SALJU
DI GURUN PASIR
Oleh:
Dedi Saeful Anwar
SAAT
panas sedang terik, aku menunggu seorang rekan. Dia hendak mengantarkan
cap/stempel sekolah di jalan Ir. H. Juanda – Salakopi, Cianjur. Sebelumnya kami
sudah membuat janji bertemu di depan kantor Telkom. Namun, baru saja sepuluh
menit berlalu, keringat sudah mengucur deras. Keningku mengernyit menandakan terik yang
luar biasa, padahal aku duduk di jok roda dua-ku yang terparkir tepat di bawah
pohon angsana yang cukup rimbun. Angin terasa pelit menyapa. Berkali-kali
kuusapkan saputangan ke muka dan leher.
Penyakit
menunggu mulai muncul. Aku sedikit menggerutu karena orang yang kutunggu masih
belum muncul. Mataku memicing demi menahan pantulan cahaya dari kendaraan yang ramai
berlalu-lalang. Tanpa kusadari seseorang tiba-tiba muncul dengan wajah kumal
dan tampang seram. Dia turun dari roda
dua-nya yang bernomor plat-E .
“Maaf
Mas, numpang tanya,” suaranya hampir hilang ditelan deru mesin kendaraan. Logat
Cirebonan sangat kental dalam dialeknya. Walau helem tidak dilepas dari
kepalanya namun raut wajahnya nampak jelas, telihat lusuh menyimpan kelelahan. Dia
sedikit membungkukkan badannya, dengan menyilangkan kedua telapak tangan di
depan perutnya. Hampir mirip dengan orang Jepang yang memberi salam.
“Oh,
iya ada apa, Pak?” balasku ‘tak kalah hormat. Respek atas sikapnya yang sopan.
“Kalau
mau ke Purwakarta jalannya ke arah mana ya?” ucapnya sangat halus. Berbanding
terbalik dengan perangai sangar yang nampak dari wajahnya. Lelaki berkulit
gelap itu kuperkirakan usianya lebih tua dariku namun begitu ramah. Hingga
menerbitkan rasa penasaranku karena wajahnya nampak sangat lusuh. Kemudian sebuah
pertanyaan kulemparkan,“Bapak tadi dari Sukabumi?”
“Tidak.
Saya baru saja mengantarkan anak saya ke Cianjur ini, dan sekarang mau balik
lagi ke Purwakarta. Tapi tidak tahu arah.”
“Mmmh...,
kalau begitu Bapak bisa lewat jalan ini terus lurus, lalu belok kanan bila sudah di
perempatan Jalan By Pass. Setelah itu Bapak lurus terus ke arah Timur. Atau bisa juga ke arah jalan ini melalui, Jalan Taifur
Yusup, nanti di depan akan ada persimpangan Jalan Mangunsarkoro, Bapak terus
saja lurus ke Timur, kemudian nanti ada pertigaan jalan Arif Rahman Hakim. Nah, di sana
Bapak belok kiri menuju Jalan Raya Bandung.” Aku menjelaskan sambil
menggerakkan tangan mengikuti petunjuk arah pada lelaki yang berjaket tebal
warna hitam itu.
“Terima
kasih Pak, maaf sudah mengganggu.” Wajah lelaki itu nampak sumringah.
Berkali-kali dia membungkukkan badan seraya mengucapkan terima kasih. Aku
sedikit kikuk dengan sikapnya yang teramat sopan dan jarang kutemui di zaman
ini.
Sambil
menyaksikan dia menaiki motornya, benakku masih tertegun dengan sikapnya. Namun,
sikap sopan dan santun yang dia tunjukkan tadi telah menghadirkan tetesan embun
di terik mengigit. Menilai orang tidak bisa dari penampilannya. Sopan
santun yang teramat langka sekarang ini telah dihadirkan orang itu laiknya
salju di gurun pasir.
Jumat, 9 Mei 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar