GARIHAL
Setiap
hari telingaku terasa panas. Bukan terbakar sinar matahari yang menyengat
akibat pemanasan global. Bukan pula ada orang yang sedang
membicarakan/mengumpat. Tapi panas karena mendengar percakapan anak kecil dan
ABG yang sangat fasih berbahasa daerah (Sunda) kasar atau lebih tepatnya garihal*).
Kata-kata
kasar seperti, aing (aku), maneh, sia (kamu), dan sebutan nama-nama binatang yang
menurut ummat Islam haram, malah menjadi ucapan paling renyah mereka ucapkan sehari-hari
dalam berinteraksi dengan sesama temannya. Sekali waktu, aku ke sebuah warung hendak
membeli sabun mandi. Kebetulan rumahku dekat dengan rel kereka api Cianjur-Sukabumi.
Di sana berjejer puluhan anak menikmati senja dengan berbagai aktivitas. Segerombolan
ABG (anak-anak seusia SD & SMP) sangat nyaring beradu agumen dengan
kata-kata kasar. Bahkan lebih parahnya lagi di antara mereka ada beberapa yang
keceplosan diucapkan saat berbicara kepada orang tuanya. Juga demikian terjadi
pada murid-muridku saat mereka bercengkrama di waktu istirahat.
Bila
mengambil istilah Bahasa Sunda pekataan kasar itu disebutnya “garihal”. Terasa
tidak nyaman didengarnya. Lantas bagaimana kita menyikapi hal tersebut. Sejauh
mana upaya para orang tua dan guru di sekolah berupaya untuk meminimalisir
kebiasan kurang baik tersebut?
Menyikapi
hal ini, merupakan sebuah keprihatinan yang perlu mendapat perhatian dari semua
pihak. Baik orang tua di rumah, guru, maupun anak yang bersangkutan. Mengapa anak
sendiri perlu terlibat dalam memperbaiki keadaan ini. Tentu saja. Orang tua dan
buru tidak akan berhasil mengarahkan anak dan anak didiknya seandainya anak
yang bersangkutan (dalam hal ini bisa dikatakan korban pergaulan) bila tidak
ada keinginan untuk berubah.
Tentunya
fenomena ini bukanlah suatu yang mudah untuk diperbaiki. Kenapa demikian? Bila ditelaah
lagi, coba kita perhatikan. Bagaimana anak/anak didik tidak berlaku kasar dalam
ucapan mereka, sementara arus informasi begitu cepat dan mudah yang menjadi
konsumsi anak-anak tetapi kontennya mengandung kekerasan yang berbahasa kasar. Contoh,
penulis beberapa kali bila masuk ke warnet hendak mengirimkan naskah ke
penerbit, sementara itu ada beberapa anak SD dan SMP dengan besemangat melihat
dan mengunduh ke ponselnya video tawuran antar pelajar. Selain itu ada beberapa
judul acara dalam televisi (khususnya televisi daerah yang memberi judul
acaranya menggunakan kata-kata kasar tadi).
Yang
menjadi pertanyaan, mengapa pihak yang berwenang dalam hal ini KPI/KPID meloloskan
acara tersebut. Dalam hal ini bukan konten acaranya tapi nama atau judul
acaranya yang menggunakan bahasa daerah (Sunda) kasar? Kalaupun itu untuk lebih
akrab dipemirsa, kenapa tidak mencari kata-kata umum yang sedikit lebih halus. Bukankah
dalam bahasa daerah (khususnya Bahasa Sunda) dikenal dengan undak-usuk basa?
Jadi,
sepertinya hal ini dibiarkan tanpa ada solusi penyelesaian yang penulis
khawatir fenomena GARIHAL ini akan semakin parah, dan mereka (ABG) akan
menularkan kepada anak-cucunya kelak bila mereka dewasa dan memiliki generasi
baru.
Akankah
kita menutup mata dan telinga?
Cianjur,
12 Januari 2014
*) garihal = Nu sacara harpiah hartina téh matak nyentug kana haté
(omongan), garihal teu matak resep ngadéngékeunana (membuat tidak enak hati
dan tiak pantas didengarnya).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar