PANGLING
Oleh:
Dedi Saeful Anwar
Berpuluh tahun ke
belakang aku berada di daerah ini semasa sekolah menengah. Jalan yang kulalui
hari ini, dahulu adalah tanah merah dan berbatu yang selalu becek bila hujan menancapkan
kaki-kakinya. Di kiri-kanan jalan ini tumbuh bermacam tanaman sayur maupun buah
yang di tanam warga. Rumput dan semak belukar yang menghadirkan aroma khas
perkampungan terbawa desau. Rumah-rumah panggung berdinding bilik yang terbuat
dari anyaman bambu. Di halaman rumah warga umumnya tumbuh pohon mangga, jambu
biji atau jambu air. Sebagian lagi ada yang melengkapinya dengan tanaman kumis
kucing maupun tanaman yang bisa dijadikan obat-obatan tradisional, seperti;
kuning, lengkuas, jahe maupun sirih, dll.
Bebek dan mentok juga
ayam hidup bebas, terkadang anjing kampung juga masih suka berbaur dengan warga.
Untuk mencapai ke daerah itu, bila menggunakan kendaraan umum, yang ada hanya
angdes (angkutan desa) semacam angkot bila di perkotaan. Tidak ada delman atau becak.
Bila naik kendaraan pun, dahulu selalu ngetem beberapa menit, menunggu
penumpangnya penuh atau paling tidak, jumlahnya sesuai yang diharapkan supir. Namun
umumnya warga sudah biasa dengan berjalan kaki saja. Mereka terbiasa mandi
keringat dan kelelahan, karena untuk masuk ke daerah ini cukup memakan waktu dari
perkotaan.
Kini, semua telah berubah.
Semua membuat pangling. Jalan beraspal namun penuh lubang yang membahayakan
kendaraan dan membuat badan pengendara maupun penumpang lainnya pegal-pegal.
Terkadang kepala benjol akibat berbenturan dengan dinding kendaraan. Aroma dedauanan kini tergantikan
dengan bau asap dari ratusan kendaraan yang berlainan jenis, bentuk, dan merek.
Mulai dari motor matic, motor bebek bahkan motor yang entah apa disebutnya
karena knalpotnya menimbulkan suara berisik yang memekakkan telinga pengendara
lainnya. Mobil pun berseliweran padat hingga menimbulkan macet, mulai dari
keluaran lama hingga yang terbaru beharga miliaran rupiah dengan warna cat mengkilat.
Mulai dari yang mengeluarkan asap hitam pekat membuat muka gosong hingga mobil
yang bermesin ramah lingkungan.
Tembok-tembok pembatas
antara perkampungan dan perumahan elit yang disebut real estat membatasi jarak
pandangku yang dulu bebas luas memandang pesawahan dan bukit-bukit hingga
gunung menjulang. Padahal negeri ini tidak
menganut perbedaan golongan, tapi tembok pembatas ini seolah mengatakan hal itu
nyata dan ada.
Anjing-anjing kampung
entah kemana tergeser oleh anjing-anjing yang suka berdandan di salon. Itik dan
entok juga tak tau perginya ke mana, karena sawah sudah penuh dengan pohon
beton. Ayam? Kini mereka ada di peternakan dengan nama ayam broiler bukan ayam
kampung.
Kini semua telah
berubah. Pangling.
Batas kota, 4 Jan’ 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar