswa dilatih orang lain bukan guru-gurunya dengan alasan cukup
mengatakan tidak bisa. Padahal kalau dengan kesungguhan yang besar semua bisa
diatasi.
Lalu, di mana hasil KBM itu
selama setahun? Nihil dan nol besar! Yang penting untung gede. Sing penting joget bae.
#28414
Tidak ada komentar:
Posting Komentar