IMUNISASI vs IMANISASI
(Catatan Hari
Ke-Tiga Diklat Kecapi)
Oleh: Dedi
Saeful Anwar
Allah SWT teh Maha
Endah tur micinta kaendahan (Allah SWT itu Maha Indah, dan mencintai keindahan)~
sebuah kutipan.
Sambil
menunggu kehadiran penyaji materi, para
peserta diklat di hari ke-tiga terlebih dahulu mendapat sebuah tembang yang
pertama kali diciptakan oleh Dalem Pancaniti (RAA Kusumaningrat VIII). Tembang ini bernama “Degung Layar Putri”. Berikut lirik Degung Layar Putri yang
disampaikan oleh Kang Dedi Mulyana, S.Pd.I salah satu yang memrakarsai
pelatihan ini.
Gera
balik
Gera
balik
Gera
mulang
Gera
mulang
Mulang
kana
Ka-Sundaan.
Terjemahan
bebasnya kurang lebih seperti berikut ini:
Segera
kembali
Segera
kembali
Segera
pulang
Segera
pulang
Pulang
pada
Budaya
Sunda
Lirik
tersebut mengandung arti sebuah ajakan bahwa orang-orang Sunda harus segera
kembali kepada akar budayanya, jangan sampai meninggalkan seni budayanya
sendiri.
Setelah
berlatih tembang Degung Layar Putri,
selanjutnya para peserta menerima materi ke-dua berupa asal muasal kecapi dari
salah pelaku seni Cianjur yaitu Abah Dadan Sukandar. Beliau hadir dengan kemeja
batik krem dengan mengenakan iket.
Seorang
lelaki sederhana namun tampak sarat dengan pengalaman. Dengan asesoris sebuah kudjang*) kecil yang dipasang pada iket barangbang semplak di kepalanya
begitu tenang duduk di hadapan sekitar 41 peserta diklat. Menurut pengakuannya dia
dilahirkan pada tahun 1943 namun tidak dijelaskan mengenai tanggal dan bulannya.
Beliau
merupakan salah satu seniman Cianjur yang mahir dalam memainkan waditra*). Di antaranya
suling dan kecapi. Dalam pemaparannya beliau mengatakan bahwa sebelum
diimunisasi, setiap anak harus diimanisasi terlebih dahulu. Saat mendengar
slogan singkat itu, saya yang sedang duduk tertunduk langsung mengangkat
kepala. Apa gerangan maksud kalimat itu?
Beliau
menyampaikan sikapnya pada perkembangan dunia pendidikan, khususnya dalam hal
seni budaya daerah. Sekarang ini banyak anak-anak Taman Kanak-kanak atau
Sekolah-sekolah Dasar yang sudah jarang bahkan hampir tidak pernah mendengarkan
atau menyanyikan lagi lagu-lagu daerah.
“Cobalah
Bapak dan Ibu, berikan sebuah lagu daerah di antara lima lagu berbahasa Nasional.
Jangan sampai mereka tidak mengenal sama sekali lagu daerahnya sendiri,”
demikian pintanya kepada para peserta diklat.
“Bukankah
saat seorang bayi kita ketika lahir ke dunia kemudian kita lantunkan suara azan
di telinga kanan, lalu kumandang iqomah di telinga kirinya. Hal ini sebagai
bentuk dari upaya imanisasi sejak
dini. Sebelum anak-anak kita mendengar hal lain, kita awali dengan kalimat
Illahi. Barulah saat menginjak beberapa bulan, diberikan vaksin imunisasi
sebagai bentuk penjagaan terhadap tubuhnya,” paparnya lagi panjang lebar.
“Begitu
pun dengan hal seni. Sebelum anak-anak kita mendengarkan seni (musik) milik
orang lain, kita upayakan agar anak-anak kita disuguhi dahulu dengan seni
budaya daerahnya sendiri. Bagaimana mereka akan mencintai dan bangga pada akar
budaya sendiri, jika pada usia dini saja sudah kita cekoki mereka dengan budaya
luar (baca:asing) yang belum tentu
mengandung nilai-nilai luhur,” lanjutnya berapi-api.
Kemudian
dia menceritakan sebuah pengalaman uniknya. Suatu saat beliau mendapat tamu.
Seorang pemuda dari negeri yang terkenal dengan bunga tulip, Belanda. Orang itu
jauh-jauh datang ke Cianjur hanya untuk menyakinkan bahwa suling yang terbuat
dari bambu dan mampu menghasilkan alunan indah itu benar-benar ada. Karena sebelumnya
dia hanya bisa memainkan flute. Setelah
orang itu bertemu dengannya, barulah dia yakin dan semakin mengagumi terhadap
alat musik tradisonal kita. Tapi kita sendiri sebagai pewaris budaya leluhurnya
banyak yang tak acuh bahkan tak mampu memainkannya.
Berbicara
tentang kecapi, beliau memaparkan bahwa alat musik yang satu ini mengalami
perkembangan dalam segi perangkatnya. Dahulu ketika masa Kerajaan Padjadjaran,
dawai kecapi ini berjumlah 6 kawat. Kemudian menjadi 9 kawat pada masa para
wali. Hal ini sebagai tenda adanya 9 wali yang menyebarkan agama Islam di pulau
Jawa. Barulah kemudian berkembang lagi hingga kini menjadi 18 kawat (Kacapi
Indung) dan 20 kawat (kacapi sitter).
Tidak
banyak yang beliau sampaikan, namun dari sedikit pemaparannya mampu menerbitkan
rasa bangga dan optimisme para peserta diklat pada seni tradisional khususnya
kecapi yang semakin ditinggalkan warganya sendiri.
Setelah
menyimak pemaparan sejarah kecapi di Cianjur, materi kemudian dilanjukan dengan
berlatih petikan dawai “Pangkat” yang
disampaikan oleh Kang Iwa dan Kang Iwan. Pangkat merupakan petikan kecapi pada
dawai 8 dan 13 yang dipetik bersamaan sebagai tanda awal musik untuk mengiringi
sebuah tembang atau kawih.
Ketika
peserta diklat serius menjalankan sesi latihan kunci 5 dan 7, tiba-tiba Kepala
Pusat Pembinaan dan Pendidikan (Pusbindik) Kec. Cianjur hadir di ruangan.
Beliau menyampaikan sedikit wejangan dan permohonan maafnya karena pada saat
pembukaan (Rabu, 14 Mei 2014) beliau tidak bisa hadir.
Dalam
pesannya beliau mengatakan bahwa sekarang ini loba urang Sunda tapi teu Nyunda yang memiliki arti bahwa saat ini
banyak orang Sunda, tetapi sudah lupa dan melupakan seni budayanya
sendiri. Banyak orang Sunda yang merasa malu berbahasa (daerah) Sunda ketika mereka
berbicara.
Banyak
pula yang sudah malu berpakain adat Sunda, salah satunya mengenakan kain iket. Untuk itu beliau setuju dengan
inisiatif panitia dengan membagikan gratis kepada semua peserta diklat dengan
memberikan sebuah iket. Hal ini menjadi
ciri bahwa iket adalah salah satu
warisan budaya berpakaian yang patut dilestarikan selain memainkan kecapi.
Menurut
beliau hal ini sudah sejalan dengan perintah Gubernur Jawa Barat saat ini -Bpk.
Ahmad Heryawan, Lc- bahwa sekarang ini sudah dicanangkan setiap anak sekolah
dan pegawai sipil di seluruh instansi pemerintahan harus mengenakan pakaian
adat Sunda di setiap hari Rabu.
Dalam
mengakhiri pesannya beliau berharap semoga dari pelatihan ini akan lebih banyak
lagi urang Sunda yang mampu memainkan dengan mahir alat musik tradisional yang
menjadi salah satu asset budaya nasional, yaitu kecapi.
Cianjur, 16 Mei 2014
Literasi:
Iket barangbang semplak= Ikat kepala
khas Jawa Barat
Kudjang= senjata
tradisional Rakyat Jawa Barat
Waditra = alat musik/istrumen
musik tradisional di Tatar Sunda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar