SAYA
DAN PERPUSTAKAAN
Oleh:
Dedi Saeful Anwar
Saya
mengenal perpustakaan sejak duduk di bangku di sekolah dasar. Walau sekolah saya saat itu tidak memiliki ruangan khusus.
Buku-buku koleksinya pun tidak terlalu banyak, hanya disimpan dalam sebuah
lemari di ruang kelas 6. Namun saya sempat menikmati beberapa kali buku bacaan
koleksinya saat itu.
Menginjak
SMP, sedikit lebih beruntung. Saat duduk di Sekolah Menengah Pertama, saya
sempat menikmati buku-buku yang lebih lengkap. Buku-buku itu ditempatkan di
sebuah gedung perpustakaan yang memiliki ruangan cukup luas. Tempatnya bersih
dan memiliki koleksi yang cukup lengkap dan ditempatkan rak-rak buku dengan tertata rapi.
Kursi dan meja tempat membaca yang terbuat dari kayu pun cukup representatif.
Namun
yang masih saya ingat adalah penjaganya. Perangainnya
tidak ramah bahkan sedikit galak di mata para siswa saat itu. Para siswa sudah
mau masuk ruangan dan memegang buku pun sudah beruntung. Pria dengan kacamata tebal dan berambut keriting sungguh
menghadirkan kesan tidah ramah di setiap pengujung perpustakaan sekolah itu.
Ditambah dengan logat bahasanya yang teugeug (Sunda) alias tidak ramah
menambah enggan saja para siswa untuk bertandang ke gudang ilmu tersebut.
Padahal bangunan itu berada di pojok selatan komplek sekolah yang cukup luas
sehingga nyaman untuk membaca karena cukup hening suasananya. Di sana juga sangat
pas untuk menikmati sajian koleksi buku-bukunya yang tertata rapi.
Namun
entahlah, apa karena penjaganya yang jutek/tidak ramah, atau memang minat membaca para siswa yang
memang tidak memiliki budaya membaca yang baik, hingga menjadikan para siswa
sangat jarang bertandang ke sana. Atau, mungkin juga kedua faktor itu yang
menjadi pemicu semakin sepinya ruangan tersebut. Buku-buku koleksinya hanya
pajangan indah untuk dilihat bukan dibaca. Hanya sesekali saja saya dan
teman-teman pergi ke perpustakaan, itu pun jika mendapat tugas dari guru.
Menginjak
bangku sekolah kejuruan, interaksi dengan perpustakaan lebih mengenaskan lagi.
Perpustakaan di sekolah itu koleksinya tidak selengkap di perpustakaan saat
saya sekolah di bangku SMP. Buku-buku koleksi perpuskataan itu lebih banyak disimpan di lemari kaca. Walaupun ada yang dipajang di lemari terbuka, namun
susunannya tidak tertata rapi, penataan dan pembagian koleksinya tidak jelas.
Hal itu diperparah dengan aturan-aturan yang menambah tidak nyaman bagi setiap siswa
yang berkujung ke sana. Kami, para siswa harus membuka alas kaki karena lantai
ruangannya dilapisi karpet hijau. Anehnya pihak sekolah saat itu tidak menyediakan
tempat khusus untuk menyimpan alas kaki. Sepatu berserakan tidak rapi di mulut
pintu masuk.
Dan
seingat saya saat masih sekolah di sana, saya belum pernah sekali pun membaca
buku sastra atau buku umum selain buku yang berhubungan dengan pelajaran. Karena
saya tidak menemukan buku lainnya selain buku yang berhubungan dengan
pelajaran. Apalagi membaca buku berlama-lama. Tempat duduk khusus bagi
pengunjung di sana tidak disediakan terlalu banyak sehingga sangat jarang siswa
pada saat itu menikmati sumber bacaan. Sungguh menyedihkan. Tapi yang masih
saya ingat adalah ketika saya meminjam buku bahasa Inggris Ekonomi dan buku Akuntansi
saat masih duduk di kelas 1 SMEA (sekarang kelas XI SMK).
Perkenalan
saya dengan perpustakaan semakin akrab saat saya mengikuti Praktek Kerja
Lapangan (PKL) selama 1 bulan di Pemda Provinsi Jawa Barat yang bertempat di
Gedung Sate, Bandung. Saat itu saya baru menginjak di kelas III SMEA. Saat jam
istirahat saya sering diajak berkeliling komplek perkantoran oleh salah satu karyawan
di ruangan tempat saya dan keempat teman lainnya melakukan praktek pada Bagian
Perbendaharaan. Salah satu ruangan yang dikujungi adalah ruang perpustakaan.
Perpustakaan
itu berada di bagian belakan Gedung Sate. Di sanalah saya merasakan suasana membaca
yang benar-benar asyik. Selain tempatnya nyaman dan luas, koleksi bacannya pun
sangat beragam. Saya seperti ikan yang mendapatkan air segar dan bersih
berenang menyelami lekukan kolam. Meneguk sepuasnya isi air di kolam itu.
Sungguh fantastik!
Selepas
PKL (Prakerin) saya tanpa diantar taman, sering sendirian pergi ke sana dengan
menaiki kendaraan umum yang cukup jauh dari kota Cimahi. Saya musti 2 kali
turun naik kendaran angkot, namun pergi menuju tempat yang dirindukan walaupun
jauh, sungguh menyenangkan. Apalagi saat tiba di sana, saya tidak terganggu siapa pun. Saya bebas mengaduk-aduk
jejeran buku dan berlembar surat kabar yang disediakan di sana.
Setelah
saya lulus dari sekolah kejuruan itu, barulah saya mengetahui keberadaan Perpustakaan
Daerah Jawa Barat. Entah dari mana awalnya, selain perpustakaan di Gedung Sate
itu, saya juga kemudian sering menyambangi Perpustakan Daerah Jabar yang saat
berlokasi di Jalan Cikapundung Timur, tepat di belakang Gedung Konferensi Asia
Afrika. Hingga saya berkesempatan menjadi anggota perpustakaan itu. Selain kegiatan
membaca koleksi bukunya, di sana juga saya sering meminjan buku-bukunya sebagai
fasilitas bagi anggota tetap.
Namun
ketika perpustakaan itu pindah lokasi ke Jalan Soekarno-Hatta, sejak itulah
saya tak pernah lagi mengunjungi tempat yang dijadikan sebagai tempat paling
nyaman bagi saya. Apalagi sejak itu saya mulai memasuki dunia kerja otomatis
waktu luang untuk pergi ke perpustakaan yang cukup jauh semakin jarang.
Beberapa
tahun lamanya saya tidak mengunjungi lagi tempat yang bernama perpustakaan. Di
kota Administratif Cimahi (sekarang Kota Cimahi) dahulu tidak ada perpustakaan
umum. Tapi entahlah, namun seingat saya memang tidak ada perputakan saat itu.
Hingga
babak kehidupan yang baru saya alami. Saya menginjakkan kaki di kota Cianjur
pada pertengahan tahun 1997 mengikuti tugas kerja yang berpindah tempat. Di
kota yang terkenal dengan beras Pandanwangi dan Tauco, ketika ada waktu luang saya
tidak mencari tempat hiburan seperti bioskop atau lainnya, namun saya
bertanya-tanya lokasi perpustakaan daerahnya. Hingga akhirnya saya mendapat
informasi tentang keberadaan gedung Arpusda (Arsip dan Perpustakaan Daerah
Cianjur) di sekitar Jalan Siliwangi.
Lagi-lagi
rasa kecewa menghampiri. Bagaimana tidak? Layanan perpustakaan hanya dibuka
hingga jam 14.00 atau jam 2 siang. Sementara saya pulang bekerja hingga jam
16.00 (4 sore). Jangankan untuk bisa membaca dengan nyantai, sekadar untuk
meminjam buku pun hampir tidak pernah
saya nikmati. Padahal saat itu saya sudah mengantongi kartu keanggotaan.
Mubadzirlah kartu keanggotaan itu hingga habis masa berlakunya.
Rasa
kecewa kini berubah menjadi miris. Satu ketika saya mendapat sebuah sms (pesan singkat) dari seorang sahabat yang mendapat tugas ke
luar negeri. Dia bekerja di LIPI Jakarta dan berkesempatan mengunjungi Negeri
Paman Sam. Selama beberapa minggu dia bertugas di sana.
Ketika
itu saya tanya dia sedang melakukan apa. Dia pun menjawab sedang di sebuah
perpustakaan. Kemudian saya tanya lagi jam berapa perpustakaan di sana tutup.
Saya sungguh terperanjat saat menerima jawabannya. Sahabat saya menjawab bahwa
di sana perpustakaan tutup jam 2 pagi! Kemudian saya tercenung pantas saja
negara ini sulit maju. Dari satu fator saja sudah terlihat jauh perbedannya. Di
sini perpustakaan tutup jam 2 siang, di negara maju perpustakaan tutup jam 2
pagi. Wallahua’lam bishawab.
Cianjur, 24 April 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar