BEDAH BUKU SENYUM NOLINA

BEDAH BUKU SENYUM NOLINA
KUMPULAN CERPEN "SENYUM NOLINA" karya Dedi Saeful Anwar ini sudah bisa dipesan. Harga Rp38.000 (belum ongkir). [Info pemesanan dan penerbitan di FAM Publishing hubungi Call Centre 0812 5982 1511, atau via email forumaktifmenulis@yahoo.com, dan kunjungi web kami di www.famindonesia.com]

Selasa, 20 Januari 2015

SEBUAH CATATAN KECIL



SEBUAH CATATAN KECIL: MENUJU KOPDAR II FAM JABAR-BANTEN, MINGGU 18 JANUARI 2015

Pagi masih gigil. Matahari terlihat enggan menampakkan batang hidungnya. Ayam tetangga pun seolah ikut-ikutan malas berkokok. Akan terasa nyaman bila kutarik selimut kembali. Tapi, semua itu kumentahkan. Aku segera mengeluarkan roda dua-ku yang sehari-harinya selalu menemani ke mana pun pergi. Lalu, kuhangatkan mesinnya.
Sementara mesin roda dua menderu, aku bisa mengisi perut sekadar untuk jaga-jaga agar tidak masuk angin.  Karena hari itu jarak yang ditempuh akan lebih jauh dari hari-hari biasanya, yaitu Kopdar II FAM Jabar-Banten.
Setelah semuanya siap, barulah aku pamitan pada istri dan anak-anak. Putriku yang masih dalam pemulihan setelah seminggu lebih sakit dan sempat dirawat selama tiga hari di rumah sakit, awalnya merengek tidak mau ditinggal. Namun akhirnya luluh juga setelah aku mengeluarkan jurus-jurus bujukan.
Cuaca di Minggu pagi itu cukup menggigit kulit. Padahal aku sudah mengenakan berlapis pakaian. Kain sorban pun dililitkan di leher untuk menghindari terpaan angin Januari yang benar-benar menguji siapa pun yang pagi itu hendak berpergian.
Selama di perjalanan pikiranku sudah jauh melayang ke tempat tujuan. Seperti apa keadaan Alun-alun kota Bandung sekarang ini. Dahulu saat kopdar pertama, masih ada sebuah Taman Gantung di sana. Namun bisa dikatakan bahwa ketika itu terlihat kurang perawatannya. Di dinding taman terdapat corat-coret cat semprot  dari tangan-tangan jahil yang tak suka dengan keindahan. Area di sekitarnya pun penuh dengan pedagang liar hingga terkesan kumuh. Di setiap sudut sampah bisa dipastikan tertangkap mata.
Di sanalah pertama kali saya bertemu dengan Ade Ubaidil (Cilegon, Banten), Nuryaman Emil Hamzah (Pandeglang, Banten) dan Nina Kirana (Bandung). Mereka adalah para penulis yang memiliki semangat dakwah bil qolam. Sebuah catatan manis yang telah mengisi album kenangan hidupku.
Setelah melewati sasak (jembatan) Rajamandala---sebuah jalur yang di bawahnya mengalir Sungai Citarum  dan juga menjadi pembatas antara Kabupaten Cianjur dengan Kab. Bandung Barat---lamunanku buyar dengan volume kendaraan yang cukup padat.
Di daerah itu selalu begitu, karena aktivitas sebuah pasar tumpah. Para pedagang yang jika tidak diberikan tempat memadai---di daerah mana pun--- pasti akan menjajakan dan membuat lapak dagangannya hingga ke bibir jalan.
Selain para pedagang yang merangsek hingga bibir jalan, juga banyak motor tukang ojek yang memarkir roda duanya di kiri dan kanan bahu jalan, hingga membuat jalan provinsi itu kian sempit saja. Mereka memarkirkan kendaraan roda duanya di sana tentu bukan tanpa alasan. Hal itu sengaja demi mengais rezeki dengan menyambut para pembeli di pasar tumpah tersebut.
Belum lagi pedangang kaki lima yang turut serta menjadi bagian dari kesemrawutan dan kemacetan. Seperti tukang bubur, bakso, martabak juga pedagang goreng-gorengan dan pedagang berbagai jenis makanan lainnya. Mereka siap menyediakan makanan untuk sarapan para penjual dan pembeli di pasar tumpah itu yang sudah membuka mata sedari pagi masih buta.
Dan kemacetan akan semakin panjang, jika muncul konvoi truk bercat kuning yang mengangkut tumpukan sampah, melewati jalur itu. Di jalur itu ada sebuah pertigaan yang mengarah ke TPA Cipeundeuy. Sebuah tempat pembuangan akhir sampah untuk kota Bandung dan Cimahi.
Selain menambah kemacetan, siapa pun yang di lewati kendaraan itu siap-siap saja memencet hidung atau menutupnya dengan lima jari sebelum aroma busuk mengorek-orek dan menusuk rongga hidung. Belum lagi ceceran cairan yang menetes dari kendaraan itu, aroma busuknya akan cukup lama menari dalam lubang penciuman siapapun.
Roda dua-ku terus dipacu. Hingga sampai di daerah Cipatat. Daerah yang terkenal dengan tempat latihan menembak satuan infantri. Namun di sana juga banyak sentra produksi batu onix. Selain itu, di sana pun terdapat beberapa titik yang dijadikan area penambangan pasir dan batu kapur. 
Pagi itu secara kebetulan mataku tertuju pada sebuah bukit batu, yang dari kejauhan terlihat ada titik yang mengepulkan asap hitam. Sengaja aku menghentikan laju motorku, kemudian mengambil beberapa gambar dengan kamera telepon seluler. Kepulan itu entah dari cerobong asap pembakaran batu kapur, entah ke luar dari cerobong asap yang lain. Kepulannya hitam pekat membubung lalu memoles wajah langit biru yang bisu.

Daerah itu tidak pernah lepas dari mesin-mesin pengeruk isi bumi. Bukti nyata bahwa manusia memang makhluk serakah. Tidak peduli dengan lingkungannya yang kian sakit parah. Semakin membabi-buta dalam aksi menjarah isi tanah. 
 Aku bergegas melanjutkan perjalanan. Roda kupacu cukup cepat, hingga sampai di kota Cimahi. Sebuah kota kecil yang menyimpan berjuta cerita. Karena di sanalah tempat aku pertama kalinya menghidup udara. Sebuah tempat yang menyimpan catatan-catatan masa kecil dengan tangisan dan gelak tawa yang tersimpan di pematang sawah dan arus sungainya. Setiap melewati daerah itu aku berusaha agar dua ujung netraku tidak berembun. Kini kota yang berjuluk Kota Hijau itu, semakin cantik seiring dengan berbagai pembangun tata kotanya, setelah memisahkan diri dari wilayah Kabupaten Bandung.
Kemudian kendaraanku melesat di jalan layang Cimindi. Di atas jalan itu aku sedikit terhibur dengan memandang atap juga genting-genting bangunan dan rumah-rumah penduduk yang padat di bawahnya. Juga bentangan rel kereta api yang menghubungkan Kota Kembang dan Metropolitan.
Beruntung, saat melewati daerah Jatayu, kepadatan sudah cukup terurai. Karena keramaian pasar di sana mulai bubar. Pasar yang menyediakan berbagai sayuran dan hasil laut memang sejak dulu beraktivitas sejak malam hingga pagi hari.

Wilujeng sumping di Dayeuh Bandung!*)

Sekitar pukul 8:26 mataku tertuju pada sebuah benda merah---Bandros! Ya, Sebuah nama dari bis tingkat yang merupakan akronim dari Bandung Tour on The Bus dan menjadi daya tarik urang Bandung akhir-akhir ini.
Kendaraan wisata yang dapat mengajak penumpangnya mengelilingi sambil menikmati keindahan kota Parijs van Java dengan cukup membayar tiket Rp15.000. Sejenak aku menyaksikan banyak orang yang mengantri untuk menaiki Bandros tersebut. Di sana nampak beberapa orang berpakaian t-shirt hijau dari sebuah komunitas mengambil gambar di depan kendaraan wisata tersebut.
Kendaraan di sekitar Alun-alun sudah mulai padat. Aku mematikan mesin motor di parkiran basement Alun-alun Bandung sekitar puku 8:31. Sejak memasuk gerbang parkir, antrean kendaraan roda dua dan empat sudah berbaris. Begitu keluar dari area parkir di basement alun-alun, ternyata karpet sintetis hijau di depan halaman Masjid Raya sudah berubah hitam, karena sudah tertutupi oleh lautan manusia di sana.
Orang yang pertama saya cari adalah Kang Nuryaman Emil Hamzah, FAMili dari Pandeglang, Banten. Menurut penuturannya---setelah kami berjumpa---dia sudah sampai di Bandung sekitar jam 4 pagi. Karena berangkat dari Banten pada dini hari.
Begitu sulit saya menemukan orang dia di antara ratusan bahkan ribuan orang yang memadati area rumput sintetis tersebut. Pencarianku bertambah lama disebabkan nomor kontaknya berada pada kartu ponselku yang sudah tidak aktif lagi. Hingga berusaha kuhubungi Teh Nina Kirana yang masih diperjalanan, juga Ade Ubaidil yang hari itu berhalangan datang ke kota Bandung.
Akhirnya setelah hampir satu jam lebih aku berjumpa juga dengan yang dicari. Ternyata sudah hadir pula Sri Nurhayati (Srea) FAMili dari Kab. Bandung. Sambil melepas rindu dan lelah kami menikmati suasana Masjid Raya yang begitu ramai dengan kepadatan pengunjungnya.
Setelah selesai melaksanakan salat Zuhur kami baru bisa memulai kegiatan diskusi. Sambil menikmati hidangan roti pisang keju dan gorengan daun bayam---camilan yang disuguhkan Teh Nina Kirana---kami antusias membahas berbagai hal selain bercengkrama penuh keakraban.






Hingga menjelang waktu Asar tiba, kami menyelesaikan kegiatan Kopdar ke-2 ini. Dan setelah mengambil beberapa gambar untuk dokumetasi, akhirnya kami perpisah. Di tengah lautan manusia kami menjalin ukhuwah. Di bawah langit kota Bandung kami menggores tinta aishiteru dakwah bil qolam.
Hatur nuhun Bandung. **)
Cag.***)

Cianjur, 21 Januari 2015

*) Selamat datang di kota Bandung!
**) Terima kasih Bandung
***) Selesai.