BEDAH BUKU SENYUM NOLINA

BEDAH BUKU SENYUM NOLINA
KUMPULAN CERPEN "SENYUM NOLINA" karya Dedi Saeful Anwar ini sudah bisa dipesan. Harga Rp38.000 (belum ongkir). [Info pemesanan dan penerbitan di FAM Publishing hubungi Call Centre 0812 5982 1511, atau via email forumaktifmenulis@yahoo.com, dan kunjungi web kami di www.famindonesia.com]

Kamis, 24 April 2014

SAYA DAN PERPUSTAKAAN



SAYA DAN PERPUSTAKAAN
Oleh: Dedi Saeful Anwar



Saya mengenal perpustakaan sejak duduk di bangku di sekolah dasar. Walau sekolah  saya saat itu tidak memiliki ruangan khusus. Buku-buku koleksinya pun tidak terlalu banyak, hanya disimpan dalam sebuah lemari di ruang kelas 6. Namun saya sempat menikmati beberapa kali buku bacaan koleksinya saat itu.
Menginjak SMP, sedikit lebih beruntung. Saat duduk di Sekolah Menengah Pertama, saya sempat menikmati buku-buku yang lebih lengkap. Buku-buku itu ditempatkan di sebuah gedung perpustakaan yang memiliki ruangan cukup luas. Tempatnya bersih dan memiliki koleksi yang cukup lengkap dan ditempatkan rak-rak buku dengan tertata rapi. Kursi dan meja tempat membaca yang terbuat dari kayu pun cukup representatif.
Namun yang masih saya ingat adalah penjaganya. Perangainnya tidak ramah bahkan sedikit galak di mata para siswa saat itu. Para siswa sudah mau masuk ruangan dan memegang buku pun sudah beruntung. Pria dengan kacamata tebal dan berambut keriting sungguh menghadirkan kesan tidah ramah di setiap pengujung perpustakaan sekolah itu. Ditambah dengan  logat bahasanya yang teugeug (Sunda) alias tidak ramah menambah enggan saja para siswa untuk bertandang ke gudang ilmu tersebut. Padahal bangunan itu berada di pojok selatan komplek sekolah yang cukup luas sehingga nyaman untuk membaca karena cukup hening suasananya. Di sana juga sangat pas untuk menikmati sajian koleksi buku-bukunya yang tertata rapi.
Namun entahlah, apa karena penjaganya yang jutek/tidak ramah,  atau memang minat membaca para siswa yang memang tidak memiliki budaya membaca yang baik, hingga menjadikan para siswa sangat jarang bertandang ke sana. Atau, mungkin juga kedua faktor itu yang menjadi pemicu semakin sepinya ruangan tersebut. Buku-buku koleksinya hanya pajangan indah untuk dilihat bukan dibaca. Hanya sesekali saja saya dan teman-teman pergi ke perpustakaan, itu pun jika mendapat tugas dari guru.
Menginjak bangku sekolah kejuruan, interaksi dengan perpustakaan lebih mengenaskan lagi. Perpustakaan di sekolah itu koleksinya tidak selengkap di perpustakaan saat saya sekolah di bangku SMP. Buku-buku koleksi perpuskataan itu lebih banyak disimpan di lemari kaca. Walaupun ada yang dipajang di lemari terbuka, namun susunannya tidak tertata rapi, penataan dan pembagian koleksinya tidak jelas. Hal itu diperparah dengan aturan-aturan yang menambah tidak nyaman bagi setiap siswa yang berkujung ke sana. Kami, para siswa harus membuka alas kaki karena lantai ruangannya dilapisi karpet hijau. Anehnya pihak sekolah saat itu tidak menyediakan tempat khusus untuk menyimpan alas kaki. Sepatu berserakan tidak rapi di mulut pintu masuk.
Dan seingat saya saat masih sekolah di sana, saya belum pernah sekali pun membaca buku sastra atau buku umum selain buku yang berhubungan dengan pelajaran. Karena saya tidak menemukan buku lainnya selain buku yang berhubungan dengan pelajaran. Apalagi membaca buku berlama-lama. Tempat duduk khusus bagi pengunjung di sana tidak disediakan terlalu banyak sehingga sangat jarang siswa pada saat itu menikmati sumber bacaan. Sungguh menyedihkan. Tapi yang masih saya ingat adalah ketika saya meminjam buku bahasa Inggris Ekonomi dan buku Akuntansi saat masih duduk di kelas 1 SMEA (sekarang kelas XI SMK).
Perkenalan saya dengan perpustakaan semakin akrab saat saya mengikuti Praktek Kerja Lapangan (PKL) selama 1 bulan di Pemda Provinsi Jawa Barat yang bertempat di Gedung Sate, Bandung. Saat itu saya baru menginjak di kelas III SMEA. Saat jam istirahat saya sering diajak berkeliling komplek perkantoran oleh salah satu karyawan di ruangan tempat saya dan keempat teman lainnya melakukan praktek pada Bagian Perbendaharaan. Salah satu ruangan yang dikujungi adalah ruang perpustakaan.
Perpustakaan itu berada di bagian belakan Gedung Sate. Di sanalah saya merasakan suasana membaca yang benar-benar asyik. Selain tempatnya nyaman dan luas, koleksi bacannya pun sangat beragam. Saya seperti ikan yang mendapatkan air segar dan bersih berenang menyelami lekukan kolam. Meneguk sepuasnya isi air di kolam itu. Sungguh fantastik!
Selepas PKL (Prakerin) saya tanpa diantar taman, sering sendirian pergi ke sana dengan menaiki kendaraan umum yang cukup jauh dari kota Cimahi. Saya musti 2 kali turun naik kendaran angkot, namun pergi menuju tempat yang dirindukan walaupun jauh, sungguh menyenangkan. Apalagi saat tiba di sana, saya tidak terganggu siapa pun. Saya bebas mengaduk-aduk jejeran buku dan berlembar surat kabar yang disediakan di sana.
Setelah saya lulus dari sekolah kejuruan itu, barulah saya mengetahui keberadaan Perpustakaan Daerah Jawa Barat. Entah dari mana awalnya, selain perpustakaan di Gedung Sate itu, saya juga kemudian sering menyambangi Perpustakan Daerah Jabar yang saat berlokasi di Jalan Cikapundung Timur, tepat di belakang Gedung Konferensi Asia Afrika. Hingga saya berkesempatan menjadi anggota perpustakaan itu. Selain kegiatan membaca koleksi bukunya, di sana juga saya sering meminjan buku-bukunya sebagai fasilitas bagi anggota tetap.
Namun ketika perpustakaan itu pindah lokasi ke Jalan Soekarno-Hatta, sejak itulah saya tak pernah lagi mengunjungi tempat yang dijadikan sebagai tempat paling nyaman bagi saya. Apalagi sejak itu saya mulai memasuki dunia kerja otomatis waktu luang untuk pergi ke perpustakaan yang cukup jauh semakin jarang.
Beberapa tahun lamanya saya tidak mengunjungi lagi tempat yang bernama perpustakaan. Di kota Administratif Cimahi (sekarang Kota Cimahi) dahulu tidak ada perpustakaan umum. Tapi entahlah, namun seingat saya memang tidak ada perputakan saat itu.
Hingga babak kehidupan yang baru saya alami. Saya menginjakkan kaki di kota Cianjur pada pertengahan tahun 1997 mengikuti tugas kerja yang berpindah tempat. Di kota yang terkenal dengan beras Pandanwangi dan Tauco, ketika ada waktu luang saya tidak mencari tempat hiburan seperti bioskop atau lainnya, namun saya bertanya-tanya lokasi perpustakaan daerahnya. Hingga akhirnya saya mendapat informasi tentang keberadaan gedung Arpusda (Arsip dan Perpustakaan Daerah Cianjur) di sekitar Jalan Siliwangi.
Lagi-lagi rasa kecewa menghampiri. Bagaimana tidak? Layanan perpustakaan hanya dibuka hingga jam 14.00 atau jam 2 siang. Sementara saya pulang bekerja hingga jam 16.00 (4 sore). Jangankan untuk bisa membaca dengan nyantai, sekadar untuk meminjam  buku pun hampir tidak pernah saya nikmati. Padahal saat itu saya sudah mengantongi kartu keanggotaan. Mubadzirlah kartu keanggotaan itu hingga habis masa berlakunya.
Rasa kecewa kini berubah menjadi miris. Satu ketika saya mendapat sebuah sms (pesan singkat)  dari seorang sahabat yang mendapat tugas ke luar negeri. Dia bekerja di LIPI Jakarta dan berkesempatan mengunjungi Negeri Paman Sam. Selama beberapa minggu dia bertugas di sana.
Ketika itu saya tanya dia sedang melakukan apa. Dia pun menjawab sedang di sebuah perpustakaan. Kemudian saya tanya lagi jam berapa perpustakaan di sana tutup. Saya sungguh terperanjat saat menerima jawabannya. Sahabat saya menjawab bahwa di sana perpustakaan tutup jam 2 pagi! Kemudian saya tercenung pantas saja negara ini sulit maju. Dari satu fator saja sudah terlihat jauh perbedannya. Di sini perpustakaan tutup jam 2 siang, di negara maju perpustakaan tutup jam 2 pagi. Wallahua’lam bishawab.
Cianjur, 24 April 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar