BEDAH BUKU SENYUM NOLINA

BEDAH BUKU SENYUM NOLINA
KUMPULAN CERPEN "SENYUM NOLINA" karya Dedi Saeful Anwar ini sudah bisa dipesan. Harga Rp38.000 (belum ongkir). [Info pemesanan dan penerbitan di FAM Publishing hubungi Call Centre 0812 5982 1511, atau via email forumaktifmenulis@yahoo.com, dan kunjungi web kami di www.famindonesia.com]

Senin, 19 Mei 2014

[ARTIKEL] IMUNISASI vs IMANISASI






IMUNISASI vs IMANISASI
(Catatan Hari Ke-Tiga Diklat Kecapi)

Oleh: Dedi Saeful Anwar
Allah SWT teh Maha Endah tur micinta kaendahan (Allah SWT itu Maha Indah, dan mencintai keindahan)~ sebuah kutipan.

Sambil menunggu kehadiran penyaji materi,  para peserta diklat di hari ke-tiga terlebih dahulu mendapat sebuah tembang yang pertama kali diciptakan oleh Dalem Pancaniti (RAA Kusumaningrat VIII). Tembang ini bernama “Degung Layar Putri”. Berikut lirik Degung Layar Putri yang disampaikan oleh Kang Dedi Mulyana, S.Pd.I salah satu yang memrakarsai pelatihan ini.
Gera balik
Gera balik
Gera mulang
Gera mulang
Mulang kana
Ka-Sundaan.

Terjemahan bebasnya kurang lebih seperti berikut ini:

Segera kembali
Segera kembali
Segera pulang
Segera pulang
Pulang pada
Budaya Sunda

Lirik tersebut mengandung arti sebuah ajakan bahwa orang-orang Sunda harus segera kembali kepada akar budayanya, jangan sampai meninggalkan seni budayanya sendiri.
Setelah berlatih tembang Degung Layar Putri, selanjutnya para peserta menerima materi ke-dua berupa asal muasal kecapi dari salah pelaku seni Cianjur yaitu Abah Dadan Sukandar. Beliau hadir dengan kemeja batik krem dengan mengenakan iket.
Seorang lelaki sederhana namun tampak sarat dengan pengalaman. Dengan asesoris sebuah kudjang*) kecil yang dipasang pada iket barangbang semplak di kepalanya begitu tenang duduk di hadapan sekitar 41 peserta diklat. Menurut pengakuannya dia dilahirkan pada tahun 1943 namun tidak dijelaskan mengenai tanggal dan bulannya.
Beliau merupakan salah satu seniman Cianjur yang mahir dalam memainkan waditra*). Di antaranya suling dan kecapi. Dalam pemaparannya beliau mengatakan bahwa sebelum diimunisasi, setiap anak harus diimanisasi terlebih dahulu. Saat mendengar slogan singkat itu, saya yang sedang duduk tertunduk langsung mengangkat kepala. Apa gerangan maksud kalimat itu?
Beliau menyampaikan sikapnya pada perkembangan dunia pendidikan, khususnya dalam hal seni budaya daerah. Sekarang ini banyak anak-anak Taman Kanak-kanak atau Sekolah-sekolah Dasar yang sudah jarang bahkan hampir tidak pernah mendengarkan atau menyanyikan lagi lagu-lagu daerah.
“Cobalah Bapak dan Ibu, berikan sebuah lagu daerah di antara lima lagu berbahasa Nasional. Jangan sampai mereka tidak mengenal sama sekali lagu daerahnya sendiri,” demikian pintanya kepada para peserta diklat.
“Bukankah saat seorang bayi kita ketika lahir ke dunia kemudian kita lantunkan suara azan di telinga kanan, lalu kumandang iqomah di telinga kirinya. Hal ini sebagai bentuk dari upaya imanisasi sejak dini. Sebelum anak-anak kita mendengar hal lain, kita awali dengan kalimat Illahi. Barulah saat menginjak beberapa bulan, diberikan vaksin imunisasi sebagai bentuk penjagaan terhadap tubuhnya,” paparnya lagi panjang lebar.
“Begitu pun dengan hal seni. Sebelum anak-anak kita mendengarkan seni (musik) milik orang lain, kita upayakan agar anak-anak kita disuguhi dahulu dengan seni budaya daerahnya sendiri. Bagaimana mereka akan mencintai dan bangga pada akar budaya sendiri, jika pada usia dini saja sudah kita cekoki mereka dengan budaya luar (baca:asing) yang belum tentu mengandung nilai-nilai luhur,” lanjutnya berapi-api.
Kemudian dia menceritakan sebuah pengalaman uniknya. Suatu saat beliau mendapat tamu. Seorang pemuda dari negeri yang terkenal dengan bunga tulip, Belanda. Orang itu jauh-jauh datang ke Cianjur hanya untuk menyakinkan bahwa suling yang terbuat dari bambu dan mampu menghasilkan alunan indah itu benar-benar ada. Karena sebelumnya dia hanya bisa memainkan flute. Setelah orang itu bertemu dengannya, barulah dia yakin dan semakin mengagumi terhadap alat musik tradisonal kita. Tapi kita sendiri sebagai pewaris budaya leluhurnya banyak yang tak acuh bahkan tak mampu memainkannya.
Berbicara tentang kecapi, beliau memaparkan bahwa alat musik yang satu ini mengalami perkembangan dalam segi perangkatnya. Dahulu ketika masa Kerajaan Padjadjaran, dawai kecapi ini berjumlah 6 kawat. Kemudian menjadi 9 kawat pada masa para wali. Hal ini sebagai tenda adanya 9 wali yang menyebarkan agama Islam di pulau Jawa. Barulah kemudian berkembang lagi hingga kini menjadi 18 kawat (Kacapi Indung) dan 20 kawat (kacapi sitter).
Tidak banyak yang beliau sampaikan, namun dari sedikit pemaparannya mampu menerbitkan rasa bangga dan optimisme para peserta diklat pada seni tradisional khususnya kecapi yang semakin ditinggalkan warganya sendiri.
Setelah menyimak pemaparan sejarah kecapi di Cianjur, materi kemudian dilanjukan dengan berlatih petikan dawai “Pangkat” yang disampaikan oleh Kang Iwa dan Kang Iwan. Pangkat merupakan petikan kecapi pada dawai 8 dan 13 yang dipetik bersamaan sebagai tanda awal musik untuk mengiringi sebuah tembang  atau kawih.
Ketika peserta diklat serius menjalankan sesi latihan kunci 5 dan 7, tiba-tiba Kepala Pusat Pembinaan dan Pendidikan (Pusbindik) Kec. Cianjur hadir di ruangan. Beliau menyampaikan sedikit wejangan dan permohonan maafnya karena pada saat pembukaan (Rabu, 14 Mei 2014) beliau tidak bisa hadir.
Dalam pesannya beliau mengatakan bahwa sekarang ini loba urang Sunda tapi teu Nyunda yang memiliki arti bahwa saat ini banyak orang Sunda, tetapi sudah lupa dan melupakan seni budayanya sendiri. Banyak orang Sunda yang merasa malu berbahasa (daerah) Sunda ketika mereka berbicara.
Banyak pula yang sudah malu berpakain adat Sunda, salah satunya mengenakan kain iket. Untuk itu beliau setuju dengan inisiatif panitia dengan membagikan gratis kepada semua peserta diklat dengan memberikan sebuah iket. Hal ini menjadi ciri bahwa iket adalah salah satu warisan budaya berpakaian yang patut dilestarikan selain memainkan kecapi.
Menurut beliau hal ini sudah sejalan dengan perintah Gubernur Jawa Barat saat ini -Bpk. Ahmad Heryawan, Lc- bahwa sekarang ini sudah dicanangkan setiap anak sekolah dan pegawai sipil di seluruh instansi pemerintahan harus mengenakan pakaian adat Sunda di setiap hari Rabu.
Dalam mengakhiri pesannya beliau berharap semoga dari pelatihan ini akan lebih banyak lagi urang Sunda yang mampu memainkan dengan mahir alat musik tradisional yang menjadi salah satu asset budaya nasional, yaitu kecapi.

Cianjur, 16 Mei 2014

Literasi:

Iket barangbang semplak= Ikat kepala khas Jawa Barat
Kudjang= senjata tradisional Rakyat Jawa Barat
Waditra = alat musik/istrumen musik tradisional di Tatar Sunda.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar