BEDAH BUKU SENYUM NOLINA

BEDAH BUKU SENYUM NOLINA
KUMPULAN CERPEN "SENYUM NOLINA" karya Dedi Saeful Anwar ini sudah bisa dipesan. Harga Rp38.000 (belum ongkir). [Info pemesanan dan penerbitan di FAM Publishing hubungi Call Centre 0812 5982 1511, atau via email forumaktifmenulis@yahoo.com, dan kunjungi web kami di www.famindonesia.com]

Sabtu, 31 Mei 2014

[FTS] NASI MEMANG BUKAN POCONG




NASI MEMANG BUKAN POCONG
Oleh: Dedi Saeful Anwar

Sebelum salat Jumat, sambil menyantap makan siang, putri-ku berbincang-bincang dengan kakak laki-lakinya yang sampai saat ini masih sitophobia*).
“Ayah, kenapa Kakak nggak makan nasi?” tanya putri-ku yang baru menginjak TK.
“Kakak ‘gak makan nasi karena dia takut sama nasi,” jawabku dari dapur sambil menuangkan mie yang baru saja kurebus.
“Kok takut sih sama nasi, nasi ‘kan bukan pocong ya, Yah?” sergah putri-ku sekenanya. Dia berujar polos, sambil memasukan nasi berkuah sayur sop ke mulutnya.
Dengan mulut penuh mie goreng, kakak-nya cuma melirik padaku sambil menahan senyum. Aku sedikit kaget dengan komentar putri kecil-ku, walau sambil menahan senyum juga.
Ketika hendak pergi salat Jumat, kubisikkan pada telinga putra-ku dengan setengah menggoda,”Kakak, kapan mau makan nasi? Kata si Adek juga, nasi ‘kan bukan pocong.”
Dia mendelik sambil mendahului laju jalanku. Ekspresinya tak acuh.

Cianjur, 20-5-14

*)Sitophobia= Keadaan takut makan, takut pada macam-macam makanan.



Selasa, 27 Mei 2014

[FTS] SEEKOR ITIK dan KAPITALISME



SEEKOR ITIK dan KAPITALISME
Oleh: Dedi Saeful Anwar

Seekor itik tetaplah itik, sekalipun ia saat masih berbentuk telur, lalu dierami, kemudian menetas dan diasuh oleh seekor induk ayam. Bila sudah melihat kolam penuh air pasti ia akan menceburkan dirinya ke dalam kolam tersebut. Karena instingnya suka terhadap air. Walaupun sang induk (ayam) berteriak melarangnya dengan penuh rasa khawatir.
Begitupun dengan kapitalisme, serapi apapun mereka (penganut kapitalisme) mengatur sistem manajemen dalam menjalankan usahanya, tetap saja cita-rasanya sebagai kapitalisme akan kerkuak. Tidak  ubahnya lintah darat berdasi dan sembunyi di balik gedung mewah. Parahnya lagi terus saja bergelimpangan korban kapitalisme di sekitar kita.
***
Hari Senin, 26 Mei 2014 aku berangkat ke Kota Kembang-Bandung, untuk mengantar pimpinan sekolah-ku ke sebuah bank di bilangan jalan Asia-Afrika. Dengan tujuan menemui bagian marketing sebuah bank swasta nasional yang sedang berkembang, untuk membereskan kartu kreditnya yang sedang bermasalah.
Kami berangkat jam 7.30 WIB dari kota Tauco-Cianjur dengan mengendarai sepeda motor. Walau masih cukup pagi, bukan berarti perjalanan ke kota Bandung menjadi mulus. Kepadatan kendaraan sudah mulai terasa saat memasuki jalan Ciburuy hingga pintu tol padalarang. Dan di sana merupakan langganan kemacetan, apalagi di akhir pekan dan di awal bulan.
Setelah memasuki kota Cimahi, tempat aku dahulu dilahirkan. Kutepikan motor di jalan Raya Cibabat. Kami menikmati sarapan di sebuah warung nasi Padang di kota yang menyimpan berjuta kenangan masa kecil-ku.
Setelah menghabiskan waktu hampir setengah jam, kami melanjutkan perjalanan. Sekitar  jam 9.30 WIB, akhirnya kami sampai juga di sebuah gedung yang menjadi tujuan kami. Setelah menemui petugas satpam kami diberi sebuah tiket dengan nomor 911 (mirip nomor darurat di negeri Adidaya-AS) untuk bertemu seseorang di lantai IV. Sesampainya di lantai IV, setelah melewati sebuah lift kami disambut lagi oleh petugas satpam lainnya.
“Selamat pagi, ada yang bisa saya bantu, Pak?” Seorang satpam lantai IV ramah menyapa, setelah pintu lift yang kami naiki menutup.
“Selamat pagi. Bisa bertemu dengan Ibu Evi, Pak?” balasku tak kalah sopan.
“Ooh, kebetulan beliau sudah pulang. Namun ada asistennya, Pak Chevi. Bapak bisa menemui dia.”
Mendengar jawaban satpam itu aku mengernyitkan dahi.
“Apa iya, se-pagi ini, saat orang lain baru beraktivitas di hari Senin, masa iya orang kantoran sudah pulang? Lagi pula ini sebuah lembaga keuangan yang mobilitas kerjanya padat,” gumamku dalam hati
Aku segera menepiskan pikiran yang bukan-bukan. Segera kuikuti langkah pimpinanku menuju ruang yang ditunjuk satpam itu. Aku perhatikan percakapan kedua orang itu (pimpinan-ku dan petugas bank). Aku sedikit geregetan dengan sikap petugas bank yang benar-benar tidak menunjukkan sikap ramah. Tanpa senyum sedikit pun dan ucapannya ketus.
“Ooh, ini kartunya diblokir, ya?” terdengar ucapan si petugas bank datar tanpa ekspresi. Dia sesekali sibuk memainkan jemarinya pada tuts-tuts keyboard. Entah apa yang dia ketik. Sesekali membungkuk entah apa pula yang dia ambil dari bawah meja kerjanya. Namun yang kuperhatikan dia selalu menghindari kontak mata dengan lawan bicaranya. Sungguh sikap petugas jasa yang tidak kusukai dan jelas tidak profesional. Tidak sesuai dengan gedung tempatnya bekerja yang menjulang. Apalagi ini menyangkut kenyamanan seorang nasabah yang nota bene sama artinya dengan konsumen. Bukan kah konsumen adalah raja? Kami jauh-jauh berpuluh kilometer demi sebuah pelayanan yang mereka tawari, malah emndapat perlakuan yang tidak simpatik sama sekali.
Yang membuat kami jengah adalah, di zaman yang serba on line, serba praktis dan alat komunikasi yang semakin mudah tapi untuk urusan kartu kredit musti mengurusnya berpuluh kilometer? Fungsi cabang di daerah sama sekali mandul!
“Kalau Bapak mau menghentikan tagihan asuransinya tidak bisa mendadak Pak, harus tiga minggu sebelumnya. Jadi untuk bulan depan, tanggal 7 Juni 2014 akan terjadi kembali pemotongan otomatis. Namun untuk bulan selanjutnya (Juli dna seterusnya) kalau Bapak menginginkan akan saya ajukan penghentiannya dari sekarang.”
“Baik, namun ada yang tidak saya mengerti. Mengapa potongan biaya asuransi ini besar sekali Pak, tujuh ratus lima puluh tujuh ribu rupiah. Sedangkan yang saya setujui pada saat ada kontak telepon dari pihak asuransi hanya sembilan puluh ribu rupiah. Itu maksud saya datang ke sini, selain mengurus masalah pemblokiran kartu kredit ini,” suara pimpinanku sedikit meninggi.
“Kami tidak tahu menahu soal itu Pak, karena bank kami dengan suransi ini berbeda sistem dan pelayanan.”
“Tapi ‘kan asuransi rekanan kerja perusahaan anda? Mereka tentunya sudah punya kontrak kerjasama dengan bank tempat anda bekerja, tolong beri penjelasannya dan jangan berbelit-belit.” Pimpinanku menggebrak meja. Emosinya menjadi terpancing.
“Ee..ee.., maaf Pak. Silakan Bapak temui perusahaan asuransi ini di gedung sebelah, melewati lima gedung dari gedung bank ini ke arah Timur. Di sana ada kantor perwakilannya.” Dengan sedikit bergetar petugas itu membereskan kacamata minusnya. Wajahnya pucat dan masih tanpa ekspresi. Membuat aku semakin gemas dengan sikapnya yang benar-benar tidak layak menajadi customer service.
Setengah jam lebih kami mencari perusahaan itu, di gedung yang disebutkan petugas bank tadi. Namun satpam gedung itu tidak menyakini adanya perusahaan dimaksud. Kami benar-benar geram dan merasa dikerjai oleh petugas bank itu. Satpam gedung mempersilahkan kepada kami untuk menemui beberapa kantor asuransi di lantai VII dan IV dan III.
Setelah yakin di tiga lantai itu tidak ada, emosi kami benar-benar memuncak. Segera kutemui petugas bak kembali di gedung semula.
“Bapak jangan mempermainkan kami, ya!” bentak pimpinan kami.
“Maaf, Pak. Kami tidak memper.....” suara petugas itu tidak selesai
“Bagaimana tidak mempermainkan? Anda begitu yakin perusahaan itu ada di sana. Setelah kami cari ternyata kantor asuransi itu tidak ada. Apa anda masih mau berkelit kalau anda tidak mempermainkan, hah?” suara keras darimulut pimpinanku membuat tegang ruangan itu. Aku yang sama-sama geram hanya menyaksikan adegan itu, benar-benar ingin kurobek mulut bloon petugas bank itu.
“Silakan Bapak coba lagi ke BRI Tower..... a..a...atau yang di depan hotel Panghegar!”
“Anda benar-benar mau mempermainkan saya ya, sekarang saya minta nomor telepon perusahaan itu sekarang juga.”
Setelah berbisik-bisik ditelepon, entah siapa yang dia hubungi, kemudian dia memberikan nomoi 021-XXXXXX.
“Pak, ini ‘kan nomor Jakarta. Saya minta yang cabang Bandung. Kalau yang Jakarta juga saya punya dalam surat perjanjian ini. Ngapain pula saya telepon ke Jakarta.” Sekarang gilrianku berusaha menekan petugas itu. Aku terpancing juga dan ikut gemas dibuatnya. Ingin kutonjok lalu kuacak-acak saja wajah bloon bin oon petugas bank itu.
“Jika begini pelayanannya, tidak menguntungkan nasabahmya, saya tidak akan menggunakan kartu kredit ini Pak Ded. Saya terlanjur kecewa. Dan mulai detik ini tidak percaya lagi dengan kinerja seperti ini.” Pimpinanku menggerutu dan mengajakku untuk segera meninggalkan gedung lantai itu.
Kapitalisme tetap kapitalsime, mereka tumbuh dengan menghisap darah nasabahnya, sekalipun mereka berdasi, berpenampilan necis dalam mengendalikan otaknya di balik gedung bertingkat,” gumamku. 
Hari itu kami pulang ke Cianjur dengan membawa segunung rasa kesal. Terlebih mengingat sikap yang jauh dari profesional petugas bank itu.
Huh!
Senin, 26 Mei 2014

[ARTIKEL] DONT TOUCH ME! SENTUHLAH SUAMIMU!



DONT TOUCH ME! SENTUHLAH SUAMIMU!
Oleh: Dedi Saeful Anwar

Bingung? Bisa jadi, saya juga bingung dengan kalimat di atas. Lho, kok bisa, penulisnya saja bingung, bagaimana pembacanya? Tenang, don’t be sewot! (salam dua jari, hehe...) ~maaf ini bukan bagian dari campaign, ya.
Kembali ke topik. Dua kalimat yang cukup membuat kening saya mengernyit itu tanpa sengaja saya baca di sebuah truk yang melintas tepat di hadapan saya saat hendak berangkat kerja.
Lalu, apa maksud dua kalimat yang berlainan bahasa itu? Apa mungkin ditujukan bagi laki-laki yang menolak sentuhan wanita, karena bisa saja wanita itu sudah bersuami (lagi pula wanita itu kegenitan banget, udah bersuami pake mau nyentuh-nyentuh lelaki lain, hehe...).
Atau orang yang menulisnya di truk itu hanya ingin membuat sensasi saja, biar mobilnya dilirik orang lain. Bisa saja kan? Silakan tafsirkan masing-masing. Dan yang pasti orang yang menulis itu sudah berhasil membuat saya melirik pada truk-nya. Hehe...
Namun yang jelas saya suka merasa geli dan senyum-senyum jika melihat sederet kalimat yang terpampang di kendaraan (baca: truk) yang melaju di tengah jalan. Karena menurut saya hal itu multi tafsir. Selain menampilkan kalimat-kalimat yang unik dan singkat, truk-truk itu juga sering mengilustrasikannya dengan gambar yang lucu dan tak jarang menghadirkan kesan aneh-aneh. Sederhana memang, tapi cukup menarik untuk kita perhatikan.
Seperti yang menjadi judul tulisan di atas. Suatu ketika, secara tidak sengaja saat berkendaraan motor saya melihat sederet tulisan di bagian belakang truk yang sedang melaju tepat berada di depan. Karena kalimatnya cukup menggelitik rasa penasaran, saya kejar truk itu agar jelas kalimatnya. Setelah jelas dan membaca tulisan itu, serta merta saya pun tersenyum sambil melaju.
Saya memang suka iseng memerhatikan tulisan dan kalimat yang tertera dalam kendaraan. Baik yang ditulis dalam stiker ataupun yang langsung menggunakan cat dalam badan kendaraan (terutama truk pengangkut barang atau sejenisnya). Kebiasaan ini sudah berlangsung lama. Tepatnya sih nggak ingat dengan jelas, mungkin sejak saya sudah bisa membaca tulisan dan kalimat-kalimat pendek saat di es-de. Hehe...
Sebenarnya banyak kata-kata atau kalimat yang saya lihat di berbagai truk kemudian saya tulis. Namun file-nya yang dulu sempat saya catat dalam inbox ponsel, tanpa sengaja terhapus dengan data lainnya. Kira-kira adakah yang punya hobi sama dengan saya? Silakan tulis di kolom komentar, heee...
Berikut tulisan yang pernah saya temui dan terbaca pada sebuah truk pengangkut barang, selain yang menjadi judul tulisan di atas.

1.     Akibat gaul malam
2.     Papa pulang, gak bawa uang beibeh...
3.     Romeo dan juliet
4.     Demi anak istri
5.     Aku bukan Bang Toyib, Neng. Aku pasti pulang...
6.     Dll.

Jumat, 23 Mei 2014
Jumat, 23 Mei 2014