SEEKOR ITIK dan
KAPITALISME
Oleh: Dedi
Saeful Anwar
Seekor itik
tetaplah itik, sekalipun ia saat masih berbentuk telur, lalu dierami, kemudian
menetas dan diasuh oleh seekor induk ayam. Bila sudah melihat kolam penuh air
pasti ia akan menceburkan dirinya ke dalam kolam tersebut. Karena instingnya
suka terhadap air. Walaupun sang induk (ayam) berteriak melarangnya dengan
penuh rasa khawatir.
Begitupun dengan
kapitalisme, serapi apapun mereka (penganut kapitalisme) mengatur sistem
manajemen dalam menjalankan usahanya, tetap saja cita-rasanya sebagai kapitalisme
akan kerkuak. Tidak ubahnya lintah darat
berdasi dan sembunyi di balik gedung mewah. Parahnya lagi terus saja
bergelimpangan korban kapitalisme di sekitar kita.
***
Hari
Senin, 26 Mei 2014 aku berangkat ke Kota Kembang-Bandung, untuk mengantar
pimpinan sekolah-ku ke sebuah bank di bilangan jalan Asia-Afrika. Dengan tujuan
menemui bagian marketing sebuah bank
swasta nasional yang sedang berkembang, untuk membereskan kartu kreditnya yang sedang
bermasalah.
Kami
berangkat jam 7.30 WIB dari kota Tauco-Cianjur dengan mengendarai sepeda motor.
Walau masih cukup pagi, bukan berarti perjalanan ke kota Bandung menjadi mulus.
Kepadatan kendaraan sudah mulai terasa saat memasuki jalan Ciburuy hingga pintu
tol padalarang. Dan di sana merupakan langganan kemacetan, apalagi di akhir
pekan dan di awal bulan.
Setelah
memasuki kota Cimahi, tempat aku dahulu dilahirkan. Kutepikan motor di jalan
Raya Cibabat. Kami menikmati sarapan di sebuah warung nasi Padang di kota yang
menyimpan berjuta kenangan masa kecil-ku.
Setelah
menghabiskan waktu hampir setengah jam, kami melanjutkan perjalanan. Sekitar jam 9.30 WIB, akhirnya kami sampai juga di
sebuah gedung yang menjadi tujuan kami. Setelah menemui petugas satpam kami
diberi sebuah tiket dengan nomor 911 (mirip nomor darurat di negeri Adidaya-AS)
untuk bertemu seseorang di lantai IV. Sesampainya di lantai IV, setelah
melewati sebuah lift kami disambut
lagi oleh petugas satpam lainnya.
“Selamat
pagi, ada yang bisa saya bantu, Pak?” Seorang satpam lantai IV ramah menyapa,
setelah pintu lift yang kami naiki menutup.
“Selamat
pagi. Bisa bertemu dengan Ibu Evi, Pak?” balasku tak kalah sopan.
“Ooh,
kebetulan beliau sudah pulang. Namun ada asistennya, Pak Chevi. Bapak bisa menemui
dia.”
Mendengar
jawaban satpam itu aku mengernyitkan dahi.
“Apa iya, se-pagi
ini, saat orang lain baru beraktivitas di hari Senin, masa iya orang kantoran
sudah pulang? Lagi pula ini sebuah lembaga keuangan yang mobilitas kerjanya
padat,” gumamku dalam hati
Aku
segera menepiskan pikiran yang bukan-bukan. Segera kuikuti langkah pimpinanku
menuju ruang yang ditunjuk satpam itu. Aku perhatikan percakapan kedua orang
itu (pimpinan-ku dan petugas bank). Aku sedikit geregetan dengan sikap petugas bank
yang benar-benar tidak menunjukkan sikap ramah. Tanpa senyum sedikit pun dan
ucapannya ketus.
“Ooh,
ini kartunya diblokir, ya?” terdengar ucapan si petugas bank datar tanpa
ekspresi. Dia sesekali sibuk memainkan jemarinya pada tuts-tuts keyboard. Entah apa yang dia ketik.
Sesekali membungkuk entah apa pula yang dia ambil dari bawah meja kerjanya.
Namun yang kuperhatikan dia selalu menghindari kontak mata dengan lawan
bicaranya. Sungguh sikap petugas jasa yang tidak kusukai dan jelas tidak
profesional. Tidak sesuai dengan gedung tempatnya bekerja yang menjulang. Apalagi
ini menyangkut kenyamanan seorang nasabah yang nota bene sama artinya dengan
konsumen. Bukan kah konsumen adalah raja? Kami jauh-jauh berpuluh kilometer
demi sebuah pelayanan yang mereka tawari, malah emndapat perlakuan yang tidak
simpatik sama sekali.
Yang
membuat kami jengah adalah, di zaman yang serba on line, serba praktis dan alat komunikasi yang semakin mudah tapi
untuk urusan kartu kredit musti mengurusnya berpuluh kilometer? Fungsi cabang
di daerah sama sekali mandul!
“Kalau
Bapak mau menghentikan tagihan asuransinya tidak bisa mendadak Pak, harus tiga
minggu sebelumnya. Jadi untuk bulan depan, tanggal 7 Juni 2014 akan terjadi
kembali pemotongan otomatis. Namun untuk bulan selanjutnya (Juli dna seterusnya)
kalau Bapak menginginkan akan saya ajukan penghentiannya dari sekarang.”
“Baik,
namun ada yang tidak saya mengerti. Mengapa potongan biaya asuransi ini besar
sekali Pak, tujuh ratus lima puluh tujuh
ribu rupiah. Sedangkan yang saya setujui pada saat ada kontak telepon dari
pihak asuransi hanya sembilan puluh ribu
rupiah. Itu maksud saya datang ke sini, selain mengurus masalah pemblokiran
kartu kredit ini,” suara pimpinanku sedikit meninggi.
“Kami
tidak tahu menahu soal itu Pak, karena bank kami dengan suransi ini berbeda
sistem dan pelayanan.”
“Tapi
‘kan asuransi rekanan kerja perusahaan anda? Mereka tentunya sudah punya kontrak
kerjasama dengan bank tempat anda bekerja, tolong beri penjelasannya dan jangan
berbelit-belit.” Pimpinanku menggebrak meja. Emosinya menjadi terpancing.
“Ee..ee..,
maaf Pak. Silakan Bapak temui perusahaan asuransi ini di gedung sebelah, melewati
lima gedung dari gedung bank ini ke arah Timur. Di sana ada kantor
perwakilannya.” Dengan sedikit bergetar petugas itu membereskan kacamata
minusnya. Wajahnya pucat dan masih tanpa ekspresi. Membuat aku semakin gemas
dengan sikapnya yang benar-benar tidak layak menajadi customer service.
Setengah
jam lebih kami mencari perusahaan itu, di gedung yang disebutkan petugas bank
tadi. Namun satpam gedung itu tidak menyakini adanya perusahaan dimaksud. Kami
benar-benar geram dan merasa dikerjai oleh petugas bank itu. Satpam gedung
mempersilahkan kepada kami untuk menemui beberapa kantor asuransi di lantai VII
dan IV dan III.
Setelah
yakin di tiga lantai itu tidak ada, emosi kami benar-benar memuncak. Segera
kutemui petugas bak kembali di gedung semula.
“Bapak
jangan mempermainkan kami, ya!” bentak pimpinan kami.
“Maaf,
Pak. Kami tidak memper.....” suara petugas itu tidak selesai
“Bagaimana
tidak mempermainkan? Anda begitu yakin perusahaan itu ada di sana. Setelah kami
cari ternyata kantor asuransi itu tidak ada. Apa anda masih mau berkelit kalau
anda tidak mempermainkan, hah?” suara
keras darimulut pimpinanku membuat tegang ruangan itu. Aku yang sama-sama geram
hanya menyaksikan adegan itu, benar-benar ingin kurobek mulut bloon petugas bank itu.
“Silakan
Bapak coba lagi ke BRI Tower..... a..a...atau yang di depan hotel Panghegar!”
“Anda
benar-benar mau mempermainkan saya ya, sekarang saya minta nomor telepon
perusahaan itu sekarang juga.”
Setelah
berbisik-bisik ditelepon, entah siapa yang dia hubungi, kemudian dia memberikan
nomoi 021-XXXXXX.
“Pak,
ini ‘kan nomor Jakarta. Saya minta yang cabang Bandung. Kalau yang Jakarta juga
saya punya dalam surat perjanjian ini. Ngapain pula saya telepon ke Jakarta.”
Sekarang gilrianku berusaha menekan petugas itu. Aku terpancing juga dan ikut
gemas dibuatnya. Ingin kutonjok lalu kuacak-acak saja wajah bloon bin oon petugas bank itu.
“Jika
begini pelayanannya, tidak menguntungkan nasabahmya, saya tidak akan
menggunakan kartu kredit ini Pak Ded. Saya terlanjur kecewa. Dan mulai detik
ini tidak percaya lagi dengan kinerja seperti ini.” Pimpinanku menggerutu dan mengajakku
untuk segera meninggalkan gedung lantai itu.
“Kapitalisme tetap kapitalsime, mereka tumbuh
dengan menghisap darah nasabahnya, sekalipun mereka berdasi, berpenampilan
necis dalam mengendalikan otaknya di balik gedung bertingkat,” gumamku.
Hari
itu kami pulang ke Cianjur dengan membawa segunung rasa kesal. Terlebih mengingat
sikap yang jauh dari profesional petugas bank itu.
Huh!
Senin, 26 Mei
2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar