BEDAH BUKU SENYUM NOLINA

BEDAH BUKU SENYUM NOLINA
KUMPULAN CERPEN "SENYUM NOLINA" karya Dedi Saeful Anwar ini sudah bisa dipesan. Harga Rp38.000 (belum ongkir). [Info pemesanan dan penerbitan di FAM Publishing hubungi Call Centre 0812 5982 1511, atau via email forumaktifmenulis@yahoo.com, dan kunjungi web kami di www.famindonesia.com]

Selasa, 13 Mei 2014

[FTS] SALJU DI GURUN PASIR



SALJU DI GURUN PASIR
Oleh: Dedi Saeful Anwar

SAAT panas sedang terik, aku menunggu seorang rekan. Dia hendak mengantarkan cap/stempel sekolah di jalan Ir. H. Juanda – Salakopi, Cianjur. Sebelumnya kami sudah membuat janji bertemu di depan kantor Telkom. Namun, baru saja sepuluh menit berlalu, keringat sudah mengucur deras. Keningku mengernyit menandakan terik yang luar biasa, padahal aku duduk di jok roda dua-ku yang terparkir tepat di bawah pohon angsana yang cukup rimbun. Angin terasa pelit menyapa. Berkali-kali kuusapkan saputangan ke muka dan leher.
Penyakit menunggu mulai muncul. Aku sedikit menggerutu karena orang yang kutunggu masih belum muncul. Mataku memicing demi menahan pantulan cahaya dari kendaraan yang ramai berlalu-lalang. Tanpa kusadari seseorang tiba-tiba muncul dengan wajah kumal dan tampang seram.  Dia turun dari roda dua-nya yang bernomor plat-E .
“Maaf Mas, numpang tanya,” suaranya hampir hilang ditelan deru mesin kendaraan. Logat Cirebonan sangat kental dalam dialeknya. Walau helem tidak dilepas dari kepalanya namun raut wajahnya nampak jelas, telihat lusuh menyimpan kelelahan. Dia sedikit membungkukkan badannya, dengan menyilangkan kedua telapak tangan di depan perutnya. Hampir mirip dengan orang Jepang yang memberi salam.
“Oh, iya ada apa, Pak?” balasku ‘tak kalah hormat. Respek atas sikapnya yang sopan.
“Kalau mau ke Purwakarta jalannya ke arah mana ya?” ucapnya sangat halus. Berbanding terbalik dengan perangai sangar yang nampak dari wajahnya. Lelaki berkulit gelap itu kuperkirakan usianya lebih tua dariku namun begitu ramah. Hingga menerbitkan rasa penasaranku karena wajahnya nampak sangat lusuh. Kemudian sebuah pertanyaan kulemparkan,“Bapak tadi dari Sukabumi?”
“Tidak. Saya baru saja mengantarkan anak saya ke Cianjur ini, dan sekarang mau balik lagi ke Purwakarta. Tapi tidak tahu arah.”
“Mmmh..., kalau begitu Bapak bisa lewat jalan ini terus lurus, lalu belok kanan bila sudah di perempatan Jalan By Pass. Setelah itu Bapak lurus terus ke arah Timur. Atau bisa juga ke arah jalan  ini melalui, Jalan Taifur Yusup, nanti di depan akan ada persimpangan Jalan Mangunsarkoro, Bapak terus saja lurus ke Timur, kemudian nanti ada pertigaan jalan Arif Rahman Hakim. Nah, di sana Bapak belok kiri menuju Jalan Raya Bandung.” Aku menjelaskan sambil menggerakkan tangan mengikuti petunjuk arah pada lelaki yang berjaket tebal warna hitam itu.
“Terima kasih Pak, maaf sudah mengganggu.” Wajah lelaki itu nampak sumringah. Berkali-kali dia membungkukkan badan seraya mengucapkan terima kasih. Aku sedikit kikuk dengan sikapnya yang teramat sopan dan jarang kutemui di zaman ini.
Sambil menyaksikan dia menaiki motornya, benakku masih tertegun dengan sikapnya. Namun, sikap sopan dan santun yang dia tunjukkan tadi telah menghadirkan tetesan embun di terik mengigit. Menilai orang tidak bisa dari penampilannya. Sopan santun yang teramat langka sekarang ini telah dihadirkan orang itu laiknya salju di gurun pasir.

Jumat, 9 Mei 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar