ACARA-AN
Oleh: Dedi Saeful
Anwar
Kalau kita
simak dan telah judul di atas tentu terasa rancu. Tetapi bila mendengar kata
makanan, minuman, mingguan dll, tentu bukan hal aneh atau rancu. Namun saat
mendengar atau mengucapkan kata “acaraan”
tentu akan mengernyitkan dahi bagi siapa pun yang mendengar maupun
mengucapkannya.
Pun begitu
dengan saya. Hari ini, Sabtu, 8 Mei 2015 saya mendengar istilah tersebut. Bila kita
membuka tata bahasa Indonesia pembentukan kata benda dari kata kerja dengan
menambahkan imbuhan –an, seperti makan menjadi makanan dan minum menjadi minuman tentu mudah dan memang begitu
secara teori tata bahasa. Kata kerja di beri imbuhan –an, menjadi bentukan kata yang baru yaitu menjadi kata benda.
Tetapi kalau
acara (kata benda” ditambah dengan imbuhan “-an” tentu tidak sesuai dengan
kaidah Bahasa Indonesia yang baik dan benar (baca: EYD). Lantas siapa yang mengucapkan kata “acara-an” tersebut. Dan kenapa ada yang
menggunakan istilah atau kata “acara-an”
itu?
Tentu kata itu
bukan sebuah kata yang baku, bahkan pengertiannya juga akan meleset bagi orang
yang tidak tahu. Bila mendengar kata “bentrokan”
atau “tawuran” “duel” atau “sparing” tentu
tidak asing kan? Nah, acara-an tersebut
adalah istilah lain untuk keempat kata tadi.
Ada
kemungkinan kata “acara-an” itu
muncul atau digunakan oleh seseorang demi menyamarkan kata-kata tadi. Seperti
yang terjadi di dua kecamatan di Kabupaten Cianjur pada dua hari sebelum UN
2015 berlangung. Tepatnya Sabtu, 2 Mei 2015. Bahkan hari itu bertepatan dengan
peringatan Hari Pendidikan Nasional yang sering kita sebut Hardiknas!
Pelaku yang
merayaan “acara-an itu adalah pelajar
dari 4 sekolah (3 MTs dan 1 SMP Negeri). Keempat sekolah itu berasal dari dua
kecamatan yang berada di radius 7-10 km dari pusat kota. Mereka melakukan “acara-an“di tengah sawah yang tidak sedang
ditanami (baru selesai di panen).
Yang lebih
membuat terhenyak, mereka tidak keroyokan, tetapi duel alias satu melawan satu.
Ada pula wasitnya dan seorang yang
mengabadikan dengan kamera dari telepon seluler serta ada aturan mainnya (juklak dan juknis yang tidak tertulis namun
dipahami dan diketahui para pelaku).
Tentu saja, “acara-an” yang dilakukan oleh siswa dari
empat sekolah yang masih mengenakan seragam sekolah tersebut, sempat membuat
geger warga, para guru dan orang tua mereka. Hingga kejadian ini tercium oleh kepolisian
(polsek setempat) untuk turun tangan dan menyelesaikannya.
Yang sangat
memprihatinkan lagi, kejadian itu terjadi 2 hari menjelang UN tingkat SMP/MTs
itu. Pelakunya terdiri dari beberapa siswa kelas 9/sembilan yang hendak
melaksanakan UN dan adik kelasnya yaitu kelas 8/delapan.
Hal ini tentu
semakin menambah panjang peristiwa dan tindakan kriminal di kalangan pelajar yang
tentu saja kian memprihatinkan pada wajah pendidikan di negeri ini. Kejadian
ini, tentu saja membuat kelabakan banyak pihak: guru, orang tua, masyarakat dan
aparat terkait.
Ada beberapa
pertanyaan yang mengusik benak saya. Siapa orang yang menjadi wasit dalan “acara-an” tersebut? Berdasarkan
pengakuan para pelaku, mereka semua tidak tahu (atau sengaja menyembunyikan
identitas si “wasit” tersebut. Bahkan
sampai tulisan ini diturunkan, pihak berwajib dalam hal ini polisi, masih
mencari “wasit” tersebut.
Saya jadi
teringat percakapan saya beberapa waktu lalu dengan seorang guru yang mengajar
di dua sekolah yang sering terlibat tawuran. Kebetulan dia mengajar di kedua
sekolah tersebut (satu sekolah negeri, satu lagi sekolah swasta). Dia pernah
mengatakan bahwa di kedua sekolah tersebut para siswa yang sering terlibat tawuran
itu sering mengadakan semacam “audisi”
bagi para juniornya untuk melanjutkan tradisi tawuran itu.
Apakah “acara-an” ini merupakan salah satu
bentuk “audisi” tersebut? Apakah “wasit” dalam “acara-an” itu merupakan oknum pencarian generasi penerusnya? Jika
benar demikian ini merupakan “PR” besar bagi semua pihak. Haruskah kita semua
menutup mata dan telinga dengan hal ini.
Sampai kapan
dunia pendidikan ini berkubang dalam kenistaan?
Cianjur, 9 Mei 2015