KENANGAN PADA PAK MARDIWIYOTO
(Guru PMP/PKn selama di SMEA Negeri Cimahi)
Oleh: Dedi Saeful Anwar
Bapak
Mardiwiyoto adalah salah satu guru non muslim saat aku menimba ilmu di SMEAN
Cimahi/SMEAN 3 BANDUNG (kini menjadi SMKN 11 BANDUNG). Beliau mengajarkan Mata
Pelajaran Pendidikan Moral Pancasila saat itu yang kini berganti nama menjadi
Pendidikan Kewarganegaraan (PKn).
Perawakannya
tinggi gagah. Rambutnya selalu tersisir rapi walau sudah berwarna hitam
bercampur abu-abu dan putih saat itu. Bicaranya tegas, lugas dan dengan logat Jawa
yang kental. Selalu mengurai senyum hangat pada siapapun termasuk juga pada
murid-muridnya.
Ada beberapa hal
unik pada diri beliau dan hal itu menjadi daya tarik tersendiri. Beliau selalu
membawa tiga buah sapu tangan di sakunya. Ke-satu untuk mengusap mulut dan
wajah seandainya sudah makan atau minum. Yang ke-dua untuk mengusap hidung
seandainya bersin, dan yang te-tiga untuk mengusap sepatu jika berdebu. Karena
itulah sepatunya selalu sehat mengilat.
Saat mengajar di
kelas beliau paling suka jika ada murid yang bertanya. Beliau tak pernah
membuka buka materi atau menuliskan materi di papan tulis. Tapi beliau
menerangkan apa yang ada dalam benaknya mengalir deras. Bahkan beliau
menyampaikan materi berdasarkan apa yan ditanyakan oleh murid-murinya. Gaya
mengajar beliau meledak-ledak membuat suasana selalu segar.
Bahkan setiap
menutup pelajaran, beliau selalu berpesan agar para murid menyiapkan beberapa
pertanyaan untuk pertemuan selanjutnya. Beliau akan paling suka seandainya
pertanyaan itu berdasarkan berita terhangat dari televisi atau surat kabar.
Beliau telah
mengenalkan arti kedisiplinan dan kebersihan yang sesungguhnya. Jangan harap
beliau mau mengajar di depan kelas jika ruangan itu tidak bersih. Pernah suatu
ketika, saatku masih duduk di kelas 1 (sekarang istilahnya kelas XI). Belia.
Jadwal masuk saat itu kebagian jam1 siang. Beliau tidak mau branjak dari tempat
duduknya. Bicara pun enggan. Seisi kelas celiangak-celinguk. Apa gerangan yang membuat
guku perfect itu tutup mulut.
Akhirnya seisi
kelas tahun jawabannya. Ada segumpal kertas yang digulung di jendela sebelah
kanan paling belakang kelas kami. Setelah kertas itu dibuang ke tong sampah.
Barulah beliau mau memberikan pelajaran hari itu. Sejak saat itu para siswa
menjadi lebih berhati-hati dalam menjaga kebersihan terlebih pada saat jam
pejaran PMP. Karena secuil kertas urusan bisa berabe.
Beliau yang
membuka mata-ku pada kehidupan bernegara dan mengenalkan salam
"Merdeka". Salam nasional yang selalu dia ucapkan saat menjadi
Pembina Upacara Pengibaran Bendera pada hari Senin. Namun jika beliau menjadi
pembina upacara, bersiaplah betis para murid pegal-pegal saking lamanya
memberikan amanat.
Pak Mardiwiyoto
telah mengajarkan pada murid-muridnya, betapa pentingya mendengar, membaca
serta mencari tentang berita dan informasi terbaru. Beliau pula satu-satunya
guru saat itu yang mengingatkan para siswanya untuk mendengarkan pidato kenegaraan
Presiden RI pada setiap tanggal 17 Agustus. Hingga isi pidatonya harus
digunting dari surat kabar kemudian dikumpulkan menjadi tugas sekolah.
Kini Pak Mardi
telah tiada. Semua yang telah beliau berikan pada murid-muridnya, kini masih
membekas dan tak akan terhapus dalam benak. Semoga semua menjadi amal baik baik
bagi beliau. Selamat jalan guru-ku. Rambutmu, bajumu, sepatumu yang selalu rapi
masih menggelayut di kelopak mataku. Kelopak mata yang kini mengalirkan
butir-butir bening semenjak berita kepergianmu. Selamat jalan Pak Mardiwiyoto
.
....t’rima kasihku, guru-ku.....
Cianjur, 12 Desember
2012 pukul 21:05
Tidak ada komentar:
Posting Komentar