BEDAH BUKU SENYUM NOLINA

BEDAH BUKU SENYUM NOLINA
KUMPULAN CERPEN "SENYUM NOLINA" karya Dedi Saeful Anwar ini sudah bisa dipesan. Harga Rp38.000 (belum ongkir). [Info pemesanan dan penerbitan di FAM Publishing hubungi Call Centre 0812 5982 1511, atau via email forumaktifmenulis@yahoo.com, dan kunjungi web kami di www.famindonesia.com]

Rabu, 26 Februari 2014

RENDEZVOUS JANUARI




RENDEZVOUS JANUARI
Aku masih mencium harum cemara itu. Saat diterpa angin sore di sebuah lembah yang menebarkan rindu pekat. Saat kutuju sebuah taman, disambut rerumput. Mereka seolah ingin mengatakan sesuatu agar usah menyimpan beribu tanya. Tapi memang kuat rasa yang ada. Mereka membawaku menemukan senyuman paling indah. Walau itu tertutupi tembok tebal. Aku melihat rasa itu, meskipun terhalang gelap pandangan. Kini, ribuan tanya itu terjawab sudah. Bahwa senyum itu kini berbunga.
Disambut riuh cemara berjingrak dengan angin menarikan sensual samba. Bougainville terbahak lepas memunculkan jingga merah dan violetnya. Aku kian lepas diterpa angin membumbung bersama tarian mereka. Hingga terdampar pada hamparan rumput yang menyambutku. Kini aku menikmati senyuman indah itu hingga lelap.
"Aku kini sangat rindu," bisikku pada cemara itu. Aku ditampar cemburu mawar dan melati melirik iri.
Awal Januari ini menjadi masa paling indah. Mimpiku untuk memiliki senyum paling indah itu kini merekah di bilik hati. Lelaki gagah penuh pesona yang telah membuatku gundah selama dua belas purnama, kini membawakan segara asmara.
Dinding-dinding kusam di kamarku telah berupah menjadi merah muda. Bunga-bunga di pelataran semua bersemi. Mereka menerbitkan kuncup-kuncup indah yang siap mekar setiap hari. Embun yang diam kini berjingkrak setiap pagi, mencandai dedaun, reranting dan ilalang. Selendang jingga kini tak pernah lepas di punggung senja. Mengundang nyanyian juga tarian kepinis. Semua indah. Semua merekah.
Aku menuruni jalan beraspal. Sepanjang bibir jalan penuh cemara yang tak hentinya bercanda dengan angin senja. Semburat jingga menebar di cakrawala. Desau binal menerpa rambut sebahuku. Beruntung, bando marun menjaga mahkota di kepalaku hingga aman tak tergoda sang desau yang sering iseng.
Di pelataran taman yang cukup luas, terbentang permadani hijau pekat. Kudekati sebuah kursi besi bercat putih menghadap kolam. Batu berbentuk wajan besar bertingkat tiga menambah kesejukan sore itu. Air bening menyembur, hadirkan uap sejuk di sekitar kolam. Ikan koi merah dan putih saling mengejar. Sebagian lagi bergerombol di cucuran air yang terjatuh dari batu air mancur.
Sejenak adegan masa laluku mengambang di kolam bening itu. Saat pertemuan pertamaku dengan Mas Pras di ruang kelas pada semester ganjil tahun keempat perkuliahanku. Seorang pria tinggi berambut kelimis tiba-tiba masuk ruang kelas. Suara gaduh dari semua mahasiswa tiba-tiba hening.
“Selamat pagi! Sapa dosen muda itu memecah hening. Kami membalas sapaannya serentak dengan tatapan semua mengarah pada sosok yang memesonakan mata setiap mahasiswa wanita.
“Baik, perkenalkan saya Prasetya. Saya seharusnya tidak masuk dan mengajar di kelas ini. Namun karena dosen senior saya yang seharusnya hadir sekarang di ruang ini, tidak bisa karena bentrok jadwal. Jadi beliau meminta saya untuk menukarnya dengan jadwal beliau,” jelasannya cukup memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang berkumpul di benak beberapa mahasiswa. Semua masih hening.
Aku yang duduk di barisan kursi paling depan, tak jauh dari pintu masuk, memerhatikan semua gerak-gerik dosen itu. Lelaki tinggi itu berkemeja biru muda bermotif garis putih horisontal. Sebuah dasi biru tua berpadu merah marun menggantung rapi di lehernya. Semua kurekam dari ujung rambut hingga sepatu hitamnya yang mengilat. Aku menikmati pandangan pertama yang membuat degupan aneh di jantungku itu hingga jam perkuliahan usai.
Sejak pertemuan pertama itu aku semakin bersemangat untuk masuk kuliah. Apalagi ketika jadwal matakuliah Manajemen Keuangan, yang disampaikan oleh Pak Prasetya, semangatku tambah pol. Rasanya dua jam matakuliah dia sangat pendek hanya terasa dua menit saja. Entah mengapa sejak melihat penampilan dosen itu, pikiranku selalu bertaut padanya. Diam-diam aku menjadi pemuja rahasia lelaki itu
***
Enam bulan berlalu, dan hasil Ujian Akhir Semester sudah di tangan. Aku mendapat nilai sempurna. Termasuk nilai matakuliah yang disampaikan Pak Prasetya. Saat keluar dari gedung Fakultas, mataku tiba-tiba dikejutkan dengan pemandangan yang membuatku terasa sesak untuk bernapas. Kusaksikan Pak Prasetya memasuki mobil sedannya dengan seorang wanita muda dengan mesra.
Mobil itu melaju hingga tenggelam dari pandanganku. Tak terasa kedua bola mataku berembun.
“Ternyata aku bukan sesiapa Pak Pras,” batinku sembari menyusuri jalan. Sesampainya di kosan aku menumpahkan rinai dari kedua mataku pada bantal. Kutuangkan semua obsesiku tentang Pak Prasetya dalam diary.
“Kusam”

Sore itu tidak memperlihatkan kesegaran senja. Namun waktu tidak bisa diajak konspirasi.
Tidak bisa kusampaikan pesan pada siapa pun padahal ingin ku bercengkrama lebih dalam dengan semua rangkaian senyummu.
‘Tak bisa lagi mengais ukiran kata-kata indah dari samudra rayuanmu
Kudengar bisikan angin, “Benci saja pada dia!”
Semakin tersayat dan aku ‘tak setuju.
Kemboja yang lama tidak berbunga pun lantang, “Sudah kukatakan, itu hanya  akan merusak otak-mu saja!”
Aku menatap marah:

Kepergian senja sudah kurelakan. Namun warna kusam belum mau hilang.
Kepenatan mulai bercengkrama dengan riuhnya pertanyaan. Saling menyalahkan.
Tersudut dan terpuruk
Jauh ke dalam penyesalan
Untuk apa membuka jendela jika jingga senja jauh ditelan malam
Untuk apa aku mencari kertas yang menyimpan puisi-puisi dia
Bila hanya memancing caci maki:

Untuk apa
Melati ikut tersenyum
Kemboja ikut menari
Dan mereka mengajak anak-anaknya menyanyikan roman-roman busuk itu
Untuk apa

Puas kau tersenyum
Mengunciku di ujung
Rapuh!

***

“Nindy, kamu dipanggil Pak Pras tuh! Tiba-tiba Tantri masuk ruang kelas dan duduk di sampingku.
“Hah! Pak Pras memanggilku. Ada apa ya?” jantungku tetiba berdegup kencang. Tangan kakiku mulai dingin. Aku paling tidak bisa menghadapi situasi seperti itu. Sebuah ketegangan menggandeng rasa kaget.
Udah, ke sana aja, mau ditraktir mungkin,” oceh Tantri sekenanya.
Hush, kamu asal ucap aja.” Aku berlalu menuju Ruang Dosen sambil menjewer telinga Tantri.
“Aduh, sakit tahu!” rengek Tantri manja. Kutinggalkan gadis paling centil di kelasku itu. Kurasakan berbagai gejolak. Antara kaget, gugup dan senang berkecamuk dalam dada. Kaget karena tiba-tiba ada panggilan, gugup karena yang memanggil adalah orang yang selalu hadir dalam tiap obsesiku, senang karena ada kesempatan untuk sekadar memandang pesonanya.
“Gila aku!” desisku
Sesampainya di ruang dosen aku menunggu di sebuah kursi cokelat. Ruang yang penuh meja dengan tumpukan kertas juga buku di atasnya. Kulirik Pak Prasetya sedang berbincang di mejanya dengan dua orang mahasiswa bimbingannya yang sedang menyelesaikan tugas akhir.
Setelah menghabiskan sepuluh menit, aku baru bisa berhadapan dengan Pak Prasetya. “Nindy, nanti tugas makalah dikumpulkan ya di meja Bapak. Saya mau berangkat ke Jakarta siang ini. Bapak juga tidak bisa ke kelas hari ini, tolong sampaikan tugas ini kepada teman-temanmu.” Pak Prasetya panjang lebar menjelaskan sembari menyodorkan sebuah buku.
Ada rasa kaget dalam hatiku saat mendengar Pak Pras akan pergi. Dia ingin bertanya, namun niatnya diurungkan.
“Nindy, kok melamun?”
“Ooh,...eee....iya, iya baik, baik Pak!” jawabku gugup.
“Kamu sakit?”
”Enggak, eee....enggak Pak. Baik nanti kusampaikan pada teman-teman di kelas!” Mukaku kian pucat. Tak mau menambah rasa kikuk segera saja aku pamitan. Pak Pras memerhatikan kepergianku dengan tarikan napas panjang.
Malam itu aku kembali menuangkan keluh kesah pada lembaran diary sahabat setiaku satu-satunya.

“Kutitip Rinduku pada Selasar Adenium"

Rembulan merah. Kau datang dan aku sempat terpana lagi. Lagi dan lagi, karena pesonamu itu. Sungguh daya pikat magis yang kuat, ‘tak kuasa aku menolakmu. Aku tiada daya. Biasanya aku permisif, kali ini tidak.
Tiba-tiba saja kau hadir di hadapanku. Indah, manis, memesona dan sungguh menggairahkan. mendidih gelora sendi tubuhku. Kau dekatiku, menggeleparlah aku! Kau mengusap lembut pipiku dengan sayap-sayapmu yang hangat.
Saat kupejamkan mata, kau bisikan nada-nada indah, semua rayuanmu mulai mengalir lagi, terdengar syahdu. Sekejap saja kau sudah menghipnotisku. Aku lelap dan memang aku tergoda lagi.
Sejenak aku menolak kehadiran mu. Tentu saja! Karena aku sangsi. Bukankah kau sudah menggoreskan luka yang teramat sakit? Coba lihat. Betapa aku limbung saat kau pergi. Gelapnya malam saat itu masih bisa ‘ku melihat ilalang bergerak karena tiupan angin. Tapi ketika kau tiada, sungguh gulita semua pandangan itu.
Rembulan merah. Sebenarnya aku ingin memeluk mu. Jauh di lubuk hatiku, kupendam rindu yang kuat. Tapi, keraguan itu semakin dalam. Saat kau hadir.
Biar kutitipkan saja kerinduan ini
Pada selasar adenium.

***

            Tiba-tiba bahuku ada yang menepuk lembut. Aroma wangi di hidungku meletupkan bola-bola lamunanku yang menari di atas air kolam. Wajahku menoleh ke samping kanan. Hatiku luluh dan merebah seketika. Sebuah senyum indah kini telah hadir memenuhi ruang hati, membentuk lengkungan warna-warni pelangi.
            Prasetya, kini duduk di sebelah kiriku dengan rangkulan mesra di pundakku. Dia mengecup keningku seraya mengusap lembut jemarinya di rambut legamku. Aku merebahkan kepala di bahunya yang hangat. Lelaki indah itu kini telah mengisi ruang hatiku semenjak prosesi wisuda. Dia ungkapkan bahwa dia menyimpan perasaannya sukanya terhadapku semenjak pertemuan pertama di kelas.
Sedangkan perempuan yang dulu sering terlihat berdua mesra dengannya adalah tunangan Prasetya yang telah meninggalkannya. Dia studi ke Negeri Kanguru dan terpikat oleh teman kulianya di sana.
Kini kami bedua menatap pelangi senja. Semua menjadi indah, seindah Rendezvous Januari-ku.
[] selesai []






Cianjur, 27 Februari 2014

JEJAK PERTAMA DI 2014

Bismillahirrahmanirrahiim. Jejak pertama tahun ini semoga lancar. Mohon doanya dari semua.

"Senyum Nolina", Buku Kumpulan Cerpen karya Dedi Saeful Anwar (Jawa Barat). Dalam proses terbit di FAM Publishing (Divisi Penerbitan FAM Indonesia).

[Info penerbitan buku di FAM Publishing hubungi call centre 0812 5982 1511 atau via email: forumaktifmenulis@yahoo.com]

BUKU SEPENGGAL KISAH DI BULAN SUCI

STOP PRESS!!!
TELAH TERBIT DAN SUDAH BISA DIPESAN BUKU SEPENGGAL KISAH DI BULAN SUCI, HASIL KERJASAMA FAM WILAYAH JABAR-BANTEN DAN FAM INDONESIA.

~~ Kenangan adalah salah satu bagian dari perjalanan hidup setiap orang, baik manis maupun pahit. Terlebih bila kenangan itu ada hubungannya dengan perjalanan spiritual seseorang. Seperti yang dialami oleh para penulis dalam Buku “Sepenggal Kisah di Bulan Suci”.

Mereka menuturkan kisah-kisah inspirataif berupa FTS (Kisah Nyata) dan Prosa Liris selama menjalani ibadah di bulan suci Ramadan. Di sana ada suka, duka, tawa dan tangis haru, semua menjadi bahan perenungan untuk menapaki kehidupan selanjutnya. ~~

[Info pemesanan dan penerbitan di FAM Publishing hubungi Call Centre 0812 5982 1511, atau via email forumaktifmenulis@yahoo.com, dan kunjungi web kami di www.famindonesia.com]