BEDAH BUKU SENYUM NOLINA

BEDAH BUKU SENYUM NOLINA
KUMPULAN CERPEN "SENYUM NOLINA" karya Dedi Saeful Anwar ini sudah bisa dipesan. Harga Rp38.000 (belum ongkir). [Info pemesanan dan penerbitan di FAM Publishing hubungi Call Centre 0812 5982 1511, atau via email forumaktifmenulis@yahoo.com, dan kunjungi web kami di www.famindonesia.com]

Rabu, 08 Juli 2015

[ARTIKEL] NGUPAT

NGUPAT*)
Oleh: Dedi Saeful Anwar


Lebaran sebentar lagi
Berpuasa sekeluarga
Sehari penuh yang sudah besar
Setengah hari yang masih kecil
Alangkah asyik pergi ke mesjid
Solat tarawih bersama-sama
... ...
Penggalan lirik lagu “Lebaran” dari grup musik legendaris asal Bandung, Bimbo, sudah sangat jarang terdengar. Kini telah banyak lahir lagu-lagu reliji baru, baik dari grup-grup band maupun grup-grup nasyid. Walau terkadang merasa aneh juga, lagu reliji tapi personil grupnya beranting.
Namun, sekalipun diserbu lagu-lagu baru, lagu Bimbo seperti contoh di atas selalu menghadirkan aura lain. Selain lagu Bimbo tadi, ada hal lain yang tak bisa dipisahkan dengan Lebaran. Yaitu, tradisi "Ngupat".
Siapa yang tak kenal, tak tahu atau tak pernah mencicipi kupat*)? Bisa dipastikan kupat bukan hal yang aneh untuk dibahas. Kala Lebaran menyapa, hidangan kupat seolah menu wajib. Sejak kecil dulu hingga sekarang, tanpa kupat rasanya belum Hari Raya. 

Tetapi, tentunya setiap daerah atau pun di negara lainnya, juga memiliki makanan khas yang disajikan saat Hari Lebaran. Tidak hanya kupat. Bila berbicara tentang kupat, makanan khas ini Lebaran paling pas jika disajikan dengan opor ayam lalu dinikmati beramai-ramai dengan seluruh keluarga. Ibarat ponsel dengan kartunya, atau perangko dengan amplopnya. Kupat dan opor adalah sejoli paling serasi.
Untuk membuat kupat kini tak perlu repot-repot. Penjual cangkang  kupat biasanya sudah banyak berjajar di pinggir-pinggir jalan di saat menjelang berakhirnya Ramadan. Tinggal merogoh kocek beberapa lembar uang seribuan, dan cangkang kupat pun siap diisi beras lalu direbus. Hidangan kupat siap disantap. Tanpa kupat lebaran terasa belum lengkap walau berkumpul dengan keluarga.
Jika memutar jarum ke masa lalu, saat mendekati lebaran, antara dua atau satu hari lagi, ibu sering menganyam sendiri cangkang kupat. Sambil menemani ibu menganyam, aku sering memerhatikan tangan beliau yang lihai dan terampil menyulap tiap helai janur menjadi berpuluh cangkang kupat nan cantik. Perpaduan warna hijau muda kekuningan. Lalu, dari pada bengong akhirnya aku pun tertarik untuk belajar pada ibu, membuat cangkang kupat. Hingga berhasil membuat beberapa cangkang kupat*). Walau tak seindah dan serapi buatan ibu, tapi hal itu menghadirkan pujian lembut ibu meluncur dari mulutnya.

Membuat cangkang kupat tentu lebih sensasional. Dari mulai membeli janur (daun kelapa muda), lalu menganyamnya. Selain menghemat biaya dan mengasah kreativitas, juga sekalian "ngabuburit". Dan yang lebih esensi lagi adalah menjaga tradisi, sebelum cangkang kupat dan "ngupat"*) diakui negeri lain.[]


Cianjur, 5 Juli 2015

*)Kupat (Sunda) = ketupat
Kupat = leupeut nu dibungkusan ku kantong janur meunang nganyam, bangunan pasagi burung.
*) Ngupat =  nyieun kupat (membuat ketupat)
*)Cangkang kupat = janur nu dianyam nu jadi pamungkus eusi kupat, sok disebut oge urung kupat. (janur yang di anyam yang jadi pembungkus isi ketupat, sering juga disebut urung ketupat)
---




Minggu, 05 Juli 2015

[ARTIKEL] NGUEH

NGUEH*)

Oleh: Dedi Saeful Anwar


sumber gambar: google

Jalan Ramadan semakin menurun. Tidak lama lagi akan meninggalkan kita. Sepuluh hari di bagian ke-dua pun akan beranjak ke sepuluh hari bagian ke-tiga.
Hajat setiap ummat tentu semakin kuat. Ada yang likat terus meningkatkan semangat ibadahnya, tak sedikit pula yang malah melipat tikar, mengejar berbagai ingar-bingar. 
Persiapan mudik, berbelanja kebutuhan barang-barang yang serba baru (yang sebenarnya tidak terlalu perlu) yang penting ibadahnya khusyu. Namun itulah tradisi. Ibarat benteng kokoh yang mengungkung diri, seolah-olah hal itu musti dipenuhi.
Berbicara akhir Ramadan, tentu aroma Lebaran semakin kental. Bila hari kemenangan kian dekat bisa dipastikan hidung yang sedang berpuasa mengendus bermacam aroma yang ke luar dari atap-atap rumah. Biasanya para ibu mulai disibukkkan dengan membuat beraneka kue untuk menyambut hari raya. Tradisi inilah yang tidak bisa dilepaskan dengan Ramadan dan Lebaran. Ya, tradisi "Ngueh". 
Saat kecil dulu ada beberapa penganan yang aromanya benar-benar menggoda keteguhan masa-masa belajar berpuasa. Namun, tentu kue-kue zaman dahulu dengan kue saat ini sudah ada perbedaan. Saat itu aku tidak mengenal nastar, putri salju, brownies, muffin, atau pun kue aneh lainnya. Dahulu ibu paling banter sukanya membuat keripik ketan hitam, peuyeum ketan hitam, ranginang (rengginang), dan yang sedikit modern (berbahan terigu) kala itu hanya kue semprit yang kukenal. Kalaupun ada bolu, bisa dipastikan teksturnya padat, tidak empuk seperti bolu-bolu saat sekarang ini.
Nah, dua penganan/kue yang kusebut di awal itulah yang mengundang hidung benar-benar tak berdaya. Bagiku saat ibu mengukus tepung ketan (untuk keripik) dan beras ketan (untuk peuyeum), godaan aroma wangi dari aseupan (pengukusan) menusuk-tusuk rongga hidung. Membuat ngeces hingga perut melilit. Dengan bijaksana ibu menyisihkan sedikit kedua bahan penganan itu ke piring kecil (pisin) untuk kucicipi saat berbuka.
Padahal ketika Magrib/waktu berbuka tiba aroma kedua penganan itu sudah tak sewangi sebelumnya. Selain sudah menjadi dingin, perut yang sudah terisi pun menjadikan penganan itu tentunya tak lagi begitu menggoda. 
Ramadan saat ini semakin di ujung, namun aroma-aroma kue tradisional itu tak lagi mengguncang rongga hidung. Kini aroma-aroma itu telah tergantikan dengan aroma kue-kue yang sudah keren dan moderen. Padahal rasa kangen selalu mengetuk pintu angan. [dsa]


Cianjur, 5 Juli 2015

---
*) membuat kue (Sunda).
*) nyieun kueh (Kamus Bahasa Sunda, R.A. DANADIBRATA hal. 369. Kiblat, Desember 2009)

Sabtu, 04 Juli 2015

[ARTIKEL] CATATAN DARI KEGIATAN BEDAH BUKU DAN DISKUSI MENULIS FAM WILAYAH JABAR-BANTEN

CATATAN DARI KEGIATAN BEDAH BUKU DAN DISKUSI MENULIS FAM WILAYAH JABAR-BANTEN
Oleh: Dedi Saeful Anwar *)
                                                                      

Berfoto bersama usai kegiatan.
                                                                      
Setiap momen Ramadan tentu menghadirkan berbagai kisah dan cerita tersendiri bagi setiap diri yang menjalani. Demikian pula pada Ramadan kali ini. Sebagai salah satu upaya untuk menjadikan bulan suci sebagai bulan penuh berkah maka FAM Wil Jabar-Banten bekerja sama dengan Taman Baca Masjid Agung (TBMA) Cianjur mengadakan kegiatan yang bertitel “Bedah Buku dan Diskusi Menulis”.
Kegiatan berlangsung santai namun hangat dan penuh keakraban di beranda TBMA. Selain dihadiri para pelajar dan pengunjung TBMA acara ini juga dihadiri tiga orang kontributor yang karyanya berada dalam buku “Sepenggal Kisah di bulan Suci” terbitan FAM Publishing ini. Mereka mewakili sejumlah penulis  yang tergabung dalam Antologi FTS dan Prosa Liris yang terbit Maret 2014 silam. Di antaranya adalah De Minnie, Azxa dan saya sendiri.
Selain itu kegiatan semakin hangat dengan kehadiran penulis yang tulisannya banyak menghiasi beberapa koran daerah dan nasional Irwan Sandza serta penyair dan sastrawan kawakan dari Tatar Cianjur sekaligus Pendiri Komunitas NINABobo, Iwan B Setiawan.
Diawali dengan pembukaan oleh moderator--- De Minnie, kemudian kegiatan berlanjut pada sesi pemaparan nara sumber. Pada sesi ini dipaparkan tentang proses awal pengumpulan dan penyeleksian naskah hingga proses penerbitan buku. 
Buku dengan ketebalan 150 halaman dalam dimensi 13x20 sentimeter ini berisi tulisan-tulisan menarik tentang muhasabah. Berisi kisah-kisah yang membawa pembacanya merenung bahwa ternyata dari setiap peristiwa yang diberikan Allah Swt kepada ummatnya selalu diikuti dengan hikmah. Para penulis dalam buku tersebut mengulas peristiwa baik yang dialaminya sendiri maupun pengalaman anggota keluarga tercinta. Hingga beberapa keharuan menghadirkan embun-embun bening di ujung netra. Setiap jengkal kalimat yang dituturkan penulis mampu menghentak jiwa bahwa ternyata setiap diri kita adalah makhluk lemah yang tiada daya dan upaya selain berharap pada pertolongan dan hidayah-Nya.
De Minnie dalam kisahnyaTamu di Penghujung Usiamenuturkan kepedihan seorang cucu perempuan yang kehilangan kakeknya. Kemudian Yusrina Sri, penulis dari Kab. Pesisir Selatan, Sumbar, mengisahkan “Doa Orang yang Teraniaya”. Allah menjanjikan bahwa doa hambaNya yang teraniaya tidak memiliki sekat dan batas apapun dengan diriNya. Lalu, Ade Ubaidil penulis enerjik dari Cilegon, Banten menuturkan tentang luka jahit di pelipis kirinya menjadi saksi bisu, dan teguran dari Allah Swt di saat menjalani ibadah pada bulan Ramadan.
Selain itu yang tak kalah mengharukan kisah detik-detik menantikan buah hati seperti yang dituturkan Nuryaman Emil Hamzah penulis dari Ciamis yang sekarang bermukim di Pandeglang, Banten. Bayang-bayang kematian istri dan bayi yang berada di dalam kandungan istrinya musnah seketika saat berserah dan pasrah kepada Allah Swt. Operasi persalinan dan besarnya biaya, semuanya sirna. Istri dan anaknya selamat lahir tanpa operasi dan biaya tak sampai 10% dari biaya operasi. Dalam kisah “Kemudahan di Balik Kepasrahan”.
Selanjutnya dalam sesi ke-dua yaitu diskusi menulis, acara berlangsung semakin hangat. Ditingkahi embusan angin senja yang turut hadir serta daun-daun trembesi yang berjatuhan diterpa angin, dalam sesi diskusi menulis terjadi komunikasi langsung. Moderator memberikan kesempatan kepada audiens untuk tanya jawab. Mulai dari proses kreatif sebuah tulisan, bagaimana cara menghadapi kebuntuan ide, lalu cara membangkitkan semangat menulis yang mandeg hingga cara membuat sebuah tulisan itu mampu menghadirkan daya tarik bagi pembacanya hingga pembaca tersebut merasa puas dengan sebuah karya tulis.
Bahwa seorang penulis itu adalah seorang yang harus mampu membaca. Bukan hanya membaca sebuah buku atau tulisan di atas selembar kertas saja. Tetapi seorang penulis diharapkan mampu membaca hal-hal yang terjadi di hadapannya dan membaca alam sekitarnya. Kembali kepada “iqra”, demikian penuturan Iwan. B Setiawan.
Kemudian tips atau trik di saat menghadapi kebuntuan ide atau semangat menulis, kita diusahakan untuk mencari suasana baru. Bisa dengan membaca refereansi buku-buku lain, mengunjungi tempat-tempat wisata atau tempat yang bisa mendatangkan ketenangan sehingga pikiran menjadi segar kembali.
Ramadan adalah bulan yang penuh dengan peristiwa yang menarik untuk disimak bahkan di dalamnya bertebaran ide untuk menulis. Contohnya mulai dari suasana bangun dini hari lalu menyantap hidangan sahur, baik dengan keluarga maupun di tengah-tengah lingkungan pesantren. Kemudian saat tadarus, mengikuti kegiatan kuliah subuh, pesantren kilat, “ngabuburit” bahkan di saat berbuka puasa atau tarawih pun bisa menjadikan ide untuk menghasilkan sebuah tulisan.
Lalu, siapkan alat tulis dan secarik kertas bila tidak ada buku kecil. Atau media handphone untuk mencatat ide yang tiba-tiba hadir. Hal itu untuk menjaga seandainya sewaktu-waktu kita lupa akan ide yang pernah terlintas. Lalau kembangkan menjadi sebuah tulisan di kesempatan lain yang lebih memunkinkan waktunya untuk menyelsaikan sebuah tulisan atas ide tersebut. Demikian nara sumber menuturkan pendapatnya dalam mengangkat tema tulisan.
Menulis asdalah proses kreatif atas apa yang didengar, dilihat, dan apa yang terjadi di sekitar kita. Sehinga muncul kekuatan menulis berdasarkan rasa empati yang muncul dalam diri.
Demikian paparan hasil bedah buku dan diskusi menulis yang diselenggarakan oleh FAM Wilayah Jabar-Banten dan TBMA-Cianjur. Semoga bermanfaat. Terima kasih kepada Ketua Umum (Muhammad Subhan) dan Sekretaris (Aliya Nurlela) yang tak henti memberikan semangat serta dukungan morilnya. Pengurus TBMA (Teh Defa beserta jajarannya), Sang inspirator  Ayah Iwan B. Setiawan, Irwan Sandza, Kang Asep, juga tak lupa De Minni yang selalu menghadirkan suasana seru dan ceria di setiap kehadirannya serta seluruh audiens yang telah berkenan hadir dalam kegiatan tersebut.
Wallaha’lam bishawab.



Cianjur, 1 Juli 2015

Lihat juga:
http://www.famindonesia.com/2015/06/catatan-dari-bedah-buku-dan-diskusi.html