SEBUAH CATATAN KECIL: MENUJU KOPDAR II FAM JABAR-BANTEN, MINGGU 18
JANUARI 2015
Pagi masih
gigil. Matahari terlihat enggan menampakkan batang hidungnya. Ayam tetangga pun seolah
ikut-ikutan malas berkokok. Akan terasa nyaman bila kutarik selimut kembali.
Tapi, semua itu kumentahkan. Aku segera mengeluarkan roda dua-ku yang
sehari-harinya selalu menemani ke mana pun pergi. Lalu, kuhangatkan mesinnya.
Sementara
mesin roda dua menderu, aku bisa mengisi perut sekadar untuk jaga-jaga agar
tidak masuk angin. Karena hari itu jarak
yang ditempuh akan lebih jauh dari hari-hari biasanya, yaitu Kopdar II FAM
Jabar-Banten.
Setelah
semuanya siap, barulah aku pamitan pada istri dan anak-anak. Putriku yang masih
dalam pemulihan setelah seminggu lebih sakit dan sempat dirawat selama tiga
hari di rumah sakit, awalnya merengek tidak mau ditinggal. Namun akhirnya luluh
juga setelah aku mengeluarkan jurus-jurus bujukan.
Cuaca di
Minggu pagi itu cukup menggigit kulit. Padahal aku sudah mengenakan berlapis
pakaian. Kain sorban pun dililitkan di leher untuk menghindari terpaan angin
Januari yang benar-benar menguji siapa pun yang pagi itu hendak berpergian.
Selama di
perjalanan pikiranku sudah jauh melayang ke tempat tujuan. Seperti apa keadaan
Alun-alun kota Bandung sekarang ini. Dahulu saat kopdar pertama, masih ada
sebuah Taman Gantung di sana. Namun bisa dikatakan bahwa ketika itu terlihat kurang
perawatannya. Di dinding taman terdapat corat-coret cat semprot dari tangan-tangan jahil yang tak suka dengan
keindahan. Area di sekitarnya pun penuh dengan pedagang liar hingga terkesan
kumuh. Di setiap sudut sampah bisa dipastikan tertangkap mata.
Di sanalah
pertama kali saya bertemu dengan Ade Ubaidil (Cilegon, Banten), Nuryaman Emil
Hamzah (Pandeglang, Banten) dan Nina Kirana (Bandung). Mereka adalah para
penulis yang memiliki semangat dakwah bil
qolam. Sebuah catatan manis yang telah mengisi album kenangan hidupku.
Setelah
melewati sasak (jembatan) Rajamandala---sebuah jalur yang di bawahnya mengalir
Sungai Citarum dan juga menjadi pembatas
antara Kabupaten Cianjur dengan Kab. Bandung Barat---lamunanku buyar dengan
volume kendaraan yang cukup padat.
Di daerah itu
selalu begitu, karena aktivitas sebuah pasar tumpah. Para pedagang yang jika
tidak diberikan tempat memadai---di daerah mana pun--- pasti akan menjajakan
dan membuat lapak dagangannya hingga ke bibir jalan.
Selain para
pedagang yang merangsek hingga bibir jalan, juga banyak motor tukang ojek yang
memarkir roda duanya di kiri dan kanan bahu jalan, hingga membuat jalan
provinsi itu kian sempit saja. Mereka memarkirkan kendaraan roda duanya di sana
tentu bukan tanpa alasan. Hal itu sengaja demi mengais rezeki dengan menyambut
para pembeli di pasar tumpah tersebut.
Belum lagi
pedangang kaki lima yang turut serta menjadi bagian dari kesemrawutan dan
kemacetan. Seperti tukang bubur, bakso, martabak juga pedagang goreng-gorengan
dan pedagang berbagai jenis makanan lainnya. Mereka siap menyediakan makanan
untuk sarapan para penjual dan pembeli di pasar tumpah itu yang sudah membuka
mata sedari pagi masih buta.
Dan kemacetan
akan semakin panjang, jika muncul konvoi truk bercat kuning yang mengangkut tumpukan
sampah, melewati jalur itu. Di jalur itu ada sebuah pertigaan yang mengarah ke
TPA Cipeundeuy. Sebuah tempat pembuangan akhir sampah untuk kota Bandung dan Cimahi.
Selain
menambah kemacetan, siapa pun yang di lewati kendaraan itu siap-siap saja
memencet hidung atau menutupnya dengan lima jari sebelum aroma busuk
mengorek-orek dan menusuk rongga hidung. Belum lagi ceceran cairan yang menetes
dari kendaraan itu, aroma busuknya akan cukup lama menari dalam lubang
penciuman siapapun.
Roda dua-ku
terus dipacu. Hingga sampai di daerah Cipatat. Daerah yang terkenal dengan
tempat latihan menembak satuan infantri. Namun di sana juga banyak sentra
produksi batu onix. Selain itu, di sana pun terdapat beberapa titik yang
dijadikan area penambangan pasir dan batu kapur.
Pagi itu
secara kebetulan mataku tertuju pada sebuah bukit batu, yang dari kejauhan
terlihat ada titik yang mengepulkan asap hitam. Sengaja aku menghentikan laju
motorku, kemudian mengambil beberapa gambar dengan kamera telepon seluler.
Kepulan itu entah dari cerobong asap pembakaran batu kapur, entah ke luar dari
cerobong asap yang lain. Kepulannya hitam pekat membubung lalu memoles wajah
langit biru yang bisu.
Daerah itu tidak pernah lepas dari mesin-mesin pengeruk isi bumi. Bukti nyata bahwa manusia memang makhluk serakah. Tidak peduli dengan lingkungannya yang kian sakit parah. Semakin membabi-buta dalam aksi menjarah isi tanah.
Aku bergegas melanjutkan perjalanan. Roda
kupacu cukup cepat, hingga sampai di kota Cimahi. Sebuah kota kecil yang
menyimpan berjuta cerita. Karena di sanalah tempat aku pertama kalinya
menghidup udara. Sebuah tempat yang menyimpan catatan-catatan masa kecil dengan
tangisan dan gelak tawa yang tersimpan di pematang sawah dan arus sungainya.
Setiap melewati daerah itu aku berusaha agar dua ujung netraku tidak berembun.
Kini kota yang berjuluk Kota Hijau itu, semakin cantik seiring dengan berbagai
pembangun tata kotanya, setelah memisahkan diri dari wilayah Kabupaten Bandung.
Kemudian kendaraanku
melesat di jalan layang Cimindi. Di atas jalan itu aku sedikit terhibur dengan
memandang atap juga genting-genting bangunan dan rumah-rumah penduduk yang
padat di bawahnya. Juga bentangan rel kereta api yang menghubungkan Kota
Kembang dan Metropolitan.
Beruntung,
saat melewati daerah Jatayu, kepadatan sudah cukup terurai. Karena keramaian
pasar di sana mulai bubar. Pasar yang menyediakan berbagai sayuran dan hasil
laut memang sejak dulu beraktivitas sejak malam hingga pagi hari.
Wilujeng sumping di Dayeuh Bandung!*)
Sekitar pukul
8:26 mataku tertuju pada sebuah benda merah---Bandros! Ya, Sebuah nama dari bis
tingkat yang merupakan akronim dari Bandung
Tour on The Bus dan menjadi daya tarik urang
Bandung akhir-akhir ini.
Kendaraan wisata
yang dapat mengajak penumpangnya mengelilingi sambil menikmati keindahan kota Parijs van Java dengan cukup membayar
tiket Rp15.000. Sejenak aku menyaksikan banyak orang yang mengantri untuk
menaiki Bandros tersebut. Di sana nampak beberapa orang berpakaian t-shirt hijau dari sebuah komunitas
mengambil gambar di depan kendaraan wisata tersebut.
Kendaraan di
sekitar Alun-alun sudah mulai padat. Aku mematikan mesin motor di parkiran basement Alun-alun Bandung sekitar puku
8:31. Sejak memasuk gerbang parkir, antrean kendaraan roda dua dan empat sudah
berbaris. Begitu keluar dari area parkir di basement alun-alun, ternyata karpet
sintetis hijau di depan halaman Masjid Raya sudah berubah hitam, karena sudah
tertutupi oleh lautan manusia di sana.
Orang yang
pertama saya cari adalah Kang Nuryaman Emil Hamzah, FAMili dari Pandeglang,
Banten. Menurut penuturannya---setelah kami berjumpa---dia sudah sampai di
Bandung sekitar jam 4 pagi. Karena berangkat dari Banten pada dini hari.
Begitu sulit
saya menemukan orang dia di antara ratusan bahkan ribuan orang yang memadati
area rumput sintetis tersebut. Pencarianku bertambah lama disebabkan nomor
kontaknya berada pada kartu ponselku yang sudah tidak aktif lagi. Hingga
berusaha kuhubungi Teh Nina Kirana yang masih diperjalanan, juga Ade Ubaidil
yang hari itu berhalangan datang ke kota Bandung.
Akhirnya
setelah hampir satu jam lebih aku berjumpa juga dengan yang dicari. Ternyata
sudah hadir pula Sri Nurhayati (Srea) FAMili dari Kab. Bandung. Sambil melepas
rindu dan lelah kami menikmati suasana Masjid Raya yang begitu ramai dengan
kepadatan pengunjungnya.
Setelah
selesai melaksanakan salat Zuhur kami baru bisa memulai kegiatan diskusi.
Sambil menikmati hidangan roti pisang keju dan gorengan daun bayam---camilan
yang disuguhkan Teh Nina Kirana---kami antusias membahas berbagai hal selain
bercengkrama penuh keakraban.
Hingga
menjelang waktu Asar tiba, kami menyelesaikan kegiatan Kopdar ke-2 ini. Dan
setelah mengambil beberapa gambar untuk dokumetasi, akhirnya kami perpisah. Di
tengah lautan manusia kami menjalin ukhuwah.
Di bawah langit kota Bandung kami menggores tinta aishiteru dakwah bil qolam.
Hatur nuhun Bandung. **)
Cag.***)
Cianjur, 21 Januari 2015
*) Selamat datang di kota Bandung!
**) Terima kasih Bandung
***) Selesai.