BEDAH BUKU SENYUM NOLINA

BEDAH BUKU SENYUM NOLINA
KUMPULAN CERPEN "SENYUM NOLINA" karya Dedi Saeful Anwar ini sudah bisa dipesan. Harga Rp38.000 (belum ongkir). [Info pemesanan dan penerbitan di FAM Publishing hubungi Call Centre 0812 5982 1511, atau via email forumaktifmenulis@yahoo.com, dan kunjungi web kami di www.famindonesia.com]

Senin, 02 November 2015

[ARTIKEL] ONCE UPON A TIME WITH "SENYUM NOLINA"

ONCE UPON A TIME WITH "SENYUM NOLINA"
CATATAN RINGAN DARI KEGIATAN BEDAH BUKU 

Oleh: DEDI SAEFUL ANWAR


dc
....Hidup
bukan untuk
ditangisi,
tetapi dijalani dengan
senyum terurai...
- DS Anwar

cd

Sabtu pagi (31/10), sebuah gedung sekolah yang letaknya sekitar tujuh kilometer dari pusat pemerintahan tepatnya di jalan Peusar, Desa Rahong Kec. Cilaku Kabupaten Cianjur,  sudah padat dengan para siswa dan guru serta tamu undangan. Semua tampak antusias dengan atas sebuah gelaran acara sangat langka dan baru pertama kalinya diadakan di sekolah tersebut.
Setelah melalui jalan berbatu dan penuh lubang serta genangan air---karena sehari sebelumnya hujan yang lama dirindukan tiba-tiba hadir dengan derasnya mengguyur Cianjur---akhirnya kami tiba di lokasi tempat berlangsungnya Acara Bedah Buku “Senyum Nolina”.
Disambut dengan lantunan shalawat dari grup marawis IDSENSA (Ikatan Dakwah dan Seni MTs. Al Mizan) yang merupakan salah satu kegiatan ekskul sekolah tersebut, suasana terasa hangat dan menimbulkan semangat bagi para pengisi dan peserta acara.
Rangkaian acara pun berlanjut satu persatu. Mulai dari pembukaan, doa dan shalawat yang dipimpin oleh Ustaz Muhidin, lantunan ayat suci Al Quran (Sukron, 9-A) dan saritilawah (Neng Yuyun, 9-A), serta beberapa sambutan.
Dalam menyampaikan sambutannya Ketua Komite, Bapak  Nurdin Iraz mengatakan bahwa kegiatan ini sangat positif bagi perkembangan sekolah dan tentunya menambah wawasan khususnya dalam dunia kepenulisan bagi kalangan pelajar serta para pendidik dalam hal ini para guru. Beliau juga menyampaikan rasa terima kasihnya kepada penyelenggara yang telah mengadakan sebuah acara yang sifatnya membangun dan memotivasi.

Sambutan selanjutnya dari Kepala Madrasah, Bapak Cucu Supyana, S.Pd.I, sekaligus mewakili Yayasan. Beliau menukil sebuah ayat dalam kitab suci Al-Quran. Surat Ibrahim-Ayat 1, yang artinya: Alif, laam raa. (Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji. (QS: 14: 1).
Beliau juga mengatakan bahwa kegiatan Bedah Buku yang berlangsung pada bulan Muharram ini diharapkan menjadi tonggak Hijrahnya Madrasah yang dipimpinnya menjadi sebuah madrasah yang semakin aktif dan giat dalam mengembangkan prestasi, baik akademis maupun non akademis. Beliau berharap juga semoga di madrasahnya kelak bisa diadakan kegiatan literasi yang mampu mewadahi minat dan bakat para peserta didiknya dalam mengembangkan dunia tulis-menulis. Baik berbentuk ekstakurikuler maupun dalam bentuk lainnya.
Sementara itu sambutan dari Dewan Guru yang diwakili oleh Bapak Asep Taman, S.Pd. Beliau berkali-kali mengucapkan beribu terima kasih atas terselenggaranya kegiatan positif yang sifatnya membangun dan mengajak para peserta didik ke dalam dunia literasi.

Sebelum memasuki acara pokok, penampilan grup marawis IDSENSA kembali menghangatkan suasana dengan beberapa lantunan shalawat. Setelah  itu barulah pembawa acara Meli Siti Homsah (9-B) dan Yeni Maspupah (9-A) menyerahkan acara dengan sepenuhnya kepada Moderator (De Minnie).
Penampilan gadis berhijab yang saat ini menjabat sebagai Bendahara FAM Wilayah Jabar, Santi Sumiati (De Minnie) didaulat menjadi Moderator. Dengan gaya khasnya yang energik dan ramah, Gadis mungil dan masih singel ini berhasil menambah semangat para peserta dan tamu undangan.
Sang Moderator berhasil menenangkan peserta yang sebagian besar adalah peserta didik (siswa) dan berjumlah tidak kurang dari 200 orang. Mereka mulai resah dalam suhu ruangan yang mulai gerah dan panas. Namun berkat kepiawannya merangkai kata menjadi kalimat-kalimat indah dan puitis. Gadis dengan balutan gaun panjang syar’i ini berhasil memancing senyum dan tawa para hadirin dengan celetukan khasnya yang renyah dan lembut.
Bagi yang menjawab salam dengan ikhlas semoga masuk surga---amin. Dan bagi yang menjawab salam namun tidak ikhlas mudah-mudahan masuk angin,” demikian salah satu celetukannya yang berhasil membuat ruangan menjadi riuh dan serta merta para peserta menjawab salam dengan kompak.
Setelah beberapa menit sang moderator menyampaikan pembukaan dan berkomunikasi dengan lancar di hadapan semua peserta, kemudian Moderator meminta beberapa siswa yang telah memiliki dan membaca buku tesebut untuk maju ke podium dan menyampaikan kesan-kesannya.
Risma Siti Patonah (9-A) mengatakan bahwa dia sangat terkesan dengan cerpen “Piagam untuk Emak”. Menurutnya cerpen tersebut sangat memotivasi dirinya dalam meraih prestasi. Sementara Aviyah yang sudah membaca beberapa judul mengatakan bahwa cerpen-cerpen di dalam Kumcer “Senyum Nolina” sangat menarik. Membuatnya terharu dengan perjuangan para tokohnya dan sangat menginspirasi.
Setelah memberikan kesempatan kepada dua pembaca buku tersbut, Sang Moderator lalu memberikan kesempatan kepada Penulis Buku Kumcer Senyum Nolina” untuk memaparkan Proses Kreatifnya dari awal penyusunan naskah hingga buku tersebut terbit. Di tengah-tengah pemaparannya dia meminta seorang siswa (Ilma Faridah, Kelas 8-B) untuk membacakan sebuah puisi berjudul “Langkah” karya Iyan Sopian.

Penulis mengatakan bahwa selama proses menulis, editing, pengambilan dan penentuan judul buku, hingga terbitnya buku tersebut semua mengalir begitu saja seperti dalam salah satu larik puisi di atas,
.......air mengalir ke ujung entah ....
Namun dalam proses lahirnya buku terbut bukan tanpa hambatan. Justru karena mengalir begitu saja, akhirnya semua hambatan yang datang dengan bertubi-tubi justru mampu dilalui dan sepertinya tokoh Nolina itu berhasil memaknai semua perjalanan dan proses tersebut. Maka diambillah judul “Senyum Nolina”.
Di tengah-tengah pemaparannya, sang penulis kembali memberi kesempatan kepada seorang siswa (Siti Patimah, Kelas 8-A) untuk membacakan sebuah puisi berjudul “Kita akan Sampai pada Langit” karya Moh. Wan Anwar.
Penulis berharap semoga semua peserta buku ini mampu meraih segala cita dan harapan seperti larik-larik enerjik dalam puisi tersebut yang mengajak para pendengarnya memanfaatkan waktu yang dimiliki dengan maksimal. Seperti dalam sebuah baitnya,
.............
kita akan selalu menuju waktu
walau segala gegas dilambatkan
kita akan menghitung setiap kelokan
menanam benih-benih keabadian
dan sibuk mencari satu pegangan
.....
 Sebelum dilanjutkan kepada sesi tanya jawab, peserta dalam ruangan mendapat sajian indah berupa lantunan merdu dari dua peserta didik---Tuti Siti Fadilah (8-B) dan Santi Yunita (8-B)--- yang menembangkan Tembang Sunda “Tauco Cianjur”.




***
“Mengapa Bapak mau jadi penulis dan bagaimana awal mulanya hinga menjadi penulis seperti sekarang ini?” demikian sebuah pertanyan yang membuat Penulis membuka memorinya.
Penulis menjawab bahwa dia tidak pernah bercita-cita ingin menjadi penulis. Bahkan ketika masa kecilnya, dia malah memiliki tiga cita-cita. Selain ingin menjadi dokter dan ingin menjadi TNI AL, yang unik adalah dia ingin menjadi penjual koran. Profesi penulis belum dia kenal sama sekali. Tetapi dari dulu dia suka membaca. Mulai dari potongan kertas koran bekas pembungkus terasi, buku-buku di perpustakaan sekolah dan perpustakan umum hingga buku-buku cerita anak karangan HC. Andersen yang paling digemarinya.” Hingga beranjak dewasa pun---lanjutnya lagi--- kebiasaan membacanya tidak hilang. Pernah dia hanya memiliki uang lima ribu rupiah dalam saku. Ketika lapar dia bukannya membeli nasi, malah membeli 3 eksemplar koran, yang pada saat itu harganya berkisah Rp1.500,-an, lalu dia lahap membaca koran tersebut dan tidak memerdulikan perutnya yang melilit.
“Apakah selama Bapak menulis kisah-kisah dalam buku tersebut pernah meneteskan air mata?” Bapak Ketua Komite Madrasah antusias memberikan pertanyaan tersebut.
Penulis tiba-tiba menarik napas panjang, lalu matanya menerawang sejenak. Dan meluncurlah jawaban atas pertanyaan tersebut yang menyatakan bahwa dia pernah meneteskan air matanya saat menulis beberapa kisah dalam buku tersebut. Seperti dalam cerpen “Donat Kentang”, saat adegan seorang anak yang berhasil meyakinkan ibunya ketika harus mengambil sebuah keputusan berat, namun anaknya begitu tegar dan yakin bahwa semua itu atas kehendak Allah SWT. Kemudian dalam “Impian Azizah” saat seorang perempuan yang menjadi tenaga kerja di Timur Tengah. Tapi, ketika tiba kepulangannya ke tanah air, bukan disambut oleh mekar dan harumnya bunga melati atau mawar di pekarangan, namun oleh aroma yang menusuk hidung dari potongan daun pandan yang melingkari jasad putranya yang masih balita.
Dalam sesi tanya jawab ini moderator pun memberikan beberapa pertanyaan yang berhubungan dengan profil penulis mulai dari tanggal lahir dan beberapa hal yang berhubungan dengan isi dalam buku Senyum Nolina. Semua penanya dan yang menjawab pertanyaan dari moderator dan penulis mendapatkan kenang-keangan berupa pin dan buku.
Sebelum kegiatan berakhir Penulis menyerahkan sebuah kenang-kenangan berupa Buku “Senyum Nolina” kepada Kepala Madrasah. Kegiatan pun berakhir pada pukul  13.30 WIB dengan ditutup doa yang dipimpin oleh ustaz Wandi Setiabudi, S.Pd.I. []


Cianjur, 1 November 2015


Kamis, 29 Oktober 2015

[ARTIKEL] ANTARA KESIBUKAN DAN MINDSET

ANTARA KESIBUKAN DAN MINDSET
Oleh: Dedi Saeful Anwar




Minggu ini ada beberapa yang hal harus dikerjakan. Selain kegiatan rutin mengajar di dua sekolah (MTS dan SD), kegiatan temporal dan kegiatan menulis ---sebetulnya masih malas-malasan alias belum menjadi pilhan utama selain kegiatan mengajar-- yang membutuhkan konsentrasi.
Bagiku menulis sebenarnya menjadi satu kegiatan yang memiliki passion tesendiri, namun begitu sulit membagi waktunya. Bila pulang tugas mengajar sore hari, tentu menguras energi baik tenaga maupun pikiran. Bila saat tugas di sekolah lancar mungkin saat datang ke rumah tidak terlalu menguras energi. Lain soal bila di sekolah menemukan beberapa hal atau masalah. Semisal siswa berkali-kali tidak mengerjakan PR atau tugas. Siswa bermasalah dengan siswa lain atau dengan orang tuanya sehingga sekolah (guru) harus turun tangan. Tentu hal ini akan menambah beban jika tidak pandai mengatur emosi dan menjaga kondisi. Salah menempatkan bisa-bisa masalah di sekolah terbawa ke rumah.
Sesampainya di rumah, tentu pekerjaan lain pun sudah menunggu. Anak ada PR. Menjaga kondisi rumah dengan istri agar tidak berantakan karena kami belum mempunyai pembantu/asisten RT. Sementara anak-anak belum paham atau disiplin dalam kebersihan dan kerapian rumah. Salah-salah hal kecil pun bisa menimbulkan konflik baik dengan istri maupun anak.
Belum lagi jika ada anak yang sakit atau selalu melanggar aturan keluarga. Hal-hal itu tentu akan mengurangi mood untuk menulis. Ketika anak-anak sudah tidur seringkali ada niat untuk menyalakan komputer/PC lalu menulis ide yang ditangkap dari pagi hiongga siang/sore hari. Hal itu tidak serta-merta lancar dan mudah untuk dituangkan. Selain ide tersebut keburu hilang dan menguap, terkadang rasa kantuk yang berat menyerang mata karena kelelahan. Tak jarang malah tidur karena memang mata sulit dibuka.
Kembali pada soal kegiatan. Dengan banyaknya kegiatan tentu akan menguras daya pikir dan konsentrasi. Nah, dalam minggu ini tiga hari berturut-turut melakukan pekerjaan dengan hasil yang dirasakan kurang maksimal yang diakibatkan telat tidur. Mata bisa terpejam lewat jam dua dini hari. Sementara esok hari sebelum jam 7 harus sudah memulai lagi aktivitas hingga menjelang senja pulang. Bahkan dua hari tesebut sejak pagi harinya sudah melakukan kesalahan dan kekeliruan. 
Beruntuk pada hari ke-empat ada jeda libur Peringatan Hari Santri Nasional yang jatuh pada tanggal 22 Oktober. Namun walau ada kesempatan untuk istirahat (colongan) tetap saja ada kegiatan yang harus diselesaikan. Dengan demikian istirahat untuk memulihkan kondisi badan yang kelelahan urung dilaksanakan. Malamnya pun tidur kembali telat.
Tetapi aneh bin heran. Di hari ke-lima akivitas mengajar malah dirasakan nyaman dan enjoy. Walau pun badan masih tetap dirasakan kurang fit dan mata masih diarasakan sepet karena kurang tidur berhari-hari.

Saat mengajar di kelas 4—kebetulan hari Jumat saya mendaat jadwal mengajar Bahasa Inggris di sekolah dasar. Setelah menyapa dengan sapaan “Good morning, students” seperti biasa murid-murid menyapa antusis dengan jawaban “Good morming, Mr.”
Lalu kulanjutkan dengan How are you today?” mereka apun mejawab’ “I’m fine thank you. And you?”
“I’m verry well. Thank you.” Jawabku.
Setelah berdoa dan mengabsen aku berinisiatif mengajak peserta didik untuk bernyanyi lagu yang seminggu sebelumnya disampaikan “Are you sleeping?”. Walau ada beberapa peserta didik yang tidak disiplin dan tidak memerhatikan namun tidak mengganggu sebagian besar speserta didik yang duduk rapi di bangkunya masing-masing.
Hampir semua semangat dengan suara lantang mereka bernyanyi. Akhirnya yang tidak duduk rapi itu mengikuti kegiatan teman-temannya yang menyanyi kompak.
Setelah diraskan cukup menghangatkan susana, kau belum menyuruh peserta didik mengeluarkan alat tulis. Tiba-tiba saja energi pun muncul dengan meluap-luap. Aku lupa dengan mata yang perih dan tenggorokan agak gatal dan kering--- sepertinya pilek gegara angin malam mulai menyerang.
Aku mengajak peserta didik untuk melakukan gerakan tepuk tangan. Saat aku mengatakan “tepuk sekali” peserta didik bertepuk tangan sekali. Berturut-turu kuperintahkan, hingga kuucapkan kalimat “tepuk lima kali”. Anak-anak pun bertepuk lima kali tepukan.
Setelah itu, kegiatan belum selesai. Aku perintahkan mereka berhadapan dengan teman sebangkunya masing-masing. Lalu menepukkan tangannya sendiri setelah itu menepukkan ke telapak tangan teman yang berada dihadapannya (temen sebangku) kalau menepukkan tangan sediri sekali, lalu menepukkan ke telapak tangan temannya pun sekali saja. Begitu terus hingga tepuk tangannya lima kali. Kegiatan itu dilakukan 2 kali berturu-turut.
 Dan setelah dirasa semua anak antusias dan daya konsentrasinya terpancing, artinya tidak ada yang ke luar bangku, tidak ada yang jail pada temen di belakang, di hadapan dan di samping, barulah aku menyuruh mereka mengeluarkan buku catatan.
Kegiatan 2x35 menit pun berjalan sukses tanpa hambatan. Semua siswa antusias hingga pembelajaran ditutup dengan bernyanyi dan bertepuk tangan kembali.
Dengan demikian, selelah dan sepenat apapun dirasakan oleh tubuh dan pikikiran kita, jika pola pikir kita positif dan enjoy, insyaAllah segalanya akan mudah dan lancar. Dan tentu saja ada nilai plus yang tidak bisa ditukar dengan hal apa pun, yaitu keikhlasan dan selalu bersyukur.
Wallahua’lam bishawab.



Cianjur, 23 Oktober 2015

Sabtu, 24 Oktober 2015

[RESENSI] MENGARUNGI LABIRIN KEHIDUPAN





MENGARUNGI LABIRIN KEHIDUPAN*)

Judul Buku                : Laki-Laki yang Tidak Memakai Batu Cincin
Kategori                     : Kumpulan Cerpen
Penulis                        : Badaruddin Amir
Penerbit                      : FAM Publishing
ISBN                           : 978-602-335-023-0
Tahun Terbit             : Cetakan Pertama, Maret 2015
Tebal                         : 176 Halaman; 14x20 cm


Buku yang berisi tujuh belas cerpen ini begitu memukau dan sarat perenungan. Di setiap kisahnya Badaruddin Amir---penulis kumcer ini, begitu lihai meracik kata per kata menjadi untaian kalimat yang bertabur makna.
Di setiap paragraf pembaca akan disuguhi kalimat-kalimat lezat yang bertabur deskripsi indah. Pembaca seolah berada di dalam gelombang teka-teki dan lautan pertanyaan. Ke mana kisah ini berujung, mengapa hal itu bisa terjadi serta pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya pembaca sendiri bisa menjawab dan menyimpulkannya.
Setiap pembaca akan diajak tersenyum manis namun tak lama kemudian garis bibir akan segera berubah miris, lalu tertawa, merinding, hingga menangis. Kita akan melihat dan merasakan berbagai kelucuan dan keluguan, lalu  dibawanya kepada hal-hal absurd bahkan sedikit berbau erotis. Hemmm...buku yang benar-benar lengkap dan membuat pembaca tak akan rela bila ketinggalan lembaran-lembaran berikutnya hingga lembar terakhir.
Di halaman pertama pembaca akan mulai diajak berkelana dalam sebuah kisah dengan judul yang cukup panjang, “Menghitung Batu-batu yang lepas dari Aspal Jalanan”. Di dalamnya mengisahkan sebuah daerah tertinggal yang memiliki jalur transportasi buruk, tetapi sumber daya alamnya terus dikeruk tanpa memikirkan ceruk-ceruk becana alam yang mengintai kapanpun juga siapapun. Untaian kisah berlanjut pada  “Kemiri (1)” dan  “Kemiri (2)” yang bercerita kesederhanaan hidup di sebuah kampung yang menghasilkan kemiri dengan deskripsi indah. Pesan kuat di dalamnya adalah jangan pernah menganggap rendah orang lain dan jangan berprasangka buruk kepada orang lain yang ternyata malah orang yang kita nilai buruk ternyata berhati mulia.
Daya pikat untaian kalimat kembali berlanjut pada “Sahabat Penting Kami dari Masa Kanak”. Sebuah kisah yang menuturkan sikap lupa diri seorang manusia yang silau dengan kemilau dunia. Pendidikan tinggi tidak serta merta menjadikan manusia memiliki akhlak mulia. Sebuah kisah lain dari hiruk pikuk dunia politik yang mengantarkan seorang anak manusia ke balik jeruji.
Kisah-kisah anak manusia dengan berbagai konflik kehidupan dan pernak-pernik dunia kembali hadir dan mencengangkan dihadirkan dalam runtutan cerpen berikutnya. Fenomena batu akik yang mengubah tatanan kehidupan masyarakat kita akhir-akhir ini disindir dengan cerdas dalam “Laki-laki yang Tidak Memakai Batu Cincin”. Kemudian, kisah yang sedikit menerbitkan bulu kuduk dapat disimak dalam“Emilia” yang hadir begitu apik dengan ending yang benar-benar manis merinding.
Impitan berbagai persoalan kehidupan muncul dengan kental adalam “Dia Berenang Terus”. Mengarungi kehidupan ibarat kita berenang di tengah badai serta airlaut, dalam gelap keadaan malam mencekam.
“....ia memang harus berhati-hati karena kesalahpahaman bisa terjadi. Dan alangkah banyaknya korban salah paham, salah tangkap dan belakangan salah tembak ....” demikian sebuah penggalan dalam  kisah “Dia Memanjat Terus”, menyindir sikap aparat negeri ini yang seringkali membuat geram dunia hukum.

Bahwa masyarakat kita ini adalah masyarakat yang lemah, yang seringkali mudah terhasud oleh pemberitaan yang belum tentu jelas benar kejadiannya. Kita teramat sering dimakan isu murahan dan kacangan. Sentilan ini hadir dalam cerpen “Kucing”. Sedangkan dalam  “Mercon Ramadan” dan “Tlit...Tit di Akhir Ramadan” mengajak kita untuk merenungkan berbagai hal yang kerap hadir di bulan yang penuh berkah.
Kisah berbeda muncul dalam “Ayahku Seorang Lelaki Malam”. Teka-teki siapa sebenarnya Ayah si tokoh utama dalam kisah tersebut membuat pembaca sedikit mengernyitkan dahi. “...Siapa  ayah kami memang selalu menjadi pertanyaan tak terjawab hingga adikku menjadi kanak-kanak. Apakah ayah adikku juga adalah ayahku? Semuanya menjadi misteri....”
            Selanjutnya kelucuan akan muncul dalam “Kandang Ayam” dan “Iseng”. Hal-hal sederhana bisa menjadi unik dan menarik. Penulis berhasil mengulik kisah-kisah menggelitik membawa pembacanya benar-benar tersenyum.
Rasa satra yang kental lalu hadir dalam “Matahari Dimakan Rayap pada Suatu Senja” seperti dalam kalimat di halaman 146 berikut ini ....” usai ritualisasi itu, rayap rayap raksasa itu kemudian ramai ramai memakan matahari dengan rakusnya. Matahari pun luka dan berdarah. Ceceran darahnya menetes ke laut hingga membuat laut jadi merah”. Sebuah keindahan merangkai kata yang memukau.
“Tak Ada Euphimisme untuk Tahi” sebuah kisah tentang hal yang sering luput dari perhatian kita. Dengan tidak bermaksud jorok ataupun menghadirkan rasa jijik terhadap kotoran. Sementara itu kisah yang menghadirkan sebuah proses membangun usaha dan meningkatkan kepercayaan diri hadir dalam Senyum dan Tawa”.
Secara keseluruhan dalam dalam buku kumpulan cerpen ini penikmat akan disuguhi berbagai ending yang mengejutkan ibarat mengarungi labirin kehidupan. Teka-teki selalu merajai kalimat demi kalimat. Dari awal kisah ini penulis membangun simpati dan empati namun tetap diselimuti misteri. Membaca buku ini menerbitkan perenungan mendalam terhadap hal yang sering dianggap sepele. Tak jarang sesekali diberi ending yang membuat tersenyum kisah-kisah di dalam beberapa cerpen. Sehingga tidak menumbuhkan rasa bosan untuk terus melahap buku ini hingga di halaman terakhir. Keliaran imajinasi penulis yang telah banyak menerima penghargaan juga merupakan seorang guru ini tampak mendobrak batas-batas kemustahilan. []

Cianjur, 13 Oktober  2015

*) Dimuat di Harian Singgalang, Padang, Sumatera Barat.
     Minggu, 25 Oktober 2015


Rabu, 21 Oktober 2015

[BERITA] Pemenang Lomba Resensi Buku terbitan FAM Publishing 2015



Nama-nama Pemenang Lomba Resensi Buku terbitan FAM Publishing (Divisi Penerbitan FAM Indonesia). 


JUARA 1
Dedi Saeful Anwar (Bandung)
Judul Resensi: “Metamorfosa Seorang Gadis Desa”

JUARA 2
Ken Hanggara (Surabaya)
Judul Resensi: “Kisah Panjang Pencarian Jati Diri”

JUARA 3
Intan Puspita Dewi (Jakarta)
Judul Resensi: “Hidup, Cinta dan Perjuangan”


Sebagai tanda apresiasi, FAM Indonesia memberikan Hadiah sebagai berikut:

JUARA 1
- Uang Tunai Rp500.000,- 
- Paket Buku terbitan FAM Publishing
- Piagam Penghargaan

JUARA 2
- Uang Tunai Rp300.000,-
- Paket Buku terbitan FAM Publishing
- Piagam Penghargaan

JUARA 3
- Uang Tunai Rp200.000,-
- Paket Buku terbitan FAM Publishing
- Piagam Penghargaan



Sumber: http://www.kabarancak.com/2015/08/pengumuman-pemenang-lomba-resensi-buku.html

BEDAH BUKU "SENYUM NOLINA"


Dalam rangka memperingati hari Sumpah Pemuda ke-87, ikuti dan hadiri kegiatan “Bulan Bahasa Al Mizan”!

Dengan acara menarik berupa bedah buku “Senyum Nolina
Karya: Dedi Saeful Anwar.
Acara akan dihadiri oleh:
Iwan B. Setiawan (Ketua Komunitas NINABobo/Dewan Kesenian Cianjur),
De Minnie (Pengurus FAM Jabar)
Pelaksanaan:
Sabtu, 31 Oktober 2015
Waktu: Pukul 08.00 s.d. selesai

Tempat: MTs. Al Mizan Kec. Cilaku, Cianjur-Jabar.

Rabu, 08 Juli 2015

[ARTIKEL] NGUPAT

NGUPAT*)
Oleh: Dedi Saeful Anwar


Lebaran sebentar lagi
Berpuasa sekeluarga
Sehari penuh yang sudah besar
Setengah hari yang masih kecil
Alangkah asyik pergi ke mesjid
Solat tarawih bersama-sama
... ...
Penggalan lirik lagu “Lebaran” dari grup musik legendaris asal Bandung, Bimbo, sudah sangat jarang terdengar. Kini telah banyak lahir lagu-lagu reliji baru, baik dari grup-grup band maupun grup-grup nasyid. Walau terkadang merasa aneh juga, lagu reliji tapi personil grupnya beranting.
Namun, sekalipun diserbu lagu-lagu baru, lagu Bimbo seperti contoh di atas selalu menghadirkan aura lain. Selain lagu Bimbo tadi, ada hal lain yang tak bisa dipisahkan dengan Lebaran. Yaitu, tradisi "Ngupat".
Siapa yang tak kenal, tak tahu atau tak pernah mencicipi kupat*)? Bisa dipastikan kupat bukan hal yang aneh untuk dibahas. Kala Lebaran menyapa, hidangan kupat seolah menu wajib. Sejak kecil dulu hingga sekarang, tanpa kupat rasanya belum Hari Raya. 

Tetapi, tentunya setiap daerah atau pun di negara lainnya, juga memiliki makanan khas yang disajikan saat Hari Lebaran. Tidak hanya kupat. Bila berbicara tentang kupat, makanan khas ini Lebaran paling pas jika disajikan dengan opor ayam lalu dinikmati beramai-ramai dengan seluruh keluarga. Ibarat ponsel dengan kartunya, atau perangko dengan amplopnya. Kupat dan opor adalah sejoli paling serasi.
Untuk membuat kupat kini tak perlu repot-repot. Penjual cangkang  kupat biasanya sudah banyak berjajar di pinggir-pinggir jalan di saat menjelang berakhirnya Ramadan. Tinggal merogoh kocek beberapa lembar uang seribuan, dan cangkang kupat pun siap diisi beras lalu direbus. Hidangan kupat siap disantap. Tanpa kupat lebaran terasa belum lengkap walau berkumpul dengan keluarga.
Jika memutar jarum ke masa lalu, saat mendekati lebaran, antara dua atau satu hari lagi, ibu sering menganyam sendiri cangkang kupat. Sambil menemani ibu menganyam, aku sering memerhatikan tangan beliau yang lihai dan terampil menyulap tiap helai janur menjadi berpuluh cangkang kupat nan cantik. Perpaduan warna hijau muda kekuningan. Lalu, dari pada bengong akhirnya aku pun tertarik untuk belajar pada ibu, membuat cangkang kupat. Hingga berhasil membuat beberapa cangkang kupat*). Walau tak seindah dan serapi buatan ibu, tapi hal itu menghadirkan pujian lembut ibu meluncur dari mulutnya.

Membuat cangkang kupat tentu lebih sensasional. Dari mulai membeli janur (daun kelapa muda), lalu menganyamnya. Selain menghemat biaya dan mengasah kreativitas, juga sekalian "ngabuburit". Dan yang lebih esensi lagi adalah menjaga tradisi, sebelum cangkang kupat dan "ngupat"*) diakui negeri lain.[]


Cianjur, 5 Juli 2015

*)Kupat (Sunda) = ketupat
Kupat = leupeut nu dibungkusan ku kantong janur meunang nganyam, bangunan pasagi burung.
*) Ngupat =  nyieun kupat (membuat ketupat)
*)Cangkang kupat = janur nu dianyam nu jadi pamungkus eusi kupat, sok disebut oge urung kupat. (janur yang di anyam yang jadi pembungkus isi ketupat, sering juga disebut urung ketupat)
---




Minggu, 05 Juli 2015

[ARTIKEL] NGUEH

NGUEH*)

Oleh: Dedi Saeful Anwar


sumber gambar: google

Jalan Ramadan semakin menurun. Tidak lama lagi akan meninggalkan kita. Sepuluh hari di bagian ke-dua pun akan beranjak ke sepuluh hari bagian ke-tiga.
Hajat setiap ummat tentu semakin kuat. Ada yang likat terus meningkatkan semangat ibadahnya, tak sedikit pula yang malah melipat tikar, mengejar berbagai ingar-bingar. 
Persiapan mudik, berbelanja kebutuhan barang-barang yang serba baru (yang sebenarnya tidak terlalu perlu) yang penting ibadahnya khusyu. Namun itulah tradisi. Ibarat benteng kokoh yang mengungkung diri, seolah-olah hal itu musti dipenuhi.
Berbicara akhir Ramadan, tentu aroma Lebaran semakin kental. Bila hari kemenangan kian dekat bisa dipastikan hidung yang sedang berpuasa mengendus bermacam aroma yang ke luar dari atap-atap rumah. Biasanya para ibu mulai disibukkkan dengan membuat beraneka kue untuk menyambut hari raya. Tradisi inilah yang tidak bisa dilepaskan dengan Ramadan dan Lebaran. Ya, tradisi "Ngueh". 
Saat kecil dulu ada beberapa penganan yang aromanya benar-benar menggoda keteguhan masa-masa belajar berpuasa. Namun, tentu kue-kue zaman dahulu dengan kue saat ini sudah ada perbedaan. Saat itu aku tidak mengenal nastar, putri salju, brownies, muffin, atau pun kue aneh lainnya. Dahulu ibu paling banter sukanya membuat keripik ketan hitam, peuyeum ketan hitam, ranginang (rengginang), dan yang sedikit modern (berbahan terigu) kala itu hanya kue semprit yang kukenal. Kalaupun ada bolu, bisa dipastikan teksturnya padat, tidak empuk seperti bolu-bolu saat sekarang ini.
Nah, dua penganan/kue yang kusebut di awal itulah yang mengundang hidung benar-benar tak berdaya. Bagiku saat ibu mengukus tepung ketan (untuk keripik) dan beras ketan (untuk peuyeum), godaan aroma wangi dari aseupan (pengukusan) menusuk-tusuk rongga hidung. Membuat ngeces hingga perut melilit. Dengan bijaksana ibu menyisihkan sedikit kedua bahan penganan itu ke piring kecil (pisin) untuk kucicipi saat berbuka.
Padahal ketika Magrib/waktu berbuka tiba aroma kedua penganan itu sudah tak sewangi sebelumnya. Selain sudah menjadi dingin, perut yang sudah terisi pun menjadikan penganan itu tentunya tak lagi begitu menggoda. 
Ramadan saat ini semakin di ujung, namun aroma-aroma kue tradisional itu tak lagi mengguncang rongga hidung. Kini aroma-aroma itu telah tergantikan dengan aroma kue-kue yang sudah keren dan moderen. Padahal rasa kangen selalu mengetuk pintu angan. [dsa]


Cianjur, 5 Juli 2015

---
*) membuat kue (Sunda).
*) nyieun kueh (Kamus Bahasa Sunda, R.A. DANADIBRATA hal. 369. Kiblat, Desember 2009)

Sabtu, 04 Juli 2015

[ARTIKEL] CATATAN DARI KEGIATAN BEDAH BUKU DAN DISKUSI MENULIS FAM WILAYAH JABAR-BANTEN

CATATAN DARI KEGIATAN BEDAH BUKU DAN DISKUSI MENULIS FAM WILAYAH JABAR-BANTEN
Oleh: Dedi Saeful Anwar *)
                                                                      

Berfoto bersama usai kegiatan.
                                                                      
Setiap momen Ramadan tentu menghadirkan berbagai kisah dan cerita tersendiri bagi setiap diri yang menjalani. Demikian pula pada Ramadan kali ini. Sebagai salah satu upaya untuk menjadikan bulan suci sebagai bulan penuh berkah maka FAM Wil Jabar-Banten bekerja sama dengan Taman Baca Masjid Agung (TBMA) Cianjur mengadakan kegiatan yang bertitel “Bedah Buku dan Diskusi Menulis”.
Kegiatan berlangsung santai namun hangat dan penuh keakraban di beranda TBMA. Selain dihadiri para pelajar dan pengunjung TBMA acara ini juga dihadiri tiga orang kontributor yang karyanya berada dalam buku “Sepenggal Kisah di bulan Suci” terbitan FAM Publishing ini. Mereka mewakili sejumlah penulis  yang tergabung dalam Antologi FTS dan Prosa Liris yang terbit Maret 2014 silam. Di antaranya adalah De Minnie, Azxa dan saya sendiri.
Selain itu kegiatan semakin hangat dengan kehadiran penulis yang tulisannya banyak menghiasi beberapa koran daerah dan nasional Irwan Sandza serta penyair dan sastrawan kawakan dari Tatar Cianjur sekaligus Pendiri Komunitas NINABobo, Iwan B Setiawan.
Diawali dengan pembukaan oleh moderator--- De Minnie, kemudian kegiatan berlanjut pada sesi pemaparan nara sumber. Pada sesi ini dipaparkan tentang proses awal pengumpulan dan penyeleksian naskah hingga proses penerbitan buku. 
Buku dengan ketebalan 150 halaman dalam dimensi 13x20 sentimeter ini berisi tulisan-tulisan menarik tentang muhasabah. Berisi kisah-kisah yang membawa pembacanya merenung bahwa ternyata dari setiap peristiwa yang diberikan Allah Swt kepada ummatnya selalu diikuti dengan hikmah. Para penulis dalam buku tersebut mengulas peristiwa baik yang dialaminya sendiri maupun pengalaman anggota keluarga tercinta. Hingga beberapa keharuan menghadirkan embun-embun bening di ujung netra. Setiap jengkal kalimat yang dituturkan penulis mampu menghentak jiwa bahwa ternyata setiap diri kita adalah makhluk lemah yang tiada daya dan upaya selain berharap pada pertolongan dan hidayah-Nya.
De Minnie dalam kisahnyaTamu di Penghujung Usiamenuturkan kepedihan seorang cucu perempuan yang kehilangan kakeknya. Kemudian Yusrina Sri, penulis dari Kab. Pesisir Selatan, Sumbar, mengisahkan “Doa Orang yang Teraniaya”. Allah menjanjikan bahwa doa hambaNya yang teraniaya tidak memiliki sekat dan batas apapun dengan diriNya. Lalu, Ade Ubaidil penulis enerjik dari Cilegon, Banten menuturkan tentang luka jahit di pelipis kirinya menjadi saksi bisu, dan teguran dari Allah Swt di saat menjalani ibadah pada bulan Ramadan.
Selain itu yang tak kalah mengharukan kisah detik-detik menantikan buah hati seperti yang dituturkan Nuryaman Emil Hamzah penulis dari Ciamis yang sekarang bermukim di Pandeglang, Banten. Bayang-bayang kematian istri dan bayi yang berada di dalam kandungan istrinya musnah seketika saat berserah dan pasrah kepada Allah Swt. Operasi persalinan dan besarnya biaya, semuanya sirna. Istri dan anaknya selamat lahir tanpa operasi dan biaya tak sampai 10% dari biaya operasi. Dalam kisah “Kemudahan di Balik Kepasrahan”.
Selanjutnya dalam sesi ke-dua yaitu diskusi menulis, acara berlangsung semakin hangat. Ditingkahi embusan angin senja yang turut hadir serta daun-daun trembesi yang berjatuhan diterpa angin, dalam sesi diskusi menulis terjadi komunikasi langsung. Moderator memberikan kesempatan kepada audiens untuk tanya jawab. Mulai dari proses kreatif sebuah tulisan, bagaimana cara menghadapi kebuntuan ide, lalu cara membangkitkan semangat menulis yang mandeg hingga cara membuat sebuah tulisan itu mampu menghadirkan daya tarik bagi pembacanya hingga pembaca tersebut merasa puas dengan sebuah karya tulis.
Bahwa seorang penulis itu adalah seorang yang harus mampu membaca. Bukan hanya membaca sebuah buku atau tulisan di atas selembar kertas saja. Tetapi seorang penulis diharapkan mampu membaca hal-hal yang terjadi di hadapannya dan membaca alam sekitarnya. Kembali kepada “iqra”, demikian penuturan Iwan. B Setiawan.
Kemudian tips atau trik di saat menghadapi kebuntuan ide atau semangat menulis, kita diusahakan untuk mencari suasana baru. Bisa dengan membaca refereansi buku-buku lain, mengunjungi tempat-tempat wisata atau tempat yang bisa mendatangkan ketenangan sehingga pikiran menjadi segar kembali.
Ramadan adalah bulan yang penuh dengan peristiwa yang menarik untuk disimak bahkan di dalamnya bertebaran ide untuk menulis. Contohnya mulai dari suasana bangun dini hari lalu menyantap hidangan sahur, baik dengan keluarga maupun di tengah-tengah lingkungan pesantren. Kemudian saat tadarus, mengikuti kegiatan kuliah subuh, pesantren kilat, “ngabuburit” bahkan di saat berbuka puasa atau tarawih pun bisa menjadikan ide untuk menghasilkan sebuah tulisan.
Lalu, siapkan alat tulis dan secarik kertas bila tidak ada buku kecil. Atau media handphone untuk mencatat ide yang tiba-tiba hadir. Hal itu untuk menjaga seandainya sewaktu-waktu kita lupa akan ide yang pernah terlintas. Lalau kembangkan menjadi sebuah tulisan di kesempatan lain yang lebih memunkinkan waktunya untuk menyelsaikan sebuah tulisan atas ide tersebut. Demikian nara sumber menuturkan pendapatnya dalam mengangkat tema tulisan.
Menulis asdalah proses kreatif atas apa yang didengar, dilihat, dan apa yang terjadi di sekitar kita. Sehinga muncul kekuatan menulis berdasarkan rasa empati yang muncul dalam diri.
Demikian paparan hasil bedah buku dan diskusi menulis yang diselenggarakan oleh FAM Wilayah Jabar-Banten dan TBMA-Cianjur. Semoga bermanfaat. Terima kasih kepada Ketua Umum (Muhammad Subhan) dan Sekretaris (Aliya Nurlela) yang tak henti memberikan semangat serta dukungan morilnya. Pengurus TBMA (Teh Defa beserta jajarannya), Sang inspirator  Ayah Iwan B. Setiawan, Irwan Sandza, Kang Asep, juga tak lupa De Minni yang selalu menghadirkan suasana seru dan ceria di setiap kehadirannya serta seluruh audiens yang telah berkenan hadir dalam kegiatan tersebut.
Wallaha’lam bishawab.



Cianjur, 1 Juli 2015

Lihat juga:
http://www.famindonesia.com/2015/06/catatan-dari-bedah-buku-dan-diskusi.html

Senin, 29 Juni 2015

[ARTIKEL] SEMANGAT MENULIS DI BULAN SUCI

SEMANGAT MENULIS DI BULAN SUCI
Oleh: Dedi Saeful Anwar


Setiap ummat Islam tentunya mendapat perintah dari Allah SWT untuk menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadan. Bulan suci yang penuh berkah dan ampunan. Karenanya, bagi setiap ummat muslim yang taat dan yang telah mengetahui kemuliaan bulan yang disebut pula dengan istilah “bulan seribu bulan” ini tentu akan berlomba berbuat kebaikan dan menjalankan ibadah dengan penuh kehusyukan.
Oleh karenanya, tentu pada setiap diri yang menjalankan berbagai kegiatan yang berhubungan dengan ibadah pada bulan suci ini akan menghadirkan berbagai kisah dan kejadian. Baik yang unik, seru, menggembirakan atau mengharukan.
Tentu pula semua kejadian tersebut akan menghadirkan bermacam gambar dan cerita menarik pada tiap-tiap lembar kertas kenangan yang tak akan pernah terulang kembali. Kisah yang akan terus bersemayam dalam benak hingga menjadi sebuah bahan yang bisa dijadikan cerita menarik di masa mendatang.
Dengan demikian, semua penggalan kisah dan kejadian selama satu bulan tentu akan menjadi inspirasi bagi setiap diri untuk menuangkannya ke dalam karya tulis. Kita bisa menuliskan kisah-kisah tersebut dalam berbagai bentuk karya tulis. Baik kisah nyata/fts, prosa liris, puisi, cerpen, novel atau karya tulis dalam bentuk lainnya seperti esai/artikel.

Menangkap Ide yang Datang Tiba-tiba
Dalam menulis setiap orang tentu membutuhkan ide atau tema untuk ditunangkan menjadi sebuah karya tulis. Lalu ide seperti apa yang bisa kita tulis? Terkadang di antara kita sering merasa kesulitan untuk mendapat atau menangkap ide. Padahal apa yang kita lihat, kita dengar, kita rasakan (di sekitar kita) dan yang kita lakukan itu semua merupakan bahan atau ide yang bisa dijadikan sebuah atau beberapa tulisan.
Rangkaian ibadah atau bermacan kegiatan di bulan suci tentunya sangat beragam, seperti: salat tarawih berjamaah, tadarus, makan sahur, mengikuti kegiatan kuliah subuh, ngabuburit, saat berbuka puasa dengan keluarga atau dengan teman sekolah/rekan kerja.
Bisa juga kejadiaan saat di mana kita sedang berangkat ke sekolah/pengajian, sedang bermain atau bekerja bahkan saat kita menonton acara tv, mendengarkan siaran radio atau membaca sebuah buku pun bisa menghadirkan berbagai ide dan menjadikannya sebagai sumber atau bahan untuk menulis. Semua itu akan menghadirkan puzle-puzle indah untuk disusun menjadi sebuah untaian kisah indah dan memulas seulas senyum manis di saat mengenangnya kelak.
Jadi, tidak ada alasan bagi setiap diri (apalagi bagi yang hobi menulis) untuk kehabisan ide dalam menulis. Menulis selain sebagai terapi bagi seseorang untuk menjaga ketajaman berfikir tentu akan menjadi sebuah kegiatan yang menarik dan bisa dijadikan menjadi salah satu kegiatan yang sangat positif dalam momentum Ramadan ini.

Media untuk Menulis Ide yang Datang Tiba-tiba
            Kemudian, apa yang musti kita lakukan setelah ide itu kita temukan.  Jangan kita menjadi terpaku dan kebingungan. Langsung saja kita tangkap ide tersebut dengan menuliskannya dalam bermacam media. Jika ada buku dan pulpen jangan tunggu lama-lama, tulis saja langsung. Bisa beberapa kata atau kalimat. Nanti pada suatu kesempatan yang lebih santai bisa kita kembangkan ide tersebut. Mungkin ketika jam istirahat di sekolah atau di tempat kerja. Atau di rumah saat kita ingin lebih fokus dengan ide yang sudah hadir tersebut.
Lantas jika tidak ada buku, hanya ada secarik kertas bekas bon penjualan, why not/ Mengapa tidak. Saya sering menuliskan beberapa ide yang muncul saat sedang di perjalanan---ketika berkendaraan roda dua, saya berhenti terlebih dahulu di tempat yang aman sejenak dan langsung menuliskannya walau hanya dalam potongan sebuah amplop atau kertas bekas.
Kemudian bagaimana jika buku atau kertas secuil pun tidak ada? Jangan bingung-bingung. Pergunakan hp/ponsel. Zaman serba gadget ini hampir dipastikan setiap orang memilikinya, tak terkecuali anak es-de semua kini memakai gadget. Semua kini serba gadget. Tukang sayur santai mojok dengan ponselnya, sementara roda sayurannya dikerubuti oleh ibu-ibu atau asisten rumah tangga. Petani yang sedang menggembalakan itiknya di sawah, dia santai bercengkrama dengan seseorang lewat hape-nya di bawah pohon petai cina. Sementara itiknya sibuk mencari makanan di tengah sawah, tak peduli kemana mereka berjalan.
Jadi, bagi yang hobi menulis, semua media bisa dipergunakan semaksimal mungkin. Tangkap ide tersebut lalu catat dalam telepon genggam lalu save di dalam pesan tak terkirim atau catatan khusus.
Bahkan sekarang banyak ponsel yang langsung terkoneksi dengan internet. Kita bisa langsung mengakses media sosial yang kita miliki. Kita tangkap dan catat langsung berbagai ide yang hadir dalam catatan pribadi. Suatu saat jika memungkinkan kita bisa mengembangkan berbagai ide yang telah kita tangkap tersebut menjadi berbagai karya tulis.
Cara terakhir itulah yang sekarang sering digunakan oleh saya. Mengapa demikian? Pernah suatu ketika saya sudah mencatat di dalam catatan ponsel/telepon genggam. Tanpa disadari juga mungkin sedang kalut, akhirnya catatan itu terhapus semua tanpa ampun. Hilanglah ide-ide itu dalam sekejap. Kecewa? Tentu saja. Namun kita tentu tidak baik berlarut-larut dalam rasa kecewa. Semua ada hikmah di balik setiap peristiwa. Dan sejak itu, saya lebih berhati-hati lagi dalam mencatat setiap file/data yang berhubungan dengan ide atau bahan menulis yang ditemukan atau hadir secara-tiba-tiba.
Semoga bulan suci Ramadan ini bisa menjadikan kita semakin terpacu lagi dalam menulis. Mari kita bersama mengukir pena untuk mengasah ketajaman berfikir dan menjadikan tulisan sebagai media daqwah bil qolam. Tunggu apa lagi. Ayo, kita menulis mulai sekarang! Sampai jumpa di lain kesempatan dengan tema yang berbeda. Terima kasih.
Wallahua’lam bishawab.

Cianjur, 29 Juni 2015

Salam santun.

Catatan: Disampaikan pada Kegiatan Bedah Buku 'Sepenggal Kisah di Bulan Suci" dan Diskusi Menulis, Tema: Semangat Menulis di Bulan Suci". Tempat: Taman Bacaan Masjid Agung (TBMA) - Cianjur. Selasa, 30 Juni 2015.

Rabu, 20 Mei 2015

[ARTIKEL] ACARA-AN

ACARA-AN

Oleh: Dedi Saeful Anwar

Kalau kita simak dan telah judul di atas tentu terasa rancu. Tetapi bila mendengar kata makanan, minuman, mingguan dll, tentu bukan hal aneh atau rancu. Namun saat mendengar atau mengucapkan kata “acaraan” tentu akan mengernyitkan dahi bagi siapa pun yang mendengar maupun mengucapkannya.
Pun begitu dengan saya. Hari ini, Sabtu, 8 Mei 2015 saya mendengar istilah tersebut. Bila kita membuka tata bahasa Indonesia pembentukan kata benda dari kata kerja dengan menambahkan imbuhan –an, seperti makan menjadi makanan dan minum menjadi minuman tentu mudah dan memang begitu secara teori tata bahasa. Kata kerja di beri imbuhan –an, menjadi bentukan kata yang baru yaitu menjadi kata benda.
Tetapi kalau acara (kata benda” ditambah dengan imbuhan “-an” tentu tidak sesuai dengan kaidah Bahasa Indonesia yang baik dan benar (baca: EYD). Lantas siapa yang mengucapkan kata “acara-an” tersebut. Dan kenapa ada yang menggunakan istilah atau kata “acara-an” itu?
Tentu kata itu bukan sebuah kata yang baku, bahkan pengertiannya juga akan meleset bagi orang yang tidak tahu. Bila mendengar kata “bentrokan” atau “tawuran” “duel” atau “sparing” tentu tidak asing kan? Nah, acara-an tersebut adalah istilah lain untuk keempat kata tadi.
Ada kemungkinan kata “acara-an” itu muncul atau digunakan oleh seseorang demi menyamarkan kata-kata tadi. Seperti yang terjadi di dua kecamatan di Kabupaten Cianjur pada dua hari sebelum UN 2015 berlangung. Tepatnya Sabtu, 2 Mei 2015. Bahkan hari itu bertepatan dengan peringatan Hari Pendidikan Nasional yang sering kita sebut Hardiknas!
Pelaku yang merayaan “acara-an itu adalah pelajar dari 4 sekolah (3 MTs dan 1 SMP Negeri). Keempat sekolah itu berasal dari dua kecamatan yang berada di radius 7-10 km dari pusat kota. Mereka melakukan “acara-an“di tengah sawah yang tidak sedang ditanami (baru selesai di panen).
Yang lebih membuat terhenyak, mereka tidak keroyokan, tetapi duel alias satu melawan satu. Ada pula wasitnya  dan seorang yang mengabadikan dengan kamera dari telepon seluler serta ada aturan mainnya (juklak dan juknis yang tidak tertulis namun dipahami dan diketahui para pelaku).
Tentu saja, “acara-an” yang dilakukan oleh siswa dari empat sekolah yang masih mengenakan seragam sekolah tersebut, sempat membuat geger warga, para guru dan orang tua mereka. Hingga kejadian ini tercium oleh kepolisian (polsek setempat) untuk turun tangan dan menyelesaikannya.
Yang sangat memprihatinkan lagi, kejadian itu terjadi 2 hari menjelang UN tingkat SMP/MTs itu. Pelakunya terdiri dari beberapa siswa kelas 9/sembilan yang hendak melaksanakan UN dan adik kelasnya yaitu kelas 8/delapan.
Hal ini tentu semakin menambah panjang peristiwa dan tindakan kriminal di kalangan pelajar yang tentu saja kian memprihatinkan pada wajah pendidikan di negeri ini. Kejadian ini, tentu saja membuat kelabakan banyak pihak: guru, orang tua, masyarakat dan aparat terkait.
Ada beberapa pertanyaan yang mengusik benak saya. Siapa orang yang menjadi wasit dalan “acara-an” tersebut? Berdasarkan pengakuan para pelaku, mereka semua tidak tahu (atau sengaja menyembunyikan identitas si “wasit” tersebut. Bahkan sampai tulisan ini diturunkan, pihak berwajib dalam hal ini polisi, masih mencari “wasit” tersebut.
Saya jadi teringat percakapan saya beberapa waktu lalu dengan seorang guru yang mengajar di dua sekolah yang sering terlibat tawuran. Kebetulan dia mengajar di kedua sekolah tersebut (satu sekolah negeri, satu lagi sekolah swasta). Dia pernah mengatakan bahwa di kedua sekolah tersebut para siswa yang sering terlibat tawuran itu sering mengadakan semacam “audisi” bagi para juniornya untuk melanjutkan tradisi tawuran itu.
Apakah “acara-an” ini merupakan salah satu bentuk “audisi” tersebut? Apakah “wasit” dalam “acara-an” itu merupakan oknum pencarian generasi penerusnya? Jika benar demikian ini merupakan “PR” besar bagi semua pihak. Haruskah kita semua menutup mata dan telinga dengan hal ini.
Sampai kapan dunia pendidikan ini berkubang dalam kenistaan?



Cianjur, 9 Mei 2015