BEDAH BUKU SENYUM NOLINA

BEDAH BUKU SENYUM NOLINA
KUMPULAN CERPEN "SENYUM NOLINA" karya Dedi Saeful Anwar ini sudah bisa dipesan. Harga Rp38.000 (belum ongkir). [Info pemesanan dan penerbitan di FAM Publishing hubungi Call Centre 0812 5982 1511, atau via email forumaktifmenulis@yahoo.com, dan kunjungi web kami di www.famindonesia.com]

Sabtu, 11 Januari 2014

GARIHAL



GARIHAL

Setiap hari telingaku terasa panas. Bukan terbakar sinar matahari yang menyengat akibat pemanasan global. Bukan pula ada orang yang sedang membicarakan/mengumpat. Tapi panas karena mendengar percakapan anak kecil dan ABG yang sangat fasih berbahasa daerah (Sunda) kasar atau lebih tepatnya garihal*).
Kata-kata kasar seperti, aing (aku), maneh, sia (kamu), dan sebutan nama-nama binatang yang menurut ummat Islam haram, malah menjadi ucapan paling renyah mereka ucapkan sehari-hari dalam berinteraksi dengan sesama temannya. Sekali waktu, aku ke sebuah warung hendak membeli sabun mandi. Kebetulan rumahku dekat dengan rel kereka api Cianjur-Sukabumi. Di sana berjejer puluhan anak menikmati senja dengan berbagai aktivitas. Segerombolan ABG (anak-anak seusia SD & SMP) sangat nyaring beradu agumen dengan kata-kata kasar. Bahkan lebih parahnya lagi di antara mereka ada beberapa yang keceplosan diucapkan saat berbicara kepada orang tuanya. Juga demikian terjadi pada murid-muridku saat mereka bercengkrama di waktu istirahat.
Bila mengambil istilah Bahasa Sunda pekataan kasar itu disebutnya “garihal”. Terasa tidak nyaman didengarnya. Lantas bagaimana kita menyikapi hal tersebut. Sejauh mana upaya para orang tua dan guru di sekolah berupaya untuk meminimalisir kebiasan kurang baik tersebut?
Menyikapi hal ini, merupakan sebuah keprihatinan yang perlu mendapat perhatian dari semua pihak. Baik orang tua di rumah, guru, maupun anak yang bersangkutan. Mengapa anak sendiri perlu terlibat dalam memperbaiki keadaan ini. Tentu saja. Orang tua dan buru tidak akan berhasil mengarahkan anak dan anak didiknya seandainya anak yang bersangkutan (dalam hal ini bisa dikatakan korban pergaulan) bila tidak ada keinginan untuk berubah.
Tentunya fenomena ini bukanlah suatu yang mudah untuk diperbaiki. Kenapa demikian? Bila ditelaah lagi, coba kita perhatikan. Bagaimana anak/anak didik tidak berlaku kasar dalam ucapan mereka, sementara arus informasi begitu cepat dan mudah yang menjadi konsumsi anak-anak tetapi kontennya mengandung kekerasan yang berbahasa kasar. Contoh, penulis beberapa kali bila masuk ke warnet hendak mengirimkan naskah ke penerbit, sementara itu ada beberapa anak SD dan SMP dengan besemangat melihat dan mengunduh ke ponselnya video tawuran antar pelajar. Selain itu ada beberapa judul acara dalam televisi (khususnya televisi daerah yang memberi judul acaranya menggunakan kata-kata kasar tadi).
Yang menjadi pertanyaan, mengapa pihak yang berwenang dalam hal ini KPI/KPID meloloskan acara tersebut. Dalam hal ini bukan konten acaranya tapi nama atau judul acaranya yang menggunakan bahasa daerah (Sunda) kasar? Kalaupun itu untuk lebih akrab dipemirsa, kenapa tidak mencari kata-kata umum yang sedikit lebih halus. Bukankah dalam bahasa daerah (khususnya Bahasa Sunda) dikenal dengan undak-usuk basa?
Jadi, sepertinya hal ini dibiarkan tanpa ada solusi penyelesaian yang penulis khawatir fenomena GARIHAL ini akan semakin parah, dan mereka (ABG) akan menularkan kepada anak-cucunya kelak bila mereka dewasa dan memiliki generasi baru.
Akankah kita menutup mata dan telinga?
Cianjur, 12 Januari 2014

*) garihal = Nu sacara harpiah hartina téh matak nyentug kana haté (omongan), garihal teu matak resep ngadéngékeunana (membuat tidak enak hati dan tiak pantas didengarnya).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar